Sandiwara

1548 Kata
Sukma tiba-tiba membuka matanya, tenggorokan yang mengering karena haus membuatnya terpaksa harus bangun. Perlahan ia bangkit, menyandarkan kepalanya ke headboard (sandaran punggung atau kepala yang ada di ranjang). Kemudian ia arahkan netranya ke sisi kanannya. Sontak membuat netra yang masih sedikit lengket tiba-tiba melebar, sosok suaminya tidak terlihat ada disana. "Lhoh, Mas Rafly kemana?" tanyanya lirih. Sukma segera turun dari ranjang, memungut gaun malamnya yang berserakan di lantai. Ia kenakan dengan cepat lalu segera mencari keberadaan sang suami. "Mas, Mas! Mas Rafly!" panggilnya seraya berjalan ke arah kamar mandi. Ia buka pintu kamar mandi, ternyata kosong, tidak ada penghuninya. Sukma melanjutkan pencariannya keluar kamar. "Mas! Mas Rafly!" panggilnya makin keras, seraya menuruni anak tangga. Tidak ada tanda-tanda sahutan suara dari sang empunya nama. "Kemana sih ini orang? Malam-malam bikin orang panik aja!" gerutunya. Sukma akhirnya memutuskan untuk pergi ke dapur terlebih dahulu, melegakan tenggorokannya yang kering dan sudah tidak tertahan lagi. Glek glek glek. Sukma menegak satu gelas berukuran sedang yang berisi air putih dingin, habis seketika. Setelahnya, ia kembali bergerilya mencari keberadaan sang suami. Kali ini Sukma berjalan menuju ke arah kolam renang. Ia amati dari ujung barat hingga ujung timur dengan teliti, namun tidak ada tanda-tanda kehidupan juga disana. Sukma melanjutkan berjalan ke arah taman dimana ketika akhir pekan tiba, Rafly biasa menghabiskan waktunya di pagi hari di tempat itu dengan berolah raga. Dari kejauhan Sukma seperti sedang melihat seseorang sedang duduk termenung di atas bangku besi di sudut ruangan. Ia perhatikan lekat-lekat karena suasana taman sedikit gelap. Ia perhatikan lagi dengan teliti, dan memang sosok itu adalah Rafly. Dari penglihatannya sepertinya Rafly tengah fokus dengan ponsel di tangannya yang memancarkan sinar putih yang begitu kentara. "Mas Rafly ngapain malam-malam menyendiri disini? Mainan handphone pula! Nggak biasanya dia main handphone di tengah malam gini. Kalau nggak bisa tidur paling dia main PS atau nonton film di bawah." Sukma urung melanjutkan langkahnya. Dia masih penasaran, apa yang dilakukan oleh Rafly hingga selarut ini masih memainkan ponselnya. Ada pekerjaan yang mendesak kah? Batinnya menerka-nerka. Rafly terlihat mengusap pipinya, lalu bangkit dari bangku. Ia berjalan kembali menuju ke arah kamarnya. Sukma sengaja bersembunyi di balik bufet tinggi yang ada di dekat pintu masuk arah dari taman. Karena suasana gelap, berharap Rafly tidak menyadari adanya dia disana. Sesampainya di dalam kamar, Rafly baru menyadari, jika Sukma tidak ada di tempat tidurnya. "Lah, kemana Sukma?" lirihnya, kemudian menatap ke arah kamar mandi. "Pintu terbuka, itu artinya nggak ada orang di dalam sana." ujarnya lagi. "Kemana Sukma. Rafly membalikkan tubuhnya, bersamaan dengan itu Sukma masuk ke dalam kamar, seraya membawa sebuah gelas di tangannya. Ia tidak ingin Rafly curiga, sewaktu Rafly menaiki tangga tadi, ia bergegas menuju dapur untuk mengambil minum sebagai alibinya. "Astaga, sayang! Kamu dari mana? Aku nyariin kamu lho!" ucap Rafly yang lega, karena istrinya sudah kembali. "Hehe, maaf, Mas! Abis dari dapur! Nih!" timpal Sukma seraya menunjukkan gelas yang ia bawa. "Kirain hilang di culik sama alien! Udah panik ini aku! Huufff!" timpal Rafly. Rafly berjalan mendekati istrinya, memegang pipi Sukma dengan kedua tangannya. Memandangi lekat-lekat wajah wanita yang selama hampir dua puluh tahun ini berada disisinya. Menemaninya di kala suka maupun duka. "Sayang, maafin aku ya! Kalau selama ini aku belum bisa menjadi suami yang baik untuk kamu. Belum bisa jadi Papa yang baik untuk Zaky juga. Tapi aku janji, di setiap harinya, aku akan terus berusaha menjadi seseorang yang semakin baik lagi. Satu lagi, Apapun yang akan terjadi nanti, aku akan tetap selalu ada di sisi kamu." tutur Rafly dari hati. Terlihat dari tatapannya yang begitu dalam. Sukma mengerucutkan keningnya. Ia bahkan tidak percaya, suami yang selama ini dikenalnya, bisa berbicara dengan begitu bijaknya di hadapannya. Sukma menempelkan punggung tangannya ke kening Rafly. "Mas, kamu nggak lagi ngigau kan? Kok tiba-tiba bilang kaya gini sih? Ini aku malah jadi parno sendiri lho. Ada apa dengan suami aku?" ucap Sukma makin tak mengerti. Dari yang ia lihat suaminya murung menyendiri, berlinang air mata, hingga berujung dengan kata-kata bijaknya. "Aku dalam keadaan sadar, sayang! Aneh ya, tiba-tiba aku bilang kaya gini?" "Iya! Aneh banget!" sahut Sukma. Zaky melepaskan tangannya dari pipi sang istri, lalu mengambil gelas yang ada di tangannya. Ia letakkan di atas meja yang berada di samping pintu. Zaky menuntun istrinya berjalan menuju ke tempat tidur. Rafly mendudukkan Sukma dengan pelan. "Sayang, tahu nggak, tadi aku habis mimpi buruk. Terus aku menenangkan diri di taman, aku nangis, aku merasa mimpi itu kaya nyata banget. Aku takut." tutur Rafky seraya menggenggam erat kedua pasang jemari Sukma. "Mimpi buruk, Mas? Memangnya kamu mimpi apa sampai-sampai bikin kamu jadi ketakutan gini! Tangan kamu sampai dingin kaya gini?" timpal Sukma penuh tanya. Rafly mengatur nafasnya, ancang-ancang untuk memulai bercerita. "Jadi, aku mimpi, aku lagi di dalam mobil, lagi nyetir. Terus tiba-tiba ada mobil besar yang nabrak mobil aku dari belakang. Terus mobil aku mental, terguling, tapi saat itu aku masih hidup. Aku lihat ada api di luar mobil, tapi aku masih baik-baik aja dan nggak terluka sama sekali. Terus yang aku lihat ke depan, ada kamu sama Zaky terlihat di ujung jalan, menangis meraung sejadinya. Abis itu aku langsung bangun! Deg-degan, takut juga. Lalu aku turun ke bawah buat nenangin diri." tutur Rafly dengan gemetar. "Jadi Mas Rafly tadi di bawah karena lagi nenangin diri. Karena mimpi ini?" "Iya, sayang! Sumpah aku takut banget. Sampai sekarang aku masih ngerasa kalau itu kaya nyata banget." ucap Rafly meyakinkan Sukma. Sukma balas menggenggam jemari Rafly dengan erat pula. "Kamu tenang ya, Mas. Ini cuma mimpi, dan itu hanya bunga tidur aja. Mungkin Mas terlalu lelah, lagi banyak kerjaan yang dipikirin, jadi kebawa sampai mimpi. Sekarang, mending kita balik tidur aja ya! Masih jam segini, masih banyak waktu buat istirahat nenangin hati sama pikiran kamu, Mas! Ya?" bujuknya pada sang suami. Rafly mengangguk cepat. "Ya, sayang. Kita tidur yuk!" "Ya." Rafly dan Sukma kembali ke tempat tidur mereka. Sukma dengan penuh kelembutan, mengelus lengan Rafly hingga netranya terpejam. "Huuff, syukurlah! Aku pikir dia lagi ada masalah besar. Ternyata hanya soal mimpi." ucap Sukma dalam hati, iapun merasa lega. Ia tepis semua kecurigaan yang sempat muncul di kepalanya. Iapun akhirnya ikut terlelap di samping sang suami. "Maafkan aku, Sukma. Aku terpaksa membohongimu lagi. Aku tahu tadi kamu ke bawah dan melihatku sedang menangis saat di taman. Aku tidak ingin kamu semakin berfikir yang macam-macam. Sekali lagi, maafkan aku istriku." batin Rafly, yang ternyata dia hanya berpura-pura tertidur. *** Minggu, pagi hari Sinar mentari telah menampakkan cahayanya. Menembus tirai penutup jendela, yang menyelimuti kaca, masuk ke dalam ruangan tiga kali tiga meter yang di tempati Keinara dan sang Bunda untuk menikmati malam panjang mereka di rumah sang Kakek. Nyanyian burung-burung kecil, pun mulai terdengar nyaring. Menyerukan suaranya seolah memberikan tanda pada manusia, supaya segera terbangun karena matahari kian meninggi. Keinara terbangun, menatap sisinya yang sudah kosong Sang Bunda sudah bangun terlebih dahulu. Ia buka selimut yang masih menutupi tubuhnya, berjalan menuju jendela kamar. Ia buka tirai yang masih menutupi kaca, lalu membuka jendela untuk bisa menikmati udara segar pagi kota pinggiran. Walaupun di kota pinggiran, namun masih banyak pepohonan yang ditemukan. Suasana asri terasa sekali, berbeda sekali dengan pemandangan pagi di pusat kota. Begitu membuka mata, yang ada adalah pemandangan kendaraan yang sudah berjajar mengantri di jalanan. Keinara merasakan kekeringan dalam tenggorokannya, ia tengok gelas yang ada di atas meja ternyata kosong, terpaksa beranjak menuju ke dapur, bermaksud mengambil air putih hangat untuk menyegarkan organ-organ tubuhnya. Sesampainya di dapur, terlihat sang Bunda dan Nenek sedang sibuk bekerjasama membuat menu sarapan pagi ini. Anehnya, terlihat banyak sekali bahan makanan yang ada di atas meja. Dapur terlihat begitu sibuk pagi ini. "Bun, ini mau masak apa aja sih? Kok bahan-bahannya sampai sebanyak ini?" tanya Keinara untuk mengobati rasa penasarannya. "Eh, sudah bangun anak gadis Bunda." sahut Sita menyapa sang putri. "Ini buat menyambut tamunya Kakek sama Nenek. Katanya nanti ada temannya yang mau datang kesini. Jadi ya, masaknya sekalian banyak segini." terang Sita yang sedang sibuk mengupas bawang merah di dalam mangkok plastik di hadapannya. "Nanti ada teman dekat Kakek yang mau datang, Kei. Sudah lama nggak ketemu." timpal Mainah yang sedang mengulek bumbu dalam cobek batu berukuran besar. "Hoalah, mau menyambut tamu agung to!" timpal Keinara. Ia berlalu untuk mengambil segelas air putih hangat. Selesai meneguk segelas air, Keinara mendekati sang Bunda. "Bun, kira-kira, butuh bantuan apa dari Kei? Ya kali aja Kei bisa bantu-bantu dikit gitu. Hehe." tutur Keinara. Sita mendongakkan kepalanya. "Lanjutin kupas bawangnya aja ya, Kei. Bunda mau goreng ayamnya dulu. Biar cepat selesai dan cepat istirahat." ucap Sita, lalu bangkit. "Siap! Kupas bawang mah, enteng!" jawabnya. Keinara dengan senang hati melanjutkan mengupas bawang merah yang hanya masih terlihat banyak. Dengan penuh kesabaran, Keinara mengupas kulit bawang merah tersebut hingga matanya berair. "Bun, mata Kei perih nih. Aduhhh!" keluhnya, mengadu pada sang Bunda. Sita yang tengah berdiri di depan kompor hanya menanggapinya dengan senyuman. "Halah-halah, baru ngupas bawang segitu aja udah nangis, Kei! Kelihatan banget kalau di rumah nggak pernah bantuin Bundamu masak ya? Hayooo ngaku!" sahut Mainah. "Hehehe, ya bantuin lah, Nek. Tapi kan jarang. Orang Bunda aja juga jarang masak, seringnya kan beli." oceh Keinara membuka kedok sang Bunda. "Woalah, jadi Bundamu jarang masak to? Pantesan sampai sekarang rasa masakannya nggak pernah ada kemajuan. Ealah, Ta, Sita!" seloroh Mainah, membuat Sita dan Keinara tertawa kecil mendengar ocehan sang Nenek tua tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN