Tiga Tiga

1507 Kata
Selesai makan malam, Zaky mengantarkan Keinara terlebih dahulu, sementara Rafly dan Sukma memilih memesan taksi untuk kembali ke hotel. "Mama sama Papa beneran mau langsung ke hotel aja? Kan bisa bareng aku aja, Pa. Bangku di belakang masih muat kali buat dua orang mah!" ujar Zaky, memaksa sang Papa untuk tetap ikut dengan mobilnya. "Iya, Mas. Mending kita ikut aja mobilnya Zaky. Nanti nurunin Keinara dulu baru lanjut ke hotel." imbuh Sukma, sependapat dengan Zaky. "Aduh, gimana ya, Ky. Emmm, ini kan arah jalan rumahnya Keinara kan ke utara, sementara arah ke hotel kan ke selatan. Berbalik arah! Kelamaan lah. Ini badan Papa udah pegel-pegel banget pengen rebahan di kasur." elak Rafly. "Kalau mau antrin Papa sama Mama dulu juga kelamaan, kasihan Keinara nanti pulangnya jadi kemalaman. Udah mendingan sekarang kamu antar Keinara pulang. Papa sama Mama pesan taksi aja." ujarnya kukuh. "Hemm, ya udah deh, kalau Papa maunya gitu. Aku sama Kei, jalan ya, Ma, Pa!" Zaky mencium punggung tangan Rafly, kemudian bergantian ke Sukma. Keinarapun juga mengikuti apa yang dilakukan oleh Zaky. Ia cium punggung tangan orang tua Zaky tersebut. "Kei, pamit pulang dulu ya, Om, Tante. Makasih banyak untuk makan malamnya. Enak-enak semua, hehe." ujar Keinara polos. "Iya sayang, sama-sama. Tante juga terimakasih ya, kamu udah mau datang. Mudah-mudahan nanti kita bisa ketemu lagi, di lain waktu." sahut Sukma mengelus pundak Keinara. Sementara Rafly memilih diam, dengan menatap Keinara, dia tidak bisa berkata apa-apa. "Oh, iya, besok kalau pulang hati- hati ya Tante sama Om. Lancar perjalannya. Kayanya sih, Kei nggak bisa ikut antar soalnya ada acara keluarga juga di rumah saudara." terang Keinara. "Oh iya nggak apa-apa, Kei. Tante titip salam aja buat Bunda kamu ya! Semoga lekas pulih." Sukma terlihat mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Ini ada kenang-kenangan buat Bunda kamu. Bukan apa-apa sih, nak. Tapi mudah-mudahan aja Bunda kamu suka ya." Menyerahkan sebuah benda kotak kecil. "Wah, makasih banyak ya Tante. Bunda pasti suka." ujar Keinara dengan senyum yang mengenbang. Akhirnya Zaky dan Keinara meninggalkan restoran. Sementara Rafly dan Sukma memilih memesan taksi online untuk mengantarkannya ke hotel. Di tengah perjalanannya, Zaky dan Keinara terus saja mengembangkan senyum mereka. Akhirnya setelah berjuang sekian lama, tanpa di duga, kedua orang tua mereka ternyata mau memberikan restu untuk hubungan keduanya. "Ya ampun, beb. Aku nggak nyangka deh, akhirnya kita nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi pacarannya." ucap Keinara. "Iya beb. Satu doa kita ternyata dengan cepat dikabulkan sama Allah ya? Alhamdulillah." sahut Zaky. "Yang penting, kita bisa menjaga kepercayaan mereka. Dengan direstuinnya hubungan kita ini, bisa menjadikan kita jadi makin semangat lagi belajarnya, biar cepat lulus terus kerja, terus nikah deh kita, hehehe." ujar Keinara penuh semangat. "Aamiin!" ucap Zaky dengan keras. "Tapi, gimana sama anak-anak ya, beb? Kalau mereka tahu yang sebenarnya? Bakalan kaget nggak ya? Aku nggak bisa bayangin ekspresi mereka bakalan gimana, he he he." "Eh, benar juga ya. Mereka bakalan kaget nggak ya? Aduh, jadi nggak sabar pengen kasih tahu ke mereka yang sebenarnya, he he he." *** Di lain tempat Rafly dan Sukma sudah berada di dalam mobil menuju ke hotel. "Keinara cantik ya, Mas. Anaknya sopan, baik juga. Cocok sama Zaky." ujar Sukma. Sepertimya Sukma sudah begitu nyaman dengan keberadaan Keinara di sisi Zaky. "Hemmm, iya, sayang. Anaknya baik." jawab Rafly sekenanya. "Bundanya aku lihat juga cantik. Malah kalau dijejer sama Keinara masih kelihatan kaya kakak adik, iya nggak?" "Hahh? Masak sih? Tadi eemm, tadi aku eee, nggak sempat memperhatikan Bundanya lama-lama sih, jadi nggak paham banget wajahnya kaya apa, hehe." ujar Rafly berbohong. "Sayang ya, laki-laki sialan yang tidak bertanggung jawab itu harus ninggalin wanita dan anak yang nggak tahu apa-apa. Itu aku yakin banget, pasti Ayahnya si Keinara sekarang hidupnya nggak tenang. Dihantui rasa bersalah yabg nggak akan bisa ia tebus sampai kapanpun. Dia sekarang pasti menyesal kalau lihat anak yang dia terlantarkan sekarang sudah tumbuh menjadi anak yang sangat cantik seperti Keinara. Mudah-mudahan aja hidup sial seumur hidup!" sumpah serapah Sukma kemana-mana, sebagai rasa simpatinya terhadap nasib Keinara dan sang Bunda. "Kamu apa-apaan sih sayang. Nggak usah nyumpahin orang kaya gitu. Apalagi kamu nggak kenal, dan dia juga nggak pernah bikin salah sama kamu. Biar saja Tuhan yang membalas segala kesalahannya di masa lalu. Kita nggak usah ikut campur." tutur Rafly dengan ekspresi wajahnya yang sulit untuk digambarkan. "Ya aku kan sebagai sama-sama perempuan seperti Bundanya Keinara. Suka gedek aja kalau melihat orang sebaik mereka harus disakiti sama laki-laki yang nggak punya hati kaya gitu. Bayangin aja, orang pacarnya lagi hamil dan sangat butuh dia tapi malah ditinggal nggak ada kabar. Pantasnya disebut laki-laki apa coba kalau kaya gitu! Ikut emosi kan jadinya. Heuuhhh!" seru Sukma dengan mengeratkan giginya. Sukma benar-benar terbawa emosi. Kali ini Rafly memilih diam, ia tidak mau memancing Sukma untuk memberikan komentar yang lebih dari itu. "Andai kamu tahu, Ma, laki-laki yang nggak punya hati itu adalah aku. Laki-laki yang ada di sampingmu ini. Laki-laki yang selalu kamu banggakan, yang selalu tak punya cacat di matamu."  batin Rafly. *** Mobil perlahan berhenti di depan sebuah ruko milik Sita yang sudah tutup. "Makasih ya buat makan malamnya." ucap Keinara sebelum turun. "Sama-sama, beb. Semoga ini akan jadi awal yang baik buat kita ke depannya ya!" balasnya. "Aamiin." sahut Keinara lantang. Keinara membuka pintu dan turun dari mobil. Berjalan memasuki pintu hingga benar-benar tak terlihat lagi. Memastikan sang pujaan hati sudah aman, Zaky kemudian melanjutkan perjalanannya ke hotel dimana kedua orang tuanya menginap. Keinara menaiki tangga menuju ke kamarnya. Suasana rumah terlihat sudah sepi. Iapun memutuskan untuk berhenti di kamar sang Bunda. Tok tok tok. "Bun? Bunda udah tidur ya?" tanyanya di depan pintu. Beberapa detik Keinara menunggu, tidak ada jawaban yang ia dengar. "Bunda udah tidur ya? Tapi tumben jam segini udah tidur. Biasanya juga tidur jam sebelasan." ucap Keinara lirih. Keinara memilih diam sejenak, masih berdiri di depan pintu. "Oh iya, tadi kan Bunda bilang kalau pusing. Mungkin sampai rumah langsung minum obat terus tidur deh. Hemmm, ya ya ya!" ujarnya lagi. Keinara beranjak dari depan pintu, menuju ke kamarnya sendiri. Sementara Sita yang sebenarnya masih terjaga di dalam kamarnya, sengaja diam. Dia masih ingin menenangkan hatinya. Karena ia yakin, pasti Keinara akan bercerita mengenai makan malamnya yang sangat berkesan untuknya. Sita belum siap jika ia harus mendengar cerita bahagia dari putrinya itu. Sementara baginya, itu layaknya pil pahit yang terpaksa harus ia telan kembali. "Maafin Bunda, Kei. Bunda belum siap!" ujarnya dalam hati seraya berlinang air mata. "Bunda payah. Padahal aku pengen cerita banyak. Malah udah tidur." gerutunya seraya membuka pintu kamarnya. Ia bergegas mengganti pakaiannya, lalu menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka. *** Sementara di tempat lain, Yudha belum bisa memejamkan matanya karena terngiang oleh ucapan sang Ayah. Dia masih berada di teras tempat ia duduk sedari tadi. "Apa iya aku harus nurut apa yang diminta sama Bapak? Demi menunjukkan baktiku pada beliau." ujarnya lirih. Ada kegelisahan juga kebingungan menyelimuti pikirannya. Yudha mengusap wajahnya dengan pelan. Drrrttt. Ponsel yang ia simpan di atas lantai samping ia duduk, terdengar bergetar. Yudha menoleh sebentar, terlihat ada notifikasi pesan dari aplikasi hijaunya muncul. Yudha segera meraih ponselnya, hendak memeriksa, siapa yang malam-malam seperti ini mengirim pesan untuknya. [Mas Yudha, belum tidur?] Sebuah pesan singkat dari Vira yang membuat mata Yudha mendadak melebar. "Vira? Malam-malam ngechat?" lirihnya justru malah kebingungan. Sementara Vira yang ternyata masih terjaga karena malam ini ada piket di rumah sakit, justru malah terlihat kebingungan setelah mengirimkan pesan pada Yudha. "Aduh! Udah di baca lagi pesanku. Aduh! Salah nggak ya? Nanti kalau yang buka istrinya gimana? Aduh!" ujarnya panik. Awalnya Vira hanya iseng saja membuka kontak Yudha di menu chating WAnya. Kebetulan saat itu menunjukkan jika Yudha aktif beberapa menit yang lalu, tiba-tiba muncul niatan untuk mengirim pesan padanya. Ting [Lagi nggak bisa tidur. Kamu sendiri kenapa belum tidur?] "Di balas sama Mas Yudha!" seru Vira. "Aduh jawab apa lagi ya? Di balas nggak ya? Apa didiemin aja? Tapi udah terlanjur aku buka, pasti udah muncul centang biru juga disana. Aduh! Tapi mau di balas apa coba? Ih, lagian ngapain juga sih ya aku ngechat Mas Yudha duluan. Bodoh Vira!" ujarnya memaki dirinya sendiri. Vira terlihat makin panik. "Emmm, balas aja deh. Udah tanggu gini. Aku nanyain kondisi Bapaknya aja kali ya!" ucapnya setengah ragu. Vira kembali mengetik pesan balasannya untuk Yudha. Yudha terlihat begitu gugup. Ini adalah kali pertamanya Vira menghubunginya duluan. Drrttt Yudha segera membuka pesan balasan dari Vira. [Lagi jaga di RS, Mas. Emm, gimana kondisi Bapaknya? Sudah stabil kah?] "Hemmm, ternyata ngechat duluan cuma mau nanyain Bapak to. Kirain!" gerutunya setelah tahu isi pesan dari Vira. [Alhamdulillah, Bapak sehat. Sudah bisa beraktivitas seperti biasanya. Mudah-mudahan sehat seterusnya.] Yudha menekan tulisan kirim di ponselnya. Selang beberapa detik, balas Vira masuk. Drrrtttt [Alhamdulillah, Mas. Aku ikut senang mendengar perkembangan Bapak. Sehat-sehat selalu buat Bapaknya ya. Ya udah Mas aku lanjutin mau visit pasien dulu. Mas Yudha istirahat gih, nanti diomelin istrinya lho kalau tahu malam-malam chatingan sama perempuan lain. Hehehe. Met malam Mas.] Sontak mata Yudha kembali terbelalak. "Istri? Istri siapa? Jadi, Vira pikir aku ini udah punya istri?" lirih Yudha dengan raut wajah yang tak bisa digambarkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN