゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆
゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊
゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚ ┊ ⋆ ┊ . ┊
゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆
゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
゚☆ 。 H A P P Y R E A D I N G
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
"Jadi, gue bikin n****+, gitu?"
Aku menatap Argentum yang sibuk berkutik dengan laptopnya. Jangan tanyakan kami di mana, karena aku merasa sedang diculik Argentum.
Aku tak menyangka, Argentum akan membawaku ke rumahnya. Tetapi jujur saja, keluarga Argentum sangat bertolak belakang dengan cowok itu. Argentum terlalu menyebalkan, tapi keluarganya begitu perhatian.
Aku saja yang baru pertama kali memasuki rumah Argentum, langsung di jamu berbagai camilan. Mama Argentum begitu baik memperlakukanku tadi.
"Iya, lo bisa, 'kan? Ini gue nemu beberapa platform yang memungkinkan lo dapet penghasilan dari hobi nulis lo."
Aku mengangguk pura-pura paham, padahal di otakku aku juga tidak begitu tahu soal seperti ini. Dasar yang aku bisa adalah menulis. Hanya itu. "Bisa nggak bisa, gue harus bisa."
Argentum menoleh ke arahku. Kurang ajar, tatapan kami tak sengaja bertemu. Tuhan ... tolong jangan izinkan jantung aku berdebar hebat lagi.
"Ini, coba deh lo lihat-lihat dulu." Argentum memberikanku kode untuk mengecek laptop miliknya. Ah, mungkin untuk membaca ketentuan platform menulis itu.
Aku yang di sebelah kanan Argentum, merasa tidak jelas saat membaca ketentuan itu. Tangan kananku memegangi mouse, namun kursor yang di layar laptop tak kunjung terlihat di mataku.
Aku merasa sedikit kesal, padahal aku sedang sangat membutuhkannya. "Ini gimana, sih? Kursornya kok ilang?!" pelik aku.
Argentum yang baru meneguk jus alpukat, melirik ke arahku. "Pelan-pelan, ya, nggak sabaran amat lo!"
Setelah sekian lama aku menutup hati. Namun, jantungku mendadak berdebar kencang saat Argentum menggenggam tanganku yang memegang mouse. Dia hendak mengarahkan tanganku untuk menggunakan mouse dengan benar.
Aku dapat merasakan dengan jelas telapak tangan Argentum yang hangat. Aku tak sadar, aku juga sampai menahan napasku. Pasalnya, jarak kami berdua juga begitu dekat karena berebut mouse.
Tuhan, aku mohon cegah aku untuk merasakan jatuh cinta lagi. Aku terlalu takut untuk sakit hati.
Aku mulai menetralkan perasaan dan pikiranku, lalu aku langsung menarik tanganku dari genggaman Argentum. Aku langsung memalingkan wajahku dari Argentum. Ah, tidak! Aku tidak ingin merasakan perasaaan itu lagi!
"Aurum kalo pacaran malu-malu, ya?"
Aku menoleh ke arah kanan, ternyata pemilik suara tadi adalah milik mamanya Argentum. Pacaran? Aku? Dengan Argentum? Tidak. Sepertinya itu tidak akan terjadi.
"Hah? Aurum nggak pacaran, Tante," jawabku pada Tante Reni.
Aku tak paham, mengapa Tante Rani justru tersenyum? "Masa? Tumben banget nih Ar bawa temen cewek ke rumah," ujar dia sedikit terkekeh.
"Ma ... jangan gitu, ntar Aurum kabur lagi." Argentum melirik ke arahku dengan masih mencetuskan senyumnya. Apa maksud dia?
"Ar anak nakal, ya, Rum? Pantas saja dia belum pernah punya pacar. Kayaknya emang nggak ada yang mau sama dia," ujar Tante Reni. Dalam hati aku ingin sekali menjawab fakta sebenarnya tentang Argentum yang memang menyebalkan dan sombong, tapi aku memilih bungkam.
Argentum mengerucutkan bibirnya. Bisa-bisanya mamanya sendiri justru membongkar aibnya? "Mama, ih. Ar aja yang pengin jomblo. Bukan berarti nggak laku. Ar tuh suka bingung milih cewek yang mana, soalnya banyak banget tuh yang ngantri se lapangan bola. Ya Ar nggak sanggup milih yang mana."
Tante Reni mendekati anaknya sendiri. Dia menabok pelan pundak Argentum rupanya. "Yang penting, belajar aja yang bener dulu urusan pacar mah bisa dicari kalo udah sukses."
"Ah, nggak perlu nyari lagi kalo saat ini mah, Ma. Kan udah ada nih, di samping kanan Ar. Cantik, tapi juteknya bikin isighfar terus!" Argentum menyenggol lenganku. Aku terus menunduk setelah mendengar perkataan Argentum.
What? Kenapa aku jadi malu?
Aku mendengar Tante Reni kembali tertawa. Hal itu membuat batunku sedikit nyeri. Mamanya Argentum dengan Argentum sangat dekat bahkan seperti sebagai seorang teman.
Aku langsung membandingkan dengan keluargaku. Ya Tuhan, kapan ibu akan bersikap seperti mamanya Argentum kepadaku?
"Ya sudah, Rum, Tante balik ke belakang dulu, ya. Kalo Ar nyeros mulu, sumpel aja sama sepatu. Biar tau rasa dia," pamit Tante Reni lalu dia bergegas meninggalkan aku dan Argentum.
Aku hanya terkekeh kecil untuk membalas ucapan Tante Reni. Lantas, aku mulai membaca dan memahami ketentuan platform menulis berbayar. Aku belum pernah menulis? Kalau untuk menulis n****+, sepertinya belum pernah.
Tetapi begitu melihat nominal rate yang ditawarkan, membuat aku tergiur. Mungkin aku bahkan bisa membeli laptop dengan rate di platform menulis itu. Dna bisa saja uangnya aku tabung untuk kuliahku nanti.
"Gue pengin nyoba," ujar aku dengan yakin.
"Nahh, gitu dong! Ya udah, lo cuma nyiapin naskahnya aja, biar gue yang urus sisanya. Cover, desain promosi, dan lain-lain!" ujar Argentum sangat bersemangat.
Yang mencari uang aku atau Argentum, sih? Kok dia yang histeris.
"Ya udah, jalan-jalan dulu, yuk, Sayang. Kamu pasti jarang refreshing. Sekali-kali jalan sama Peminpin K3 ini. Kerajaan Ketampanan Khatulistiwa." Aku memutar bola mataku saat melihat Agentum menepuk dadanya sendiri melambangkan sebuah kebanggaan.
Aku hanya pasrah mengikuti tarikan tangan Argentum. Nyatanya, akujuga membutuhkan refreshing sejenak. Jika di rumah, sudah pasti aku tidak memiliki waktu. Untungnya, ibu memberiku waktu sampai maghrib nantinya.
Intinya, seusai maghrib aku harus berada di rumah.
Cahaya sore selepas hujan adalah hal yang indah. Aku menatap ke arah barat, membiarkan wajahku terpapar sinar bagaskara itu. Rasanya begitu hangat.
Jalanan kompleks rumah Argentum cukup ramai. Bukan. Bukan karena soal apa, atau ada acara apa, namun yang ku lihat warga di sana sedang bercengkerama dengan sesekali terkekeh.
Harmonis.
Rasanya, aku juga ingin ada keharmonisan di sekitarku. Biar aku katakan lebih spesfik lagi. Aku ingin ada keharmonisan di keluargaku. Ibu yang dapat menjadi tempat mencurahkan hati, ayah yang menjadi superhero, dan aku yang menjadi seorang gadis penuh tawa.
Namun, kembali lagi dengan realita. Aku merasa pesemis sendiri jadinya.
Aku dan Argentum berjalan beriringan dengan cowok di sebelah kananku itu yang terus menggenggam jemariku. Aku melirik ke arah Ar. Dasar cowok modus. "Lepasin," pintaku dengan ketus.
"Nggak mau. Gue takut lo ilang, gue takut lo diculik," jawab Argentum kepadaku dengan senyuman yang menampilkan gigi-giginya.
"Gue udah gede, ih. Gue nggak mungkin ilang. Lo aja yang modus!" Aku berusaha melepaskan genggaman itu. Dan ternyata berhasil.
"Ih, Aurum, lo itu bocil tau! Bocah cilik. Nih liat, lo aja cuma sepundak gue. Mana badan kurus lagi!"
Aku mengacuhkan Argentum. Perhatianku justru tertuju dengan gerobak es krim di depan. Tidak. Jiwa-jiwa ice cream addict ku mulai muncul. Haa, aku ingin es krim sekarang.
"Ayo beli."
"Eh?"
Argentum menarik lengan seragam sekolahku. Semena-mena sekali dia menarik diriku untuk mendekati penjual es krim. Awas saja seragamku rusak nanti.
"Gue yang beliin. Lo mau borong sama gerobaknya aja gue bakal beliin. Biasa, orang kaya bingung banget gimana ngehabisin duitnya," ujar Argentum menyapukan rambutnya ke belakang.
Sok ganteng, sombong pula ini cowok!
"Pak, mau yang stroberi, ya. Vanilanya kasih dikit," pesanku kepada penjual es krim itu.
"Siap, Cah Ayu. Ditunggu Sedela, ya."
Aku mengangguk bersedia. Tunggu. Kenapa cuma aku yang memesan? Kenapa Argentum diam saja?
Aku sengaja mencubit lengan Argentum yang tadi mendadak diam. "Lo mau rasa apa?" tanyaku kepadanya.
Argentum justru mengangkat kedua bahunya. "Gue nggak tahu."
Ya Tuhan, Argentum aneh sekali. Orang aku tanya mau rasa apa, masa dia jawab nggak tahu? Aku mulai geram kali ini. "Lo nggak mau rasa cokelat?"
"Gue nggak suka."
"Stroberi?"
"Nggak suka juga."
"Vanila? Lo sukanya vanila?"
Argentum menggelengkan kepalanya. Tampaknya, dia sedang bingung. "Siapa bilang gue suka vanila. Gue juga nggak suka sama vanila."
Aku menerima es krim stroberiku dari penjual itu. Astaga, Argentum lama sekali memilih rasa es krimnya. "Aduh, kasihan ini abangnya mau keliling lagi. Ini itu masa nggak ada yang suka? Terus lo sukanya apa?!" tanyaku sedikit geram.
Argentum menghadapkan dirinya padaku. Dia membungkukkan badannya mencoba menyejajarkan tingginya denganku dan tak bisa lepas untuk menatapku. "Aurum."
Kami berdua membeku di tempat. Aku mohon, seseorang selamatkan aku dari tatapan Argentum ini. Aku mengerjapkan mataku, mencoba menyinkronasi diriku dengan keadaan.
"Iya, kenapa? Orang lagi gue tanyain lo sukanya rasa apa kok malah manggil nama gue?! Ayo cepet pilih rasa apa, keburu punya gue cair, nih!" pekik aku menatap es krim stroberi kesuakaanku.
Aku mendengar Argentum terkekeh renyah. Hah? Ada yang lucu? Receh sekali Argentum ini.
"Bagus, jangan jadi cewek baperan. Meski apa yang gue bilang adalah sebuah pengungkapan perasaan."
Aku mengerutkan dahiku. Apa yang dimaksud dengan omongan Argentum? Ak sungguh tidak paham. Baperan? Siapa yang baperan?
"Hah? Maksud lo?"
"Enggak. Maksud gue, gue mau yang rasa cokelat aja." Argentum memesan es krim rasa cokelat ke pedagang itu. Aku hanya sedang mencerna kata-kata Argentum. Ish, tidak jelas sekali cowok itu.
"Ayo, Rum."
Kami berdua kembali menyurusi trotoar. Kendaraan yang berlalu lalang di kompleks Argentum tak banyak. Sepanjang jalan itu pun diiringi dengan pohon kanopi, membuat udaranya terasa sejuk.
"Rum, kegiatan sehari-hari lo ngapain aja?"
Aku menunduk sebentar, sedang menyusun jawaban untuk pertanyaan Argentum. "Banyak. Bangun dini hari, ngurus kerjaan rumah, sekolah, bantu kedai bakso ayah, ngurus rumah lagi, jualan bakso bakar, abis itu belajar."
"Astaga, sibuk bener. Gue yang cuma rebahan insecure denger jawaban lo!"
"Gue malah yang iri sama lo yang bisa rebahan," balas aku lantas memasukan es krim sendokan terakhir ke mulutku.
"Kalo tidur, berapa lama? Dari jam berapa sampe jam berapa?"
"Kepo amat!"
"Ih, udah dibeliin es krim kok masih galak-galak? Balikin lagi sini es krimnya!"
Aku meloloskan tatapan sengitku kepada Argentum. Aku pikir dia ikhlas membelikanku es krim. Ternyata, justru seperti ini. Menyebalkan.
"Berapa jam? Dari jam berapa?" tanya Argentum sekali lagi.
"Cuma 3 jam. Jam 1 gue baru tidur, puas lo?!"
Argentum menganga lebar. Ya ampun, kenapa lagi, sih, cowok yang satu ini?!
"Gila, lo manusia atau apa? Dikit amat tidurnya. Itu nggak sehat, Aurum, tubuh lo ntar gampang down, gimana?"
"Apa peduli lo?"
Argentum menghentikan langkahnya, membuat aku juga berhenti. Terpaan angin ringan mengenai kami berdua. Rambutku yang tergerai juga menjadi ikut bergerak. Aku tak mengerti kenapa Argentum berhenti.
"Gue peduli karena gue suka sama lo, Aurum Sastrawiguna," ungkap Argentum membuat aku terpaku.
Ayolah, sadarlah, Aurum. Sadar bahwa omongan seseorang itu tidak dapat langsung bisa dipercaya.
Aku bersedekap tangan, menampilkan muka datarku. "Basi!" jawabku lantas melangkah mendahului Argentum.
。・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚
☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚
゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆
゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊
゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚ ┊ ⋆ ┊ . ┊
゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆
゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
゚☆ 。 S E E Y O U I N T H E N E X T C H A P T E R ! ! ! !
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚..