Lima Empat

1569 Kata
Dua jam sudah Keinara dan kawan-kawan mengikuti perkuliahan. Sandrina, Michel, dan Rony sudah pergi meninggalkan ruang kelas. Sementara Zaky masih betah duduk do belakang Keinara. Zaky kesal karena melihat pemandangan yang membuat hatinya mendidih. Pemandangan dimana Keinara terlihat menikmati kebersamaannya dengan Riyan, si mahasiswa baru. Keinara sengaja rehat sejenak sebelum memutuskan untuk kembali ke rumah, dia menunggu Zaky pulang dahulu, baru dia akan menyusul pulang. Sayang, ternyata rencananya tidak berjalan sesuai rencana. Zaky memilih tetap bertahan di dalam kelas. Riyan terlihat sedang asyik membuka obrolannya dengan Keinara. Terlihat Keinara juga menanggapi Riyan dengan santai. Keduanya terlihat sudah begitu akrab. "Owh, jadi kamu itu asli orang Padang ya, Yan?" tanya Keinara. "Iya, Kei. Baru juga kemarin tiba di Jogja. Males sih sebenarnya harus pindah-pindah terus. Tapi ya, mau gimana lagi, Papaku tugasnya pindah-pindah gini! Mau nggak mau aku harus ikut." terang Riyan. "Capek juga sih ya, kalau harus hidup pindah-pindah gini. He he." "Resiko sih. Sebenarnya aku nggak mau ikutan pindah, tapi Mama aku itu yang bawel. Soalnya aku kan anak satu-satunya, jadi ya nggak mau jauh-jauh dari anak tersayangnya katanya." "Cie, anak Mama banget berarti ya? Hi hi hi." ledek Keinara. "Hemm, ya bisa dibilang gitu sih. Tapi walaupun anak Mama, aku nggak manja lho, he he he." "Masak sih?" "Ih nggak percayaan banget sih. Pengen bukti?" tantang Riyan. "Ha ha ha, kirain. Nggak, Yan. Percaya! Percaya, he he he." sahut Keinara terkekeh Keinara dan Riyan terlihat tertawa bersama. Hati Zaky semakin memanas. Ingin rasanya saat itu dia maju ke depan dan menonjok wajah Riyan. Mahasiswa baru yang sok asyik dan sok kenal itu sungguh membuatnya makin naik pitam. Terlebih saat Zaky mendengar Riyan meminta nomer telepon Keinara, dan dengan gampangnya Keinara memberikannya. "Dasar lo ya, anak baru sok iyes banget! Lo nggak tahu itu cewek yang lagi kamu deketin itu siapa? Dia cewek gue, oon!" umpatnya dalam hati. Zaky meluapkan kekesalannya dengan mengeratkan kuat-kuat kedua giginya, seraya mengepalkan keduan tangannya. "Awas lo, pulang dari sini gue hajar!" imbuhnya. "Kamu udah mau pulang belum, Yan? Aku kayanya harus balik deh, capek banget seharian otak ku ajak mikir. Pengen rebahan di kamar, he he." "Ayok lah, kalau mau pulang. Aku juga ada acara habis ini." timpal Riyan. "Yuk! Mari kita pulang!" ujar Keinara dengan wajah riang. Keinara dan Riyan bangkit dari duduknya, dengan cueknya meninggalkan Zaky yang masih duduk disana. Zaky hanya bisa diam, menahan kesal dalam hatinya. "Sialan! Mereka pergi gitu aja! Dikiranya disini nggak ada orang apa? Nggak ngajak-ngajak! Basa-basi dikit kek!" gerutu Zaky dalam hati. Zakypun segera bangkit, menyusul kepergian Keinara dan Riyan. Dari jarak sekitar sepuluh meter, Zaky tetap waspada mengamati Keinara dan Riyan yang berjalan di depannya. Sesampainya di parkiran, Keinara langsung memilih sepeda motornya. "Aku duluan ya, Yan. Kamu hati-hati di jalan!" pamit Keinara. Sudah berada di atas jok sepeda motornya. "Kamu juga hati-hati ya, Kei!" timpal Riyan yang berdiri di samping sepeda motor Keinara. "Siap! Dadaaa Riyan!" seru Keinara seraya terus berjalan meninggalkan Riyan. Setelah memastikan Keinara meninggalkan parkiran, Riyan lekas berjalan menuju dimana ia memarkirkan mobilnya. Tanpa sepengetahuan Riyan, ternyata Zaky mengikutinya. Baru saja Riyan hendak membuka pintu mobilnya, suara asing mengagetkannya. "Hai, anak baru!" seru Zaky yang sudah berdiri tegap sekitar lima meter di belakang Riyan. Mendengar seperti ada yang memanggilnya, Riyan memutar tubuhnya ke belakang. "Eh, kamu?" "Aku Zaky, sahabat dekatnya Keinara!" terang Zaky dengan cepat. "Emmm, ada apa ya, Ky?" tanya Riyan. Zaky melangkahkan kakinya lebih mendekat lagi ke arah depan Riyan. Sekarang jarak mereka berhadap-hadapan bahkan tidak ada satu meter. Zaky menatap nanar ke arah Riyan, membuat Riyan bingung karena dia merasa Zaky seperti sedang mengintimidasinya dengan tatapannya yang terlihat menyeramkan itu. "Lo, mending jauh-jauh deh dari Keinara! Gue nggak suka lo dekat-dekat sama sahabat gue. Gue paham banget, orang macam lo gini cuma akan mengambil keuntungan dari kedok yang lo kata pertemanan. Jadi, mending lo jauh-jauh dari gank kami, khususnya Keinara!" ujar Zaky dengan nada sengak tak bersahabat. Lebih tepatnya, nada pengancaman. Beberapa detik Riyan terlihat diam. Namun setelah beberapa detik, ia terlihat tersenyum. "Heh! Punya hak apa lo ngelarang-ngelarang gue untuk bisa dekat sama Keinara? Gue punya hak untuk dekat sama siapapun, termasuk Keinara. Dan lo? Lo cuma temannya Keinara, bukan Ayah atau Ibunya kan? Lo nggak ada hak sama sekali buat ngelarang gue! Paham!" timpal Riyan dengan berani. Bukan berarti nyali Riyan ciut karena merasa anak baru. Justru dia terlihat menantang Zaky, dan menunjukkan jika dia sama sekali tidak takut dengan gertakan Zaky. Zaky terlihat makin emosi, ia makin mengeratkan kepalan tangannya.Wajahnya juga kian memerah, netra nya makin terlihat melebar. Ingin rasanya saati itu juga dia menonjok wajah ngeselin yang ditunjukan oleh Riyan, namun Zaky masih bisa menahannya. Ia masih ingat bahwa saat ini masih berada di kawasan kampus. Membuat keributan disana hanya akan merugikan dirinya sendiri. Riyan membalikkan badannya. Meninggalkan Zaky begitu saja. "Kurang ajar emang itu anak! Malah nantangin! Belum tahu siapa gue! Lo lihat aja ya, kalau sampai lo masih aja deketin Keinara! Gue bikin habis lo!" batin Zaky geram. Zaky menuju ke arah mobilnya. Ia masuk ke dalam mobil dengan membanting pintunya. Ungkapan rasa amarah yang sudah sampai di ubun-ubunnya. Sepanjang perjalanan, tiada hentinya Zaky terus menggerutu dan mengumpat. Ia berjanji tidak akan membiarkan Riyan dengan leluasa mendekati keinara. Sementara Riyan menganggap ancaman dari Zaky bukankah hal yang cukup berarti. Sama sekali tidak ingin ia pikirkan begitu dalam. Menganggapnya hanya sebuah gertakan sambal. Balikpapan. Sekitar pukul lima belas, Rafly sudah pulang kembali ke rumahnya. Ia bersiap-siap untuk mengejar penerbangan pukul tujuh belas nanti. Sesampainya di rumah, Rafly segera bergegas menuju ke kamar mandi, membersihkan diri. Seperti mendapatkan angin segar, Sukma tidak menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut. Dengan gerak cepat ia cari ponsel suaminya yang masih ada di dalam tas. "OK! Aku akan cari tahu di dalam ponsel ini. Apa yang menjadi alasan sikap Mas Rafly yang terlihat aneh beberapa minggu ini." ucap Sukma dalam hati. Ponsel milik Rafly sudah berada di genggamannya. Dengan ada yang kian berdegup kencang, Sukma mulai menggerkan ibu jarinya, membuka kunci di layar ponsel dengan sandi pola yang sudah ia hafalkan di ingatannya. Sandi pola yang bentuk huruf Z lalu di akhiri dengan menghubungkan bentuk kotak melingkari angka. Namun tiba-tiba wajah Sukma berubah suram. Beberapa kali dia memasukkan pola tersebut, nyatanya gagal, dengan keterangan 'sandi tidak cocok'. "Lhoh! Kenapa nggak cocok? Aku ingat betul tadi pagi pola ini yang aku lihat saat Mas Rafly membuka kuncinya. Tapi kenapa sekarang nggak bisa? Apa iya sudah diganti polanya?" jutaan tanya bersarang di benak Sukma. "Apa Mas Rafly tahu kalau aku sedang mengincar ponselnya? Tapi rasanya tidak mungkin. Arrgghhhh!" Sukma terlihat begitu kesal. Ponsel yang sudah ada di tangan terpaksa ia masukkan kembali ke dalam tas. Sukma tidak mau mengambil resiko jika tiba-tiba Rafly keluar dari kamar mandi dan mendapatinya sedang memegangi ponselnya. *** "Sayang, aku berangkat ya!" pamit Rafly pada Sukma, sebelum ia memasuki mobilnya. Di dalam mobil sudah ada Pak Marno yang siap mengantarkannya menuju bandara. Sukma sekilas terdiam, menatap ke arah suaminya dengan sendu. Entah kenapa keberangkatan Rafly ke Malang kali ini membuatnya begiu berat untuk melepaskannya. "Kok cemberut gitu sih mukanya? Kenapa? Hemm?" tanya Rafly baik-baik. "Nggak tahu, Mas. Kali ini kok rasanya berat aja ngelepasin kamu keluar kota. Nggak biasanya juga kan kaya gini." terang Sukma. Degh! Rafly merasakan seperti ada tamparan keras yang mendarat ke pipinya. Sang istri merasakan firasat yang tidak biasanya. Mungkin inilah yang dinamakan hubungan ikatan batin antara suami dan istri. Ketika salah satu dari mereka melakukan hal-hal yang melenceng dari jalan lurus dalam sebuah ikatan pernikahan, firasat itu memang terasa. Rafly segera memutar otak, mencari cara untuk menenangkan Sukma. "Kenapa sih, sayang? Emmm, atau kamu pengen ikut? Ayo kalau mau. Aku bisa atur jadwal ulang untuk ikut penerbangan berikutnya. Yang penerbangan ini aku batalkan aja. Gimana?" tawar Rafly pada sang istri. Sontak pernyataan Rafly tersebut membuat hati Sukma bergemuruh. "Astaghfirullah! Di detik-detik terakhir keberangkatannya, Mas Rafly masih mau menawari aku untuk ikut bersamanya. Dan aku masih saja berprasangka buruk terhadap suamiku sendiri. Astaghfirullah, Ya Allah, ampuni aku." ucap Sukma dalam hati merutuki dirinya sendiri. Sukma tiba-tiba menghambur ke Rafly. Memeluknya sangat erat. "Hai, kenapa sayang?" "Nggak Mas. Aku di rumah aja. Aku cuma ngerasa kesepian aja, beberapa minggu ini selalu kamu tinggal ke luar kota. Aku merasa akhir-akhir ini kamu sangat sibuk." tutur Sukma setengah berbohong. "He he he. Kan sudah aku bilang, kalau mau ikut ayo!" "Nggak Mas. Nanti kalau aku ngekor, kamunya malah jadi nggak fokus sama urusan utama disana. Aku nunggu di rumah aja ya." Sukma melepaskan pelukannya, menatap suaminya dengan penuh cinta. "Ya sudah, kalau nggak mau jangan melow gini dong. Nanti aku berat ninggalin kamunya." ucap Rafly lalu menghapus air mata yang masih mengalir di pipi sang istri. "Udah, buruan berangkat. Nanti ketinggalan pesawatnya lho!" tutur Sukma. Rafly tersenyum, lalu mengecup kening sang istri dengan lembut. "Aku berangkat dulu ya, istriku tercinta. Doakan usaha suamimu ini berjalan dengan baik dan lancar." "Pasti, Mas." sahut Sukma. Rafly kemudian masuk ke dalam mobil, meninggalkan pelataran rumahnya. Sementara Sukma masih mematung melepas kepergian suaminya hingga mobil bagian belakang benar-benar sudah tidak terlihat lagi. "Sukma, maafkan aku. Aku masih harus terus membohongimu. Aku tahu, hati kecilmu pasti sedang merasakan sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja. Setelah urusan ini selesai, aku janji akan menceritakan hal yang sesungguhnya kepadamu." batin Rafly yang berkecamuk hebat. Rafly mengambil ponselnya yang tersimpan dalam saku celananya. Ia buka kunci sandi pola yang berbentuk huruf K. Tadi sore saat perjalanan pulang dari kantornya, dia memang sengaja menggantinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN