Tiga Lima

1391 Kata
Balikpapan Bandara Sepinggan Pukul sepuluh lewat empat puluh lika menit, Rafly dan Sukma mendarat dengan selamat di bandara Sepinggan. Seraya masih menunggu bagasi keluar, Rafly duduk di ruang tunggu. Sedangkan Sukma tengah pergi ke toilet. "Ya Tuhan! Aku harus bagaimana sekarang? Aku benar-benar telah menemukan Sita dan juga anakku. Tapi kenapa hati ini justru meragu. Aku takut, mereka akan menolak mentah-mentah kehadiranku, setelah apa yang aku lakukan terhadap hidup mereka berpuluh tahun ini. Belum juga dengan keluargaku sendiri. Bagaimana Sukma akan bersikap setelah tahu kebenarannya? Tuhan, tunjukkan jalan yang terbaik untuk langkahku ke depan!" batin Yudha. Sukma yang sudah kembali dari toilet, mendekati sang suami. "Koper-koper kita belum pada keluar, Mas?" tanyanya seraya duduk di sebelah Rafly. Rafly masih membisu, dia tidak fokus dengan pertanyaan sang istri. Bahkan dia juga tidak sadar jika istrinya sudah ada di sebelahnya. Sukma menoleh ke arah Rafly, memperhatikan sang suami yang terlihat memandang dengan tatapan datarnya. Buk Sita menepuk pundak sang suami. "Astaghfirullah!" seru Rafly karena kaget. Kemudian menengok ke sampingnya. "Sukma? Kapan datangnya?" tanya Rafly. "Hemmm, kamu mikirin apa sih, Mas? Ditanya dari tadi nggak nyahut! Kenapa?" "Aku, nggak ada, sayang. Nggak lagi mikirin apa-apa, cuma agak capek aja kemarin di Jogja jalan-jalan terus kan kita. Badan pada pegal-pegal gini." elak Rafly, mengelabuhi sang istri. "Owh, capek! Kirain lagi kepikiran masalah apa. Iya ini tumben bagasinya lama keluarnya ya. Huufff!" sahutnya ikut tak bersemangat. "Pak Hisam udah di kasih tahu kan? Kita udah sampai bandara!" "Udah, bentar lagi juga sampai. Tadi pas aku telfon orangnya udah di jalan." "Syukurlah!" Sukma menegakkan pandangannya, kebetulan arah pandangannya tepat berpapasan dengan Hisam, sang sopir yang baru aja masuk. "Nah panjang umur. Itu Pak Hisam, Mas!" seru Sukma. Kemudian melambaikan tangannya. Pak Hisam segera mendekat. "Siang tuan, nyonya! Maaf agak terlambat. Macet parah di jalannya." ungkap Hisam. "Nggak apa-apa, Pak. Baru aja sampai. Ini juga masih nunggu bagasi kok." sahut Sukma. Tak selang berapa lama, bagasi milik mereka keluar. Dengan arahan Sukma, Pak Hisam dengan cekatan mengumpulkan semua bagasi milik atasannya, lalu mengangkatnya ke atas troli. Sementara Rafly dan Sukma sudah berjalan di depan. "Duh, Gusti! Orang kaya mah gini yak. Abis pulang dari liburan, pas pulang bawaannya seabrek. Beli apa apa si nyonya ini." ujarnya seraya terus berjalan. Selama perjalanan menuju rumah, Rafly memilih memejamkan mataya selama ada di dalam mobil. Bukan untuk tidur, melainkan untuk memikirkan langkah apa yang seharusnya dia ambil selanjutnya. *** Sita dan Yudha saling melihat, lalu tertawa bersamaan. Vira yang melihatnya justru merasa aneh. Kenapa sepasang suami istri itu justru malah menertawakannya. Yudha menarik kursi, "Sini deh, Vir, duduk dulu!" Vira dengan ragupun duduk di samping Yudha. "Tapi istri kamu nggak cemburuan kan, Mas?" ujarnya setengah berbisik. Yudha kemudian meraih tangan Sita, membuat Vira sedikit merasa tidak nyaman. "Kenalain, adik aku. Namanya Sita!" ujar Yudha. Sontak membuat Vira tercengang. Mulutnya sedikit terbuka. "Hah? Maksudnya apa, Mas? Adik kamu?" seri Vira setengah tidak percaya. Sita mengulurkan tangannya, "Sita! Adik satu-satunya Mas Yudha yang paling cantik sejagat raya!" ujarnya percaya diri. Vira masih dengan ragu-ragu, menerima uluran tangan Sita. "Vi-ra!" balasnya gagu. "Sudah tahu kan, Sita itu bukan istri aku, adik!" jelas Yudha. Kedua wanita tersebut saling melepaskan jabatan tangannya. "He he. Maaf ya, Mas. Aku pikir Sita ini istri kamu. Soalnya waktu di rumah sakit itu kan ada Sita juga disana." "Ya iya lah ada! Orang Bapak aku juga Bapaknya dia kan? He he he!" Ketiganya pun saling memandang dan tertawa, setelah tahu duduk permasalahannya. Sita melihat jika Yudha terlihat sangat nyaman mengobrol dengan Vira. Sita tidak pernah menemukan sang Kakak bisa senyaman itu jika bertemu dengan lawan jenisnya. Sita bangkit. "Em, Mas, Mbak Vira, saya pergi sebentar ya. Mau nyari Keinara dulu. Kalian berdua lanjutin aja ngobrolnya!" "Siap! Yang lama ya, Ta. He he he!" ledek Yudha. "Siappp bos!" sahut Sita lalu beranjak pergi. "Eh, ngomong-ngomong kamu datang sendirian aja, Vir?" "Ya iya lah, Mas. Emang suruh sama siapa?" "Ya, kirain ngajakin suami kamu gitu!" ucap Yudha ragu-ragu. "Heemnmp!" Vira menutup mulutnya, menahan suara tawanya supaya tidak terdengar keras. "Lah, kok malah ketawa sih?" Yudha terheran. "Aku belum menikah, Mas. Ya, masih bentah sendiri aja!" Mendengar berita yang membahagiakan hatinya, tentu saja Yudha menanggapinya dengan penuh semangat. "Yang benar kamu masih sendiri? Ah, nggak mungkin deh. Wanita secantik kamu, sepintar kamu, kerjaan juga udah mapan kaya gini, masih sendiri? Hemm, bercandanya nggak masuk, Vir! Aku nggak percaya!" oceh Yudha, yang dalam hatinya sebenarnya inging lompat setinggi-tingginya. "Ya ampun, Mas Yudha! Ngapain juga aku musti bohong! Aku emang masih fokus sendiri. Yah, biasa lah belum nemu yang srek di hati, hehe!" tepis Vira. "Jadi Vira belum menikah? Itu artinya masih ada kesempatan untuk aku bisa deketin dia lagi dong!" batinnya kegirangan. Melihat gelagat wajah Yudha yang tiba-tiba berseri-seri, sontak membuat Vira bertanya. "Mas Yudha! Kok pipinya jadi merah gitu? Kenapa?" "Hah, masak sih merah? Ah salah lihat kamu, Vir!" elak Yudha, menahan malu. Vira hanya tertawa melihat Yudha yang semakin salah tingkah. Keduanya lanjut berbincang-bincang, semakin terlihat dekat. Prayoga yang dari jauh melihat Yudha sedang bersama seorang wanita, membuatnya sedikit muram. "Bu, tuh lihat anakmu! Orang udah dicariin jodoh benar-benar malah itu, godain perempuan lain! Lihat, mereka lagi ketawa-ketawa itu!" bisik Prayoga ke dekat daun telinga Mainah yang duduk di sampingnya. Mainah melihat ke arah Yudha yang duduk di meja paling ujung. Memperhatikan sang putra yang tengah asyik bersenda gurau dengan tekan wanitanya. Mainah memperhatikan baik-baik wanita yang ada di hadapan Yudha. "Pak, itu temannya Yudha kok mirip sama bu dokter yang ada di rumah sakit itu ya? Coba deh Bapak lihat baik-baik!" "Masak to bu? Mana Bapak pengen lihat juga." ujar Prayoga seraya melihat dengan saksama. "Weh, iya Bu. Itu kan bu dokter yang nanganin Bapak kemarin! Kok bisa ada disini juga ya? *** Pukul dua belas acara resepsi sudah selesai. Yudha dan keluarga besar telah meninggalkan tempat acara. "Cie, yang habis ketemu sama cem-ceman baru, ha ha ha!" celetuk Sita setengah meledek. "Apaan sih! Ngawur aja kalau ngomong!" timpal Yudha kesal. Ia merasa tidak enak jika kedua orang tuanya tahu soal pertemuannya dengan Vira tadi. "Ehem! Tadi Kei juga lihat lho, lagi haha hihi gitu sama Mbak cantik. Hayo ngaku!" Keinara ikut bersuara. "Ini apa lagi, anak kecil ikut-ikutan! Ini urusan orang dewasa!" seru Yudha Makin tidak nyaman. Sita dan Keinara kompak tertawa terbahak-bahak. Sementara Prayoga dan Mainah hanya bisa saling menatap. *** Vira yang ternyata selama ini salah persepsi, hanya bisa senyum-senyum sendirian di dalam mobil. "Ternyata Mas Yudha itu masih betah juga menyendiri! Ternyata aku salah sangka dong selama ini. Haduh, jadi malu deh!" ujarnya sendiri. "Tapi kok dengar dia belum punya pendamping, jadi girang gini sih akunya? Wah, ada yang nggak beres ini jangan-jangan!" Vira kembali mengurai senyumnya. *** Selesai makan siang, Rafly mencoba mencuri waktu dari penjagaan sang istri. Rafly melipir ke taman belakang untuk segera menghubungi seseorang. "Halo, Gas! Sorry ganggu sebentar waktunya. Ini aku mau menindaklanjuti pesan WA aku tadi malam. Gimana udah dapat orang belum?" tanya Rafly, sedikit panik. "Udah dapat, Raf. Sorry aku tadi masih sibuk jadi belum sempat kabarin kamu. Orangnya udah berpengalaman kalau soal mengintai mah. Aku jamin orangnya bisa diandalkan." terang Agas dengan yakin. "Bagus! Aku ingin kerja cepat ya, Gas! Aku. akan bayar berkali lipat jika dia bisa kerja cepat. Aku butuh dengan segera informasi itu. Satu hal lagi, kamu jangan sampai bocor ke siapapun ya sola masalah ini. Ini rahasia kita berdua. OK!" "Tenang aja, Raf. Aku bisa tutup mulut kok. Besok dia akan mulai bekerja. Kalau gitu nanti aku kirim nomer orangnya biar kamu bisa bicara langsung sama dia." "Siap, Gas! Pokoknya aku serahkan semua sama kamu. Tenang aja, soal uang bukan masalah!" "Siap bos!" Rafly mematikan teleponnya. Ada sedikit rasa lega di dalam hatinya. Sebentar lagi dia akan tahu dimana keberadaan Sita. Rafly segera kembali ke dalam rumah. Ternyata Sita sudah berada di depan televisi, sibuk membuka oleh-oleh belanjaannya selama di Jogja kemarin. "Hemmm, kemarin kamu beli apa aja sih, sayang? Lihat, sampai berantakan gini bukanya!" tegur Rafly. Ia memilih untum duduk di sofa. "Beli batik, Mas. Nanti mau aku bagi-bagikan ke asisten di rumah ini. Terus juga sama makanan khas Jogja ada banyak ini." sahut Sita tanpa melihat sang suami, karena lebih fokus dengan barang-barang di hadapannya. "Haduhhh! Wanita kalau udah kalap belanja kaya gini ya!" timpal Rafly seraya geleng-geleng kepala. Sementara Sukma terus menikmati keseruannya membuka semua oleh-oleh yang dibelinya sewaktu di Jogja kemarin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN