Tiga Sembilan

2038 Kata
Yudha akhirnya bertemu juga dengan Vira. Rasa kecewanya bisa langsung terobati ketika Vira mengabarkan jika ia ingin bertemu. Di sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya ia uraikan senyum indahnya. "Huufff! Akhirnya jadi juga makna sama Vira." ujarnya bersemangat. Yudha kian menambah kecepatan mobilnya. Ia sudah tak sabar ingin segera berjumpa dengan Vira. Sesampainya di pelataran cafe, Yudha segera tutun dan berlari kecil masuk ke dalam cafe. Ternyata dia sudah mendapati Vira duduk di meja yang ia singgahi tadi siang. Yudha segera menyambangi Vira. "Vir! Maaf telat. Kamu udah lama nunggunya?" tanyanya tak enak. "Belum, Mas. Baru juga sampai. Duduk Mas!" ucapnya mempersilakan Yudha untuk segera duduk. "Iyap!" Yudha langsung duduk. "Maaf ya, Mas. Tadi itu benar-benar mendadak banget ada pasien yang perlu penanganan. Mau nggak mau kan aku nggak bisa tinggalin." terang Vira. "Udah lah, Vir. Nggak usah dibahas lagi. Lagian keselamatan pasien kan jauh lebih penting." balas Yudha, bersikap bijak. "Hemm, makasih ya, Mas. Atas pengertiannya." "Yap! Sama-sama." timpal Yudha. Segera dia mengambil menu yang ada di tengah meja. "Emm, kamu mau makan apa? Disini menunya enak-enak lho. Aku sering banget ngabisin waktu disini sama teman-teman aku." "Oh ya? Teman apa teman nih, Mas? He he he." sahut Vira setengah meledek. Yudha menegakkan kepalanya, menatap Vira. "Teman lah, Vir. Aku kan nggak punya teman dekat atau sejenisnya." terang Yudha, menyiratkan pada Vira jika dia benar-benar masih sendiri. "He he he. Iya, iya, percaya!" ujar Vira dengan senyum tertahan. "Mas Yudha ternyata memang benar-benar masih sendiri. Apa mungkin aku pantas untuk berharap lebih pada dia? Ah, tidak! Ini aku hanya terbawa perasaan sesaat aja, karena lama aku tidak bertemu dengan Mas Yudha. Laki-laki itu dimana-mana juga sama saja. Mereka hanya akan membual demi mendapatkan apa yang mereka mau. Setelah itu mereka tidak akan segan-segan untuk membuangnya." batin Vira. Keduanya terlihat asyik menikmati obrolan-obrolan seraya menikmati makanan pesanannya. Yudha yang biasanya diam, kini lebih terlihat agresif memancing pertanyaan-pertanyaan untuk sekedar mengetahui kehidupan Vira selama ini. Hampir satu jam bersama, akhirnya sesi perpisahan tiba juga. Vira pamit hendak pulang karena jam delapan nanti akan ada acara di komplek rumahnya dan dia harus hadir. "Kamu pulang sama siapa, Vir? Bawa mobil nggak?" tanya Yudha. "Emmm, aku tadi naik taksi sih kesininya. Kebetulan mobil aku lagi di bengkel, Mas." terang Vira. "Yesss!" batin Yudha. Ekspektasinya sesuai dengan kenyataan uang dia inginkan. "Owh, ya kalau gitu aku anterin aja ya? Mau nggak?" "Ya, kalau nggak ngerepotin Mas Yudha sih, nggak apa-apa. Tapi kalau Mas Yudha buru-buru. Aku naik taksi lagi aja." terang Vira. "Ya nggak ngerepotin lah. Dengan senang hati aku antar sampai rumah. Yok!" "Ya udah kalau maksa, he he." Yudha meletakkan beberapa lembar uang pembayaran di atas meja. Kemudian Keduanya bangkit dan keluar dari cafe. Seorang tukang parkir yan sedang menjaga beberapa mobil disana nampak berlari mengejar mobil milik Yudha, namun sayang tidak terkejar. "Mbak! Mbaknya!" serunya berusaha memanggil Vira. Sayang mobil terus berjalan. "Itu si Mbaknya gimana sih? Tadi kan kesini bawa mobil yang hitam itu. Tapi pulangnya kok malah naik mobil yabg beda sih. Lupa kali ya dia tadi bawa mobil! Haduh, cantik-cantik kok pikun!" ujar si tukang parkir seraya menggelengkan kepalanya. Perjalanan menuju ke rumah Vira hanya memerlukan waktu sekitar lima belas menit. Sampailah mobil Yudha di depan sebuah pagar kayu bercat hitam yang menjulang tinggi. Vira dari dulu memang terkenal sebagai anak orang kaya. Tak heran jika rumahnya memang sangat terlihat mewah. "Makasih ya, Mas, udah di traktir! plus dianterin juga. He he he." ujar Vira sebelum turun dari mobil. Yudha mengulas senyum, "Sama-sama, Vir! Makasih juga kamu udah mau nyempetin waktunya buat sekedar ngobrol nggak jelas kaya tadi, he he." timpal Yudha. "Yap! Nggak masalah! OK, kalau gitu aku turun ya, Mas. Sampai ketemu besok lagi." pamit Vira. "Siap! Hati-hati ya, Vir!" "Iya." Vira membuka pintu, kemudian keluar. " Yudha segera tancap gas meninggalkan kediaman Vira. Melihat Yudha sudah tidak terlihat lagi, Vira buru-buru memesan taksi online, ia harus kembali ke cafe untuk mengambil mobil yang sengaja dia tinggalkan disana. Hati Yudha benar-benar sedang berbahagia. Ia menganggap pertemuannya dengan Vira yang secara sengaja ini adalah kencan pertamanya. Di sepanjang perjalanan pulangnya, tak henti-hentinya dia selalu tersenyum ketikan mengingat pertemuannya dengan Vira tadi. "Vira! Akhirnya, kita bisa dekat seperti dulu lagi. Bahkan jauh lebih dekat sekarang ketimbang dulu." ucapnya sendiri di dalam mobil. Mulai memasuki area halaman rumahnya, Yudha sedikit tercengang ketika melihat sebuah sepeda motor matic berwarna merah terparkir di halaman tersebut. Rasanya dia belum pernah mendapati sepeda motor tersebut sebelumnya. "Sepeda motor punya siapa ini? Ada tamu Bapak kah?" lirihnya bertanya-tanya. Yudha segera turun dari mobilnya. Ia terus berjalan menuju pintu utama, hingga saat melihat sosok tamu yang ada di dalam ruang tamu, seketika langkah kakinya terhenti. "Lhoh, Ratna!" batinnya kaget, dengan pandangan bola mata yang hampir keluar. "Nah, ini dia yang ditunggu-tunggu. Kamu dari mana aja sih, Yud? Jam segini baru sampai rumah!" tegur Prayoga. "Sini, duduk!" serunya. Yudha yang masih mematung sontak menggerakkan kakinya ke bangku tamu. Kemudian ia ikut duduk membaur bersama kedua orang tuanya dan Ratna. Sekilas Yudha menatap Ratna. Gadis kalem yang selalu menundukkan pandangannya di depan kaum adam. "Kok perasaanku nggak enak gini ya!" batinnya mulai curiga. "Kamu kemana aja, Yud? Ada lemburan po, kok baru pulang!" tanya Prayoga, sekali lagi. Yudha tersentak dari lamunannya. "Emm, nggak ada lembur sih, Pak. Cuma tadi ada janji sama teman buat makan di luar. Ya udah baru sampai rumah ini deh." jawab Yudha dengan jujur. "Kasihan lho, Yud. Ini nduk Ratna udah dari tadi datangnya. Barusan juga sebenarnya udah mau pulang, tapi untungnya kamu keburu datang, nggak jadi, hehe." sahut Mainah. Yudha menegakkan kepalanya ke arah sang Ibu. "Lhah emang Ratna kesini mau ketemu sama aku atau sama Bapak Ibu?" celetuknya. Sontak membuat Ratna semakin tidak enak hati. Ia merasa jika kehadirannya mungkin saja telah mengganggu kenyamanan Yudha. Ratna memberanikan menegakkan kepalanya. Mencoba memberikan penjelasan. "Emm, maaf Mas Yudha, kalau kedatangan Ratna membuat Mas Yudha jadi nggak nyaman. Ini lho, e, tadi malam, kebetulan Ratna iseng-iseng aja bikin kue, banyak juga sih. Terus tadi pagi pas mau berangkat kerja, kepikiran aja mau ngasih sebagian kue ini buat Bulik sama Paklik. Ya udah, pulangnya Ratna anterin aja kesini. Emm, Mas Yudha pasti capek ya, harusnya pulang dari kerja istirahat, malah harus nemuin saya. Maaf ya, Mas. Ratna jadi nggak enak." tutur Ratna dengan wajah khawatirnya. Sontak penjelasan Ratna membuat Prayoga juga merasa tidak enak. "Eh eh eh! Nggak gitu nduk. Yudha nggak capek kok. Mungkin dia cuma kaget aja lihat tamu perempuan di rumah ini. Biasanya tamunya laki-laki semua, he he he." potong Prayoga. Dia tidak mau Ratna menjadi merasa bersalah. Yudha hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya. Ia rasanya tak ingin berdebat lebih lanjut lagi. Apalagi dengan Ayah atau Ibunya. "Ini nak Ratna bawain oleh-oleh kue, cobain icip, Yud. Ibu tadi sudah icip. Uenaakkk lho! Kamu mau icip nggak?" sambung Mainah, ikut mencairkan suasana. "Yudha kan abis makan, Bu. Masih kenyang. Nanti aja kalau perutnya udah kosong." jawab Yudha sekenanya. Ratna kembali tertunduk. Kali ini dia benar-benar merasa jika Yudha sama sekali belum bisa menyambut kedatangan hadirnya dalam kehidupan Yudha. "Eeemmm, Paklik, Bulik, Mas Yudha. Ratna izin pulang dulu ya. Sudah mau masuk waktu isya' juga. Nggak enak ninggalin Bapak sendirian di rumah." Ratna tiba-tiba meminta izin mau pulang. Yudha seketika menunjukkan wajah yang lega, akhirnya Ratna akan segera pulang. "Eh, jangan pulang dulu nduk! Ngobrol-ngobrol aja dulu sama Yudhanya." cegah Prayoga. Seketika wajah Yudha kembali berubah masam. "Bapak sama Ibu apa-apaan sih ini! Orang mau pulang kok dicegah!" batinnya protes. Prayoga melirik pada Mainah, memberikan kode berupa kedipan mata sebelah. Seakan paham kode yang di berikan oleh sang suami, Mainah ikut bereaksi. "Iya, nak Ratna. Ngobrol aja dulu sebentar. Tapi ini mohon maaf sekali, Ibu sama Bapak masih ada kerjaan di dalam. Jadi ya, nggak bisa nemenin kalian disini." imbuh Mainah yang sudah bangkit dari duduknya. Sontak mata Yudha mendadak melebar, bibirnya terbuka setengah lebar. Ingin rasanya Yudha menahan kedua orang tuanya, namun bibir dan lidahnya seakan kelu. Hanya bisa menunjukkan ekspresi wajahnya yang entah sulit untuk dilukiskan, antara kesal, marah, dan tidak enak. "Iya, Bulik!" jawab Ratna singkat seraya malu-malu. "Iya sudah, Bapak sama Ibu ke belakang dulu ya. Kalian berdua ngobrol aja dulu! Hehehe." Prayoga juga bangkit. Keduanya nampak berjalan menuju ke belakang. "Heeemmm, ini Bapak sama Ibu kayanya pada sengaja deh, biarin aku disini berdua sama Ratna. Maunya apa sih! Kenapa sekarang Ibu juga jadi ikut-ikutan main jodoh-jodohan gini sih!" gerutu Yudha dalam hati. Kini di ruamg tamu tinggal ada Yudha dan Vira. Keduanya masih terlihat saling diam. Bingung juga mau memulai pembicaraan dari arah mana. Keduanya masih kaku. "Kamu, kesini niat kamu sendiri atau disuruh sama Pakde Wardi?" Yudha tiba-tiba bertanya tanpa basa basi kepada Ratna. Membuat Ratna kaget, karena memang sebenarnya kedatangannya itu juga atas rekomendasi dari sang Ayah. Ratna yang polos akhirnya tidak mampu menyembunyikan kebohongannya. "Emmm, ini Mas, emmm sebenarnya, disuruh sih sama Bapak, Mas." jawab Ratna jujur. Ratna makin menundukkan kepalanya. Yudha menghela nafasnya, ia sudah menduga, semua ini hanya akal-akalan kedua orang tua mereka saja. Waktu berjalan selama tiga puluh menit, tak banyak hal yang mereka obrolkan. Mereka memilih saling diam. Karena merasa tidak enak akhirnya, Ratna memutuskan untuk berpamitan. Yudha memanggil Ayah beserta Ibunya. "Hati-hati ya, Nduk. Besok kalau ada waktu main lagi kesini. Nanti kita masak bareng-bareng, ya?" ucap Mainah. "Iya, Bu. Insya Allah." timpal Ratna. "Sampaikan salam Paklik buat Bapak juga ya, Nduk. Maaf Paklik belum sempat berkunjung. Nanti kalau Yudha libur kerja sekalian kesananya, he he he." tuturnya lantang. Sontak pernyataan sang Ayah membuat Yudha makin kehilangan moodnya. "Iya Paklik, ditunggu kunjungannya." sahut Ratna. Prayoga memandang ke arah Yudha yang wajahnya terlihat sekali sedang tidak nyaman. "Yud, anterin Ratna ke depan sana!" titahnya pada Yudha. "Hah? Yudha!" ucapnya tercengang. "Iya!" timpal sang Ayah dengan tegas. Sebuah penekanan jika perintahnya tidak boleh di tolak. Yudha terpaksa mengantarkan Ratna keluar hingga halaman depan, dimana sepeda motor Ratna terparkir. Namun alangkah kagetnya Rayna ketika ia melihat ban sepeda motornya terlihat kempes. "Ya ampun!" serunya. Lalu sedikit membungkukkan badannya memeriksa bagian bawah. "Kenapa, Rat?" tanya Yudha. Rayna kembali menegakkan badannya. "Emm, ini Mas. Ban sepeda motorku kempes. Aduh, gimana ya!" Ratna mulai panik. "Kempes? Kok bisa? Emang tadi pas jalan kesini nggak kerasa apa?" seru Yudha. "Tadi sih nggak kenapa-kenapa, Mas. Orang di jalan tadi juga sempet aku isi angin kok." tukas Ratna. "Emm, Mas Yudha ada pompa nggak? Kalau ada aku coba pompa aja." "Aduh, pompa sih nggak ada Rat. Gimana ya?" Yudha berkacak pinggang, ikut kebingungan. Melihat Ratna dan Yudha seperti sedang kebingungan, sontak membuat Prayoga penasaran. Ia terpaksa berjalan mendekati kedua anak tersebut. "Ada apa, nduk, Yud? Kok kalian berdua kaya kebingungan gitu?" tanyanya langsung. "Ini, ban sepeda motor Ratna kempes, Pak." sahut Yudha. "Iya, Paklik. Padahal tadi pas mau jalan kesini udah Ratna isi anginnya. Aduh, gimana ya!" "Oalah, perkara ban to! Gampang itu!" seloroh Prayoga. Pernyataan Prayoga sontak membuat Yudha dan Ratna langsung menatap ke arah Prayoga, dengan wajah bertanya-tanya. "Ya kan tinggal kamu antar aja nduk Ratnanya, kan Yud. Kamu antar sampai rumah. Nanti kalau ditanya sama Pakde Wardi, bilang aja kalau bannya kempes. Selesai!" tutur Prayoga dengan yakin. Apa yang dilontarkan sang Ayah, sontak membuatnya geleng-geleng kepala, tak habis pikir dengan ide konyol yang Ayahnya sampaikan. Ingin sekali Yudha memberontak, tapi sekali lagi, dia tidak bisa. Dia ingin menjaga perasaan Ratna juga. "Aduh, kayanya nggak usah diantar sama Mas Yudha segala deh, Paklik. Kasihan Mas Yudha kecapean pasti. Baru juga pulang dari kerja. Ratna telpon Bapak aja biar suruh jemput disini. Beneran Ratna nggak mau ngerepotin Mas Yudha." ujarnya menolak. "Nggak apa-apa, Nduk. Kasihan Bapakmu kalau harus jemput kesini segala. Udah tua pasti repot dan capek. Disini kan ada anak yang lebih muda, yang tenaganya masih full. He he he! Iya kan, Yud?" lemparnya pada Yudha. Yudha hanya diam. Lagi-lagi, dia hanya bisa menahan rasa kesalnya terhadap sang Ayah. Dan lagi-lagi, tentunya dia tidak akan bisa menolak apa yang sudah diperintahkan oleh sang Ayah. Terpaksa Yudha mengantarkan Ratna pulang. sementara di rumah, Prayoga dan Mainah tengah berpesta melihat anak sulungnya masuk dalam jebakan mereka. Ban sepeda yang kempes adalah akal-akalan Prayoga dan Mainah. Mereka sengaja membuat skenario tersebut supaya Yudha mau mengantarkan Ratna pulang. Berharap hubungan kedua anak tersebut semakin dekat. Hingga jalan menuju pelaminan itu kian terlihat nyata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN