Malam ini Keinara terpaksa keluar ditemani sang Bunda. Ia pergi ke minimarket terdekat untuk sekedar membeli perlengkapan berupa makanan instan yang akan dibawanya untuk bekal camping esok hari.
Keinara sesekali melirik ke arah Bundanya. Ingin rasanya dia menanyakan sesuatu hal, tapi melihat raut wajahnya yang tidak bersahabat, membuatnya urung melakukannya.
Padahal rencananya malam ini Keinara ingin pergi bersama Zaky bukan hanya untuk sekedar membeli keperluan camping saja, namun mereka juga ingin makan malam bersama diluar. Sayang, rencana itu harus pupus karena Sita mendadak melarangnya.
"Apalagi yang mau dibeli, Kei?" tanya Sita yang berjalan di belakang Keinara.
Keinara berhenti, menengok ke belakang. "Kayanya sih udah, Bun, ini aja cukup!"
"Ya udah, bayar ke kasir terus pulang!" ujarnya lalu berjalan mendahului Keinara.
Keinara menyusul sang Bunda.
Setelah menyelesaikan p********n pada kasir, Sita dan Keinara segera meninggalkan minimarket.
Di perjalanan pulang, Sita masih terlihat diam. Sementara Keinara juga memilih diam. Keinara sangat paham, ketika mood sang Bunda sedang tidak baik-baik saja, lebih baik diam.
"Mau mampir jajan nggak, Kei?" tanya sang Bunda yang sedang menyetir sepeda motor.
"Emm, nggak deh, Bun. Langsung pulang aja!" jawab Keinara.
"Nggak pengen martabak di depan? Biasanya kalau keluar mesti pesan dibawain martabak." timpal Sita.
"Emm, ya udah! Boleh deh, Bun!" ujar Kei mengubah jawaban.
***
Sementara Zaky yang berada di kontrakan pun merasa heran. Sita yang baru saja beberapa hari menyambut baik kehadirannya, tiba-tiba sore ini mendadak berubah. Zaky yang tengah merebahkan dirinya di atas kasur kamarnya, seraya memegang stik PS di tangannya.
"Bunda kenapa sih, tiba-tiba kaya membatasi aku buat nggak ketemu sama Keinara. Aku salah apa coba?" ucap Zaky, seraya mengingat-ingat kembali, salah apa dia dengan Sita.
"Perasaan nggak ada deh. Terakhir ketemu pas acara makan malam itu. Itu juga seingatku aku nggak bikin salah apa-apa, nggak berbuat yang macam-macam. Bunda juga kan nggak sempat ada disitu lama. Terus Keinara sampai rumah juga aku sendiri yang antar. Coba, dimana salahku?" gerutu Zaky.
"Bunda lagi PMS apa ya? Tiba-tiba jadi kaya gini. Duhh, Bunda! Jangan bilang setelah ini Bunda cabut restu yang udah Bunda ucapkan beberapa hari yabg lalu. Jangan dong, Bun. Baru juga bahagia, masak udah mau dibikin sedih lagi. Sama aja di prank dong!" Zaky masih saja menggerutu.
Zaky meletakkan stik PS, kemudian mengambil ponselnya.
"Nggak ada pesan dari Keinara. Dia jadi keluar sama Bunda apa ya? Haduhh! Kenapa jadi ribet gini sih! Aarrrggghhh!" sungut Zaky.
***
Balikpapan
Malam ini selepas makan malam, Rafly menghilang sejenak keluar rumah tanpa memberitahu Sukma. Ia pergi hanya dengan berjalan kaki keluar komplek. Rafly hendak menelfon Agas, sahabatnya yang ada di Jogja. Ia memilih keluar supaya lebih leluasa membicarakan misi yang ia rencanakan bersama Agas.
Rafly berhenti di depan sebuah rumah kosong sekitaran komplek. Setelah merasa aman karena sudah jauh dari rumah, ia mulai mengeluarkan ponselnya.
Tut tut tut
"Hallo bos! Gimana, gimana?" sahut Agas di pulau seberang sana.
Sementara Sukma terlihat mendengus kesal, kemudian membalikkan tubuhnya, berjalan menuju ke ruang keluarga. Sukma membuka ponselnya, berinisiatif untuk menghubungi sang suami.
"Nomer yang anda tuju sedang subuk!"
"Nomer sedang sibuk? Lagi telfon siapa sih Mas Rafly!" lirihnya penasaran.
"Gas, aku besok terbang ke Jogja ya. Kamu bisa kan jemput aku di bandara. Setelah itu kita langsung ke rumah Sita."
"Siap! Bisa diatur, Raf! Ngomong-ngomong besok sampai jam berapa? Soalnya aku pagi jam sembilan sampai jam sebelas ada acara."
"Aku terbang sore, Gas. Jam empat dari sini. Kemungkinan sampai Jogja sebelum maghrib. Bisa kan?"
"Siap! Bisa banget!"
"OK. Aku cuma mau memastikan aja, sampai ketemu besok ya."
"Yoi bro!"
Setelah merasa semua sudah aman, Rafly memutuskan untuk kembali pulang.
***
"Mas Rafly kemana sih?" ujar Sukma. Sekembalinya dari mencari keberadaan suaminya di seluruh rumah namun tidak menemukannya.
Sukma menuju ke dapur. "Mbok! Tahu nggak Bapak pergi kemana? Aku cari di atas nggak ada. Di taman samping sama kolam renang juga nggak ada. Tapi mobilnya ada di garasi." tanyanya pada Mbok Surti, salah satu asisten rumah tangganya yang tengah membereskan cucian dalam wastafel.
"Tadi sih habis dari meja makan langsung pergi keluar, Bu. Tapi nggak tahu kemana. Coba tanya sama Mang Hisam atau Mang Supri, mungkin tahu Bapak pergi kemana." tutur Surti.
"Owh gitu ya. Emm ya udah, aku keluar ke Pak Hisam dulu ya, Mbok." ujar Sukma.
Sukma lalu bergegas pergi menuju ke pos satpam, dimana biasanya Pak Hisam menghabiskan waktunya dengan Pak Supri, satpam di rumahnya.
"Pak Hisam!" seru Sukma di depan pintu masuk pos satpam.
Sang empunya nama segera keluar menyambangi sang tuannya.
"Iya, Bu. Ada apa ya?" tanyanya sopan.
"Tahu Bapak pergi kemana nggak? Kata Mbok Surti tadi sih keluar. Tapi mobilnya sih ada di garasi." terang Sukma.
"Owh, Bapak sih saya lihat tadi pergi ke utara sana, Bu. Jalan kaki saja. Mungkin pengen olah raga malam, Bu." terang Pak Hisam.
"Jalan kaki? Ke utara sana?" tanya Sukma mempertegas seraya menunjuk ke arah utara.
"Iya Bu." timpal Pak Hisam.
"Kemana ya? Ke utara? Apa jangan-jangan main ke rumahnya Robby? Tapi rumahnya kan agak jauh dari sini. Masak iya Mas Rafly jalan Kaki. Haduh! Kemana sih, bikin orang rumah khawatir aja." sungutnya antara khawatir juga kesal.
Pak Hisam mengarahkan pandangannya keluar pagar. Kebetulan saat itu juga terlihat Rafly yang berjalan dari arah utara, hampir mencapai pagar.
"Nah, itu Pak Rafly, Bu." serunya seraya menunjukkan tangannya ke arah pagar rumah. "Panjang umur si Bapak, baru juga pada diomongin udah datang aja." lanjutnya.
Sukma menoleh dengan cepat, ia mendapati suaminya tengah berjalan santai memasuki pagar, menyambangi orang-orang yang ada di pos satpam.
"Ada apa ini? Kok pada ngumpul disini?" tanya Rafly basa-basi.
"Ada apa-apa! Mas Rafly darimana sih? Pergi nggak bilang-bilang. Aku khawatir tahu, Mas!" semprot Sukma seketika.
"Aku cuma habis jalan-jalan aja, Sayang. Dari utara sampai rumahnya Om Rudy situ terus ini balik lagi pulang." terang Rafly.
"He he he. Ini Ibu khawatir banget lho, Pak. Bapak sih main ngilangin gitu aja!" sahut Pak Hisam, mencoba mencairkan suasana.
Rafly terlihat menggaruk-garuk kepalanya. "He he he, maaf Sayang. Tadi pas aku mau keluar, kamunya kan lagi di kamar mandi atas. Ya udah aku jalan aja. Lagian kan ini cuma sebentar, ini juga udah pulang lagi." Rafly merangkul Sukma. "Udah jangan cemberut, masuk yuk!" rayunya pada sang istri.
"Iya lain kali bilang kalau mau kemana-mana itu. Biar akunya nggak panik, Mas!" seru Sukma, masih dengan bibirnya yang maju beberapa senti meter.
"Iya, iya! Maaf sayang! Udah yuk, masuk!" ajak Rafly.
Sepasang suami istri itupun segera berjalan menjauh dari pos satpam. Segera naik ke lantai dua menuju ke kamar pribadi.
Rafly membuka pintu kamarnya.
"Mas, tadi aku sempet telfon kamu lho, tapi nadanya sibuk gitu. Kamu lagi telfon siapa?" tanya Sukma penasaran.
"Hah, telfon?" mendadak wajah Rafly berubah. Sepertinya dia harus memulai untuk berbohong lagi.
"Owh, itu tadi, telfon Selvi, sayang. Besok itu aku ada acara dadakan ke Sukabumi, jadi ya harus mempersiapkan semua keperluan yang ahrus disiapkan aja. Tapi semuanya udah beres kok."
"Dadakan banget ya? Biasanya nggak pernah kaya gini, Mas. Kamu itu pasti dan selalu ada persiapan matang kalau mau keluar kota. Tumben banget." ujar Sukma. Ada nada tidak percaya yang Rafly tangkap dalam setiap ucapan Sukma.
Rafly meraih bahu Sukma, keduanya kini saling berhadapan, saling menatap. Rafly meraih tengkuk sang istri memandanginya dalam penuh cinta. "Kamu jangan pernah berfikiran macam-macam tentang aku. Kamu tahu, aku begitu sangat menyayangi kamu dan juga Zaky. Kalian berdua sumber kebahagiaanku." ucapnya dari hati.
Sukma tersenyum, hatinya mulai luluh, lupa dengan segala penasaran yang ia simpan sedari tadi. Bagi seorang wanita, ketika laki-lakinya sudah mengucapkan kata-kata maut yang mampu menyentuh hati, rasanya dunia ini sudah berpihak kepadanya. Itulah wanita yang selalu bermain dengan perasaan mereka.
***
Yudha terpaksa harus mengantar Ratna pulang ke rumahnya. Di sepanjang perjalanan hampir tidak ada obrolan yamg mereka keluarkan. Yudha memilih diam, sedangkan Ratna yang memang anaknya pendiam, juga memilih diam. Ratna tahu, Yudha terlihat tidak nyaman. Wajah Yudha sedari tadi berangkat memang sudah terlihat tidak bersahabat.
"Emmm, maaf ya, Mas. Jadi ngerepotin Mas Yudha gini. Harusnya tadi Ratna naik ojek aja!" tiba-tiba suara Ratna pecah, memberanikan diri membuka pembicaraan.
"Nggak apa-apa, Rat! Santai aja!" timpal Yudha seadanya.
"Aku cuma ingin. kamu nggak pernah berharap lebih dari apa yang aku lakukan sekarang. Aku nggak mau nantinya, kamu ikut berharap dengan semua skenario yang orang tua kita jalankan sekarang."
Degh. Seketika d**a Ratna seperti berhenti berdetak, mendengar penjelasan yang Yudha sampaikan. Sangat jelas sekali, ini sebuah tanda jika Yudha menolak perjodohan ini.
"Kamu pasti juga paham kan, apa maksud omonganku barusan?" imbuh Yudha.
"Mas Yudha, menolak perjodohan ini ya?" tanya Ratna memastikan.
"Iya! Dan aku juga nggak mau kamu nantinya akan sakit ketika tahu kalau aku sama sekali tidak menginginkan ini semua. Lebih baik kamu t**i dari awal." terang Yudha dengan tegas.
Ratna menunduk, ingin rasanya saat itu juga ia tumpahkan air matanya. Baru kali ini Ratna merasa sakit karena di tolak oleh laki-laki. Karena biasanya, laki-laki lah yang selalu mengejarnya.
"Ratna cuma ingin menunjukkan bakti Ratna sama Bapak, Mas. Ratna ingin membalas jasa-jasa Bapak yang selama ini sudah merawat Ratna dengan baik hingga Ratna menjadi seperti saat ini."
"Itu artinya kamu menerima perjodohan ini?" potong Yudha.
"Ratna akan mengikuti kemana semua ini akan berujung nantinya, Mas. Apapun nanti hasilnya Ratna pasrah dan ikhlas." ujar Ratna.
"Aku sudah mengingatkan, kalau kamu bersi keras, itu pilihanmu!" timpal Yudha tegas.
Ratna terdiam. "Mas Yudha, apa kamu sudah mempunyai wanita pilihan lain selain aku? Jujur aku berharap kamu juga bisa menerima perjodohan ini, Mas. Karena sejak pertama kali aku bertemu denganmu, entah kenapa hatiku seakan sudah bisa menerima semua ini."
***
Sesampainya di rumah, Sita masih banyak diam. Sementara Keinara terlihat kesal dengan keputusan sepihak dari sang Bunda.
"Mau makan apa, Kei?" tanya Sita singkat.
Keinara yang berjalan hampir mencapai pintu kamarnya, mendadak berhenti. Kemudian menoleh ke belakang.
"Kei nggak lapar. Mau tidur aja!" ucapnya terdengar sedikit ketus.
Sita yang sedang berdiri dan membuka lemari pendingin, sontak memandang ke arah Keinara, nanar.
"Kenapa? Kamu marah sama Bunda? Nggak bisa bicara lebih halus sedikit sama orang tua?" sahut Sita, ikut tersulut amarah.
Brak
Sita membanting pintu lemari pendingin tersebut, lalu berjalan mendekati sang putri. Kini keduanya tengah saling berhadapan.
"Pernah, bunda mengajarkan kamu untuk berbicara tidak sopan di depan orang tua?" tanya Sita tegas.
Keinara menggeleng pelan.
"Apa hanya gara-gara Bunda melarang kamu untuk pergi dengan Zaky, kamu mau jadi anak yang tidak tahu sopan santun?"
Keinara menggeleng lagi.
"Kalau kamu sudah tidka kau mengikuti aturan yang Bunda berikan, silakan. Silakan kamu hidup sesuka hati kamu. Tanpa adanya larangan-larangan Bunda, tanpa adanya perhatian Bunda, kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau. BEBAS!" ujar Sita yang mendadak meninggikan suaranya.
Keinara hampir pingsan mendengar gertakan sang Bunda. Seumur hidupnya, belum pernah ia dapati sang Bunda semurka ini. Matanya mulai berkaca, menatap sang Bunda yang sudah tersulut emosi.
"Bun, Kei nggak bermaksud menentang Bunda, Kei cuma,"
"Cuma apa? Harusnya kamu senang Bunda kasih kebebasan. Iya kan? Sekarang mau apa? Mau pergi sam Zaky? Silakan! Pergi aja, Bunda nggak akan larang!" Sita kembali berteriak.
"Bunda,"
Sita membalikkan tubuhnya, namun Keinara segera mengejar sang Bunda, memeluknya erat dari belakang.
"Bun, maafin Ke!" ucapnya diiringi isak tangis. "Kei nggak mau bikin Bunda marah. Kei nggak mau bikin Bunda nangis! Maafin Kei, hiks hiks hiks!"
Sita yang tadinya murka, mendadak luluh mendengar tangisan sang putri. Sita membalikkan tubuhnya, meraih pipi Keinara yang sudah basah.
"Bunda sayang sama Kei. Bunda ingin Kei tidak salah jalan seperti Bunda. Itu saja, nak!" ucap sita terbata, menahan tangis di netranya.
Keinara mengangguk! "Iya, Bun. Kei nurut sama Bunda."
"Iya, sayang." timpal Sita seraya mengusap pipi Keinara.
Keduanya saling berpelukan, saling memaafkan.
"Bunda nggak melarang kamu berteman sama Zaky, berteman sewajarnya. Bunda akui Bunda kurang tepat memberikan kalian izin untuk berhubungan lebih dari sekedar teman. Bunda bukannya benci sama Zaky. Bunda tahu Zaky anak yang baik. Kalian berdua anak baik. Bunda juga yakin kamu pasti tidak akan tega menyakiti hati Bunda, bukan?"
Keinara tak menyahut, hanya anggukan kepala yang terpaksa ia tunjukkan. Keinara sayang sekali dengan sang Bunda. Setelah ia pikir-pikir lebih dalam, sepertinya tidak elok jika dia egois mempertahankan hubungannya dengan Zaky, seseorang yang baru saja ia kenal, daripada sang Bunda yang selama ini selalu melakukan segala yang terbaik untuk kehidupannya.
Ya, Keinara tidak ingin egois. Ia ingin melihat sang Bunda bahagia.