Tiga Enam

1847 Kata
Langit Jogjakarta terlihat mendung. Jalanan yang selalu ramai dipadati dengan hiruk-pikuk lalu lalang kendaraan juga terlihat lenggang. Tidak banyak aktifitas yang terlihat kasat mata sedang berjalan. Mungkin, orang lebih memilih menghabiskan waktunya di dalam rumah dari pada keluar dan akan terkena cipratan air hujan yang akan mengguyur tubuh mereka. Begitu juga dengan hati dan pikiran Larasita. Semenjak pertemuannya dengan Rafly beberapa hari yang lalu, justru kini membuat hari-harinya semakin tidak tenang. Ingin ia lupakan pertemuan itu sebagai angin lalu. Tapi mana bisa? Kenangan menyakitkan itu semakin kian membekas di dalam hatinya. Sementara itu, sang putri kini ternyata sedang menjalin hubungan dengan anak dari laki-laki yang begitu sangat ia benci. Luka hatinya yang sekian purnama tertutup, kini harus kembali terbuka. Rasa perih di hatinya itu kian terasa. Luka dalam yang sudah ia kubur dalam itu harus ia rasakan kembali. Sita masih bingung, bagaimana caranya dia memulai pembicaraannya dengan sang putri. Sementara baru hitungan hari, dia berucap memberikan restu untuk hubungannya dengan Zaky. Haruskan ia menghancurkan kebahagiaan hati buah hatinya sendiri? Ah, rasanya tidak tega. Selama ini Sita tidak pernah sekalipun membuat sang putri sakit. Apa jadinya ketikan hari ini tiba-tiba ia meminta Keinara untuk menjauhi Zaky? Lalu, tabir lain akan terbuka, bahwa alasan yang kuat mendorong hal ini terjadi adalah karena Zaky dan Keinara itu ternyata bersaudara. Ayah Zaky adalah ayah Keinara juga. "Rafly pasti sekarang sudah tahu kalau Keinara itu anakku. Dan pasti dia juga akan berfikir kalau Keinara juga darah dagingnya." ucap Sita lirih, seraya memegangi pelipisnya, membuat kepalanya semakin berputar-putar. Sita beranjak dari bangku kasirnya, berjalan menuju rolling door butiknya dan menutupnya. Ia memilih untuk menutup butiknya lebih awal. Rasanya dia ingin sekali mengistirahatkan kepalanya sejenak di kamar pribadinya. Waktu menunjukkan pukul tiga lebih dua puluh satu menit. Keinara muncul dengan mengendarai sepeda motornya mendekati pintu garasi. Keinara turun dari jok sepeda motornya, hendak membuka pintu garasi. Namun ia justru tercengang, melihat butik sang Bunda yang sudah tertutup rapat. Di hari biasa, butik akan tutup ketika waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam atau paling cepat pukul delapan malam. "Lah, tumben butik udah tutup. Bunda pergi apa ya?" tanyanya sendiri, seraya mencebikkan bibir. Keinara kemudian mengambil ponsel yang ada di dalam tas ranselnya. Memeriksa barangkali sang Bunda mengirimkan pesan padanya sewaktu di ia masih di tengah jalan tadi. Biasanya jika butik tutup, adalah waktu dimana sang Bunda ada urusan keluar. Bibirnya mengerucut, tidak ada pesan yang masuk ke dalam ponselnya. "Nggak ada pesan! Terus Bunda kemana ya?" lirihnya bertanya. Keinara segera masukkan ponselnya kembali, kemudian membuka pintu garasi dan memasukkan sepeda motornya. Sesampainya di dalam garasi, Keinara makin tercengang. Sepeda motor dan mobil milik sang Bunda juga masih berjajar ada disana. Itu berarti sang Bunda tidak pergi. "Ini sepeda motor sama mobil ada! Terus kemana Bunda?" ucapnya makin bertanya-tanya. Keinara segera beranjak dan naik ke lantai dua, menuju ke kamar sang Bunda. Tok tok tok. "Assalamualaikum, Bun! Bunda! Bunda ada di dalam kan?" serunya dari depan pintu kamar sang Bunda. Sita yang sedang menenangkan dirinya di dalam kamar, tersentak mendengar suara sang Putri yang sudah kembali. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya. Ceklek! Pintu terbuka dari dalam. "Waalaikumsalam!" ucapnya dengan nada lemah. Keinara segera mengambil punggung tangan sang Bunda, mengecupnya lembut. "Bunda lagi nggak enak badan? Butik udah ditutup, terus ini Bunda kaya lemes gini sih? Kei antar ke dokter yuk, Bun!" seru Keinara yang terlihat panik mendapati sang Bunda menunjukkan wajah lemahnya. Sita mengurai senyum, walau terpaksa. "Apaan sih? Bunda cuma agak nggak enak badan dikit. Barusan udah minum vitamin. Dipakai istirahat sebentar juga sembuh, nak!" ucapnya, lalu berjalan keluar kamar, melewati Keinara yang masih berdiri. Sita menuju ke depan rak perabot, mengambil gelas kemudian berjalan ke arah lemari pendingin, mengambil air putih di dalam botol kaca. Ia membawanya ke meja makan, memilih duduk di sana. Keinara berjalan menyusul sang Bunda, lalu ikut duduk di sebelahnya. Meraih botol yang dipegang sang Bunda, lalu menuangkannya ke dalam gelas. "Bunda kalau sakit bilang ya sama Kei. Kei nggak mau lihat Bunda sakit. Jadi nggak bersemangat gini. Kei jadi ikutan lemes ini." tutur Keinara dengan wajah lesu. Sita meneguk perlahan air yang ada di dalam gelas hingga habis tak bersisa. "Bunda nggak apa-apa, sayang. Bunda hanya kecapekan aja. Tahu sendiri kan, kemarin waktu Kakek sakit, Bunda harus bolak-balik dari rumah ke rumah sakit? Belum lagi ngurusin butik. Terasanya baru sekarang." elak Sita, berpura-pura memijit tengkuknya. "Ya udah, kalau gitu besok butik nggak usah buka dulu aja, Bun. Bunda istirahat total dulu. Ya?" bujuk Keinara. "Iya, besok kalau badan bunda masih nggak enak, Bunda pasti istirahat kok." timpal Sita. Keduanya saling menatap, lembut, penuh dengan jutaan cinta tersemat dalam netra keduanya. Sita meraih jemari Keinara, meremasnya, seakan ia saat ini sedang rapuh dan meminta sang putri untuk menguatkan. "Kei!" ujar Sita, lalu menegakkan pandangannya sejajar dengan netra sang putri. "Hemmm!" sahut Keinara. "Bunda mau tanya sesuatu sama kamu. Kamu jawab yang jujur ya!" Keinara mengangguk. "Pasti, Bun!" "Emmm, gini sayang, kalau misalnya, suatu hari nanti Ayah kamu datang menemui kita, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Sita. Sontak mata Keinara yang tadinya biasa saja, mendadak melebar seketika. "Apa, Bun? Barusan Bunda bilang apa? Ayah?" tekan Keinara. Kini raut wajahmu berubah drastis. Seperti sedang menahan amarah. "Bukannya Ayah Kei itu udah mati ya, Bun? Kenapa Bunda tiba-tiba tanya soal ini sama Kei? Bukannya Bunda yang dari dulu selalu menghindar kalau aku tanya soal Ayah? Tapi kenapa sekarang?" ucapan Keinara terhenti. "Bunda cuma ingin tahu aja, gimana perasaan kamu ketika nanti dia benar-benar kembali dan mencari kita? Kita nggak ada yang tahu, Kei, jalan hidup kita ke depan bakalan seperti apa." Keinara tiba-tiba bangkit, terlihat sekali pancaran sorot matanya yang penuh dengan api kebencian. "Orang tua Keinara cuma dua, yaitu Bunda dan Pakde Yudha. Kalaupun laki-laki biadab itu kembali, Kei akan berlagak untuk tidak mengenalnya. Kei nggak sudi harus bertemu sama seseorang yang udah buat buat Bunda sengsara!" serunya penuh emosi. "Kei, sabar nak. Coba duduk kembai. Maaf, Bunda nggak bermaksud untuk bikin suasana jadi keruh gini. Bunda cuma ingin memastikan, kalau kamu nggak akan pernah ninggalin Bunda, apapun yang terjadi nanti." tutur Sita dengan netra yang berkaca. "Keinara sayang sama Bunda. Sayang banget bahkan. Keinara cuma nggak mau laki-laki itu kembali dan hanya untuk menyakiti hati Bunda, untuk kedua kalinya. Keinara akan lawan dia kalau itu benar-benar terjadi." ucap Keinara, kemudian berbalik badan, berjalan menuju ke kamarnya. Sementara Sita hanya terdiam. Ia sama sekali tidak tidak menimpali apapun yang dikatakan oleh sang putri. Sepertinya rasa benci itu sudah mendarah daging juga di hati Keinara. "Ya Allah, kuatkan aku jika suatu hari nanti dia datang kembali dan merusak semuanya! Kuatkan aku agar bisa terus berdiri kokoh demi putriku." rintih Sita dalam hati. *** Sore ini rencananya Yudha akan bertemu dengan Vira. Dengan mengumpulkan tekat yang kuat, tadi pagi Yudha memberanikan diri untuk mengirim pesan pada Vira, tiada lain adalah untuk mengajaknya bertemu dan sekedar ngopi bersama. Diluar dugaan, ajakannya ternyata disambut baik oleh Vira. Vira langsung mengiyakan permintaan Yudha. Setelah selesai dengan segala pekerjaannya hari ini, Yudha bergegas berjalan menuju parkiran, berjalan dengan rona-rona bahagia yang jelas terpancar dari wajahnya. Rasa bahagianya tidak terkira. Ia berjalan dengan mengeluarkan siulan lirih sebagai ekspresi kegembiraannya. "Ya ampun! Udah kaya orang stres aja sih, Yud!" seru seseorang dari arah belakang. Sontak Yudha menghentikan langkah kakinya. Ia tengok ke belakang, ternyata ada si Roby yang berjalan di belakangnya. "Yay! Bukan orang stees, Rob. Tapi hati aku saat ini lagi senang, lagi berbunga-bunga." ungkap Yudha dengan percaya diri. Roby berhenti tepat jarak satu meter di hadapan Yudha. Kemudian ia menggelengkan kepalanya. "Emangnya berbunga-bunga kenapa? Abis dapat cipratan cuan dari Pak kepala ya?" celetuk Roby. "Cipratan cuan pala lo!" semprot Yudha dengan wajah sinis. "Hehehe, terus apa dong?" "Kepo ya?" "Ho oh! Cerita sih!" desak Roby, bersiap memasang pendengarannya dengan baik. "He he, ya bahagia aja, soalnya hari ini aku bisa pulang cepat terus bisa sampai rumah dengan cepat pula, lalu aku bisa tidur dengan cepat pula, ha ha ha!" tutur Yudha. "Udah ah, aku nggak punya banyak waktu. Aku cabut dulu ya bro! Dadaaah!" tutur Yudha seraya melambaikan tangannya, kemudian dia membalikkan badannya kembali, berjalan menuju mobil miliknya. Tak lupa, sebelum masuk ke dalam mobil, Yudha menahan kakinya untuk berhenti di berdiri menghadap kaca mobil. Ia putar tubuhnya, hanya untuk memastikan bahwa pakaian yang kini melekat ditubuhnya masih terlihat rapi dan tercium wangi. "Sipp!" ujarnya sendiri, kemudian baru masuk ke dalam mobil dan tancap gas. Roby yang masih mematung memperhatikan tingkah aneh temannya itupun masih tak habis pikir. Yudha yang selama hampir sepuluh tahun ia kenal adalah Yudha yang pendiam, Yudha yang selalu dingin dan tak banyak bicara. Namun sejak beberapa minggu belakangan sikapnya bisa tiba-tiba berubah drastis seperti yang ia lihat saat ini. Menjadi Yudha yang ganjen dan bertingkah aneh. "Kenapa ya itu orang? Apa jangan-jangan udah agak stres karena masih jomblo? Ya ampun, Yud. Kasihan sekali kamu." lirih Roby yang iba pada Yudha. Melihat mobil Yudha sudah menjauh, Roby pun segera melanjutkan langkahnya menuju mobil miliknya yang ia parkir tak jauh daei tempat Yudha parkir. *** Setelah membersihkan badan, Keinara keluar kamar menuju ke ruang biasa dia menikmati acara televisi. Sementara sang Bunda tengah sibuk membereskan segala pernak-pernik dapur yang tercecer bukan pada tempatnya. "Bun, besok sore Keinara jadi lho ya, mau camping ke pantai sama anak-anak."ucapnya seraya duduk dan menyalakan televisi. Sontak Sita menghentikan aktivitasnya. Kemudian ia menoleh ke arah sang putri. "Mau camping?" tanyanya memastikan. "Iya! Kan minggu kemarin Kei udah bilang sama Bunda. Udah minta izin juga kan. Kata Bunda boleh lho! Bunda lupa ya?" tutur Keinara. Sita masih diam, sebenarnya dia sendiri bingung antara harus memberi izin atau justru berbalik melarang. Keinara melongok ke arah sang Bunda. Menatapnya heran. "Lah, kok Bunda malah bengong gitu sih? Mikirin apa?" tanyanya heran. Sita terperanjat, terbangun dari lamunannya. "Emmm, Bunda lupa aja Kei, kalau kamu sudah minta izin. Maklum lah, Bunda kan banyak juga yamg harus dipikirkan, hehe." tutur Sita. "Tapi tetap dikasih izin kan, Bun? Soalnya Kei kan udah janji juga sama teman-teman. Udah punya rencana matang untuk acara di tempat camping nanti." keinara masih memandang ke arah Sita. "Emmm! Iya Kei. Bunda izinin." "Horeeee! Yesss! Makasih Bundaku sayang!" ujar Keinara tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. "Iya! Tapi ingat lho ya, jaga diri baik-baik. Apalagi nggak ada yang ngawasin!" ujarnya. Ternyata Sita tak sampai hati harus mematahkan inginnya sang putri. "Hehe, siap Bun!" sahut Keinara girang. Keinara membalikkan tubuhnya kembali, menatap televisi dan melanjutkan menonton acaranya. Sita kembali melanjutkan aktifitasnya, namun pikirannya kian mengacau. Sampai kapan dia bisa tahan dengan semua keadaan ini. Membiarkan Keinara terus berjalan bersama Zaky. Sita sadar, serapat-rapatnya menyimpan sebuah rahasia, lambat laun semua pasti akan terbuka dengan sendirinya, dan itu tinggal menunggu waktu saja. Memberitahu Keinara hal yang sesungguhnya sekarang ataupun nanti, hasilnya akan sama saja, sama-sama akan terasa sakitnya. Setelah Sita menyelesaikan pekerjaan dapurnya, dia langsung masuk ke dalam kamarnya. Melewati Keinara yang sedang fokus menonton acara televisi kesukaannya. Keinara yang melihat hal itu, merasa aneh saja. Biasanya ketika dirinya sedang berada di depan televisi, sang Bunda pasti akan menyusulnya, menemaninya hingga Keinara bosan dan pergi ke kamarnya. "Bunda kenapa sih? Main nyelonong aja!" lirihnya bertanya-tanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN