゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆
゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊
゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚ ┊ ⋆ ┊ . ┊
゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆
゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
゚☆ 。 H A P P Y R E A D I N G
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
"Belajar terus, nulis terus, nggak berguna banget hidupnya."
Aku seketika menghentikan tanganku yang tengah mengerjakan tugas sekolah. Pintu kamar yang lupa tak aku tutup, sekarang ada ibuku yang berdiri bersedekap tangan dengan memasang wajah tak suka.
"Aurum ada tugas sekolah, Bu. Aurum udah kerjain urusan rumah tadi. Nyapu, nyuci baju, nyuci piring, makan malam juga udah Aurum siapin buat ibu sama ayah."
Aku tidak berbohong, aku sudah melakukan apa yang aku sebutkan tadi. Rasanya, tangan dan tubuhku terasa sedikit pegal. Namun, aku menahan itu semua, aku hanya membayangkan bahwa semua rasa sakitku adalah bentuk dari pengorbanan dan abdi sebagai seorang anak untuk orang tuanya. Alhasil, semua rasa pegal itu dapat berkurang meski pelan-pelan.
"Cepet kamu jualan baso bakar! Ayah kamu itu nggak bisa diandalkan jadi orang. Jualan bakso aja ngak selese-selese. Mana sepi terus!" ujar ibu kepadaku. Dia melangkahkan kakinya menuju diriku.
"Namanya juga mencari rezeki, Bu. Kan udah diaur sama Yang Di atas."
"Kamu berani ceramahin Ibu? Sudah bisa melawan kamu, yah?!"
"Maaf Bu, Aurum hanya ingin menenangkan hati Ibu. Aurum nggak bermaksud buat--"
"Alah! Ibu tahu kamu pasti benci banget sama Ibu. Ibu tahu kamu tadi itu lagi menggurui Ibu, 'kan?"
Aku terkejut, Ibu menyingkirkan buku dan alat tulisku yang di meja belajar sampai semuanya jatuh berantakan. Aku menunduk lesu. Hatiku sedikit tertusuk.
"Maaf Ibu, Aurum bukan mau menggurui. Aurum ingin Ibu jadi tenang, Aurum ingin membuat Ibu bersyukur dengan apa yang udah ada, Bu."
Ibu mencengkeram pipiku kuat-kuat, dia mengangkat wajahku. "Ibu nggak peduli dengan omongan kamu. Yang Ibu mau, kamu jualan bakso bakar keliling sekarang! Ibu sudah bawa bakso sisa dari kedai."
Aku melirik ke arah buku tugasku yang tergeletak di lantai. Ini pukul setengah sepuluh malam, dan tugasku belum tuntas. Bahkan, aku hanya baru mengerjakan satu soal dari 40 soal matematika.
Tapi, mungkin aku dapat mengerjakan semua itu nanti. Ya, aku akan begadang nantinya.
"Ayo cepat, Aurum!"
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Aku tak dapat membantah perintah ibu. "Iya, Bu, Aurum siap-siap dulu," balasku dengan halus.
Ibu melepaskan cengkeramannya di pipiku. Dia lantas berjalan keluar dari kamarku.
***
Aku mendongak ke atas, ada tetesan kecil yang menimpa tubuhku tadi. Gerimis. Namun masih gerimir kecil dan terlihat samar-samar.
Aku menyiapkan bahuku sebelum memikul gerobak pikul bakso bakar. Aku berpikir bahwa tidak masalah dengan gerimis jali ini. Sepertinya hanya gerimis sesaat.
Gerobak pikul di sampingku, dirancang khusus oleh ayahku sendiri. Ada sebuah pikulan, yang akan aku letakan ke atas pundakku nanti.
Meski berjualan bakso di kedai, pasti jika nanti ada yang sisa atau jika sedang sepi pelanggan, separuh baksonya akan dijual keliling dan separuhnya lagi akan dijual sebagai bakso bakar.
Aku menghela napasku dengan kasar. Aku berusaha mengulas senyumku untuk menguatkan diri sendiri. "Ayo, Aurum. Kalau cepet habis, bisa cepet pulang, dan cepet garap PR!" seruku membuat diriku langsung semangat.
Aku mulai mengangkat gerobak pikul itu, aku bersiap untuk keliling kompleks.
"Bakso bakar! Bakso bakarnya, Bu, Pak!"
Nihil. Percuma saja aku berteriak jika tidak ada orang yang di luar. Aku mendesah pelan. Angin malam menerpaku begitu kencang. Ah, aku baru ingat jika aku hanya mengenakan kaos pendek putih.
Seperti mendapat ide dari mana, aku memantapkan langkahku menuju taman kompleks saja. Di sana pasti banyak orang. Aku berjalan mencoba melangkah dengan cepat. Namun beban yang aku pikul begitu berat untuk gadis mungil sepertiku.
Semakin aku melangkah, semakin sering rintikan hujan jatuh pada tubuhku. Gawat, gerimis kecil tadi sudah mulai berubah. Aku secepat mungkin mencari tempat menepi. Tapi tak ada. Halte, toko, atau apa, tak ada. Karena aku tadi melewati jalan pintas. Jalan yang sepi untuk menuju taman.
Tidak. Hujan itu semakin deras, berhasil mengguyur tubuhku sampai basah kuyup. Aku menyimpan baik-baik bahan dan peralatan untuk membuat bakso bakar di gerobak pikulku. Lantas aku berlari, tak mengerti ke mana kakiku anak menapak pergi. Aku harap, aku dapat menemukan tempat berteduh.
Tubuhku mulai menggigil, bibiku mulai membiru. Namun, mataku seketika berbinar ketika melihat sebuah toko di depan. Ya, aku pasti bisa menepi di depan toko itu.
Aku kembali berlari tanpa memperhatikan langkahku dengan benar. Hingga akhirnya, aku jatuh terpeleset karena jalanan yang licin.
Gerobak pikul yang ku bawa tadi, jatuh mengenaskan. Bahan dan peralatan untuk dagangan bakso bakarku berceceran di jalanan. Aku refleks menitikkan air mata di bawah hujan deras ini. Aku menunduk, melihat kedua lututku yang berdarah. Perih.
Bagaimana ini? Bukan. Aku bukan memfokuskan pikiranku terhadap lukaku sendiri. Melainkan pada dagangan bakso bakarku. Ibu pasti akan memarahiku habis-habisan nanti.
Aku terus menangis, aku tak tahu harus bagaimana. Bibirku membiru, rasa dingin melekat hebat di tubuhku. Aku mencoba bangkit dari posisi dudukku di atas jalanan. Ah, begitu susah bangkit karena lututku terluka sampai aku justru kembali jatuh terduduk.
Ya Tuhan ... aku butuh pertolongan Engkau. Aku sungguh tidak tahu harus bagaimana.
"Lo ngapain, Aurum?"
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Aku mendongak ke atas, ada yang memayungi diriku. Argentum. Cowok itu menatapku dengan sendu, membuat tangisku kembali pecah.
"Jangan nangis, ada gue di sini."
Argentum berjongkok di hadapanku. Dia tiba-tiba memelukku dengan penuh perasaan. "Udah, nggak papa, semua bakal baik-baik aja, Aurum."
Aku segera melepaskan pelukan Argentum. Aku menunduk, isakan milikku masih terdengar nyata. Argentum menyerahkan payung yang ia bawa pada tanganku. Seketika aku terkejut hebat, karena Argentum mengangkat tubuhku.
"Harusnya lo neduh dulu. Jangan malah duduk santai di tengah jalan," ujarnya padaku.
Berkat omongan dia, tangisanku menjadi terhenti. Aku? Duduk santai? Sudah jelas aku tadi tidak bisa berjalan. Bahkan, berdiri pun tidak mampu.
Argentum meletakan diriku di atas kursi depan toko yang tadi aku hendak meneduh. Dia memasangkan jaketnya pada tubuhku.
"Dingin, ntar lo sakit lagi."
Aku masih diam. Aku tak bisa berkata-kata.
"Kenapa lo ada di sana, hem?" tanya Argentum memilih duduk di sampingku.
Astaga, aku lupa dengan daganganku sendiri. "Dagangan gue!!" pekik aku histeris. Aku hampir mau berdiri, taoi Argentum mencegahnya dan membuat aku duduk kembali.
"Itu punya lo? Gue beresin dulu, lo duduk aja." Argentum merebut payung yang sedari tadi masih digenggam oleh tanganku.
Aku memperhatikan cowok itu, dia begitu bergegas membereskan bahan dagangan dan gerobak pikul milikku. Aku menghela napas dengan lega. Syukurlah, masih ada orang yang mau menolong aku.
***
。・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚
☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚
゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆
゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊
゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚ ┊ ⋆ ┊ . ┊
゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆
゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
゚☆ 。 S E E Y O U I N T H E N E X T C H A P T E R ! ! ! !
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚..