Perjalanan Nasib

2512 Kata
Ibu dan ayahnya segera masuk untuk menemui Karisma. Mereka sangat terkejut mendengar suara Karisma yang menahan tangisnya. Ibunya sebenarnya juga gak tahan melihat anak menantunya melintas dari hadapannya dengan wajah yang di kuasai amarah dan berbicara tidak sopan kepada orang tua. Sebenarnya ibunya Risma tidak ingin menjawab ucapan anak menantunya. Ibunya Risma berjalan dengan cepat menghampiri anak perempuan satu-satunya. Ibu itu menyentuh pundak anak perempuannya dengan lembut. Ada rasa takut yang terlihat dari mimik wajah yang juga menunjukkan arti khawatir. Ibu ini bisa melihat jika anak perempuannya juga menutupi kelemahan agar ibu dan ayah Risma mengira anaknya tetap memiliki ketegaran. "Bapak ambil napas panjang dan buang dengan pelan. Ibu juga melakukan hal ini, supaya kuat ketika bertemu dengan Risma," ucap sang ibu. "Iya Bu. Bapak juga tidak mau terlihat sedih di depan anak kita," sahut ayahnya Karisma. "Sebagai orang tua kita akan lebih baik jika bisa menunjukkan sikap yang tenang meskipun dilanda ketakutan," lanjut ibunya Risma. "Apalagi filling Bapak tidak baik atas diri Risma." "Ibu juga, Pak! Tapi Ibu doa yang terbaik supaya Risma tetap baik-baik saja." "Semoga anak kita tidak kenapa-kenapa," sambung sang ayah. "Lihat anak mu," ucap ibunya Risma dengan pelan. Sang ayah akan berusaha tenang melihat putrinya yang sedang tidak baik-baik saja. Ayah Risma memang orang yang sabar, lebih ingin memberikan penguatan. Mencotohkan yang baik agar putrinya bisa menirukan ketegaran, ketenangan dan keikhlasan serta lapang dahda. "Risma ...." "Iya Bu," sahut Risma. "Kamu ...." "Risma baik-baik saja," sahut Risma. "Tapi Nduk!" "Ayah jangan khawatir. Risma tidak apa-apa kok," lanjut Risma. "Kamu jangan bohong ...." "Bukan masalah bohong, Bu. Jika Risma merasa kuat dan berarti Risma merasa baik-baik saja. Bisa mengatasi ...." "Ibu sama Ayah khawatir," ucap ayahnya. "Ayah percaya pada Risma, jika Risma ini kuat." "Namanya orang tua pasti khawatir," lanjut ayahnya. Wajar jika orang tua pasti khawatir melihat anaknya dianiaya. Ada rasa tidak rela jika putri tercinta di buat suaminya celaka. Tapi orang tua Risma tahu jika watak dari menantunya itu keras, tempramental. Jika orang tua Karisma menasehati dengan cara keras ataupun halus, tetap sulit untuk di terima. Maka sari alasan itulah, mereka memilih untuk tidak ikut campur rumah tangga anaknya. "Risma mengerti Ayah!" "Jika kamu mengerti, Ayah minta kamu bisa jaga diri." "Kamu harus baik-baik," tambah ibunya. "Iya." "Kamu tahu, Ibu dan Ayah tidak bisa ikut campur lebih. Kamu sudah dewasa, sudah menikah dan kamu di bawah tanggung jawab suami mu," lanjut ayah Risma. "Iya, yah." Orang tua merasa jika Risma sudah dewasa tak seharusnya orang tua terlalu ikut campur dan mengurusi rumah tangga anaknya. Jika nasehat yang diberikan ayah dan ibunya Risma tidak di gubris, lalu buat apa memaksakan diri untuk menasehatinya lagi. Titik terakhir dari nasehat yang tidak di dengar adalah pasrahkan orang itu pada Tuhan. Biarkan Tuhan yang memberikan pelajaran sehingga orang tersebut bisa punya jera. "Ayo bangun, tidak baik berada di bawah situ. Hari sudah malam, tentu saja di situ dingin." Ibu Ningsih menyentuh dua bahu Risma. Membantu anaknya untuk berdiri. Hati seorang ibu akan hancur apabila melihat anak perempuannya menhalami penganiayaan suaminya.mTapi ibu Ningsih seolah tak bisa melakukan apapun untuk menghindarkan putrinya dari nasib seprti ini. "Karisma, sebenarnya tadi ada apa? Kenapa kamu di bawah situ," tanya ayahnya Karisma. Ayahnya mendekati Karisma, dengan pelan menarik tangan anak perempuannya dan memintanya untuk segera berdiri. "Kamu kalau memang lelah dan ingin menangis, Ibu tidak melarang." "Tapi, Bu ...." Mendengar ibunya berkata seperti itu, membuat anak perempuan jadi tidak bisa menahan kesedihannya. Risma telah gagal menutupi kesedihannya. Seketika bulir-bulir mata jatuh ke pipi. "Kamu nangis, apa kamu diapain lagi sama suami kamu?" "Ehh ...." Risma tertunduk untuk menyembunyikan raut wajahnya yang terlihat muram seperti mendung. "Jawab, kamu di apain?" Ayahnya menarik lengan anak perempuannya dengan pelan. Meminta agar mau mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. "Ayah, Risma lelah." Risma seperti biasa, menutupi apa yang sedang melanda dirinya. "Kamu di sakiti lagi?" "Ayah bicara apa, Risma tidak paham." "Tutupin terus! Ibu itu capek melihat seperti ini. Mau sampai kapa dia menyakiti kamu," sembur ibu nifas Ningsih. "Apa dia itu tidak takut kualat kalau menganiaya seorang perempuan," sambung sang ayah yang juga ikutan kesal. "Suami mu sepertinya lupa, kalau dia itu terlahir dari seorang perempuan! Ketika dia menganiaya istrinya, apa dia tidak berpikir, bagaimana jika ibu kandungnya mendapatkan siksa dari perbuatan anaknya," lontar bu Ningsih. "Sudah Ibu," ucap Karisma. "Ibu sebenarnya tidak terima tapi Ibu juga bingung mau bagaimana. Apa lagi ayah mu itu memilih diam, ketika sudah menasehati dan tidak di gubris. Justru semakin menasehatinya, maka kamu semakin di sakiti. Terpaksa ayahmu yang mengalah," ucap ibunya Karisma. Betapa sedihnya seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan anaknya. Ia tidak bisa jika terus menerus melihat Risma tersiksa. "Sudah, gak usah terlalu di pikir. Risma gak apa-apa." Risma masih berusia menunjukkan dirinya baik-baik saja. Ia tak mau melihat ayah dan ibunya banyak pikiran. Lagian ini bukan kali pertama ia mendapatkan perlakuan yang kejam, ia harus kuat. "Masih juga berani bilang tidak apa-apa," lanjut ibu Ningsih. "Nduk! Sebenarnya juga tidak tega tidak rela anak yang kami besarkan dengan cinta, luka sedikit saja kamu khawatir ...." "Ini ujian Risma, yah." "Sudah dewasa dinikahi kok, malah dianiaya, di sia-siakan. Kurang bersyukur suami kamu itu. Ibu lihat saja, dia tidak akan pernah menemukan perempuan seperti kamu di dunia ini," ucap bu Ningsih. "Ibu jangan bicara seperti itu," ucap Risma. "Ibu sudah diam lama Nduk. Mungkin suami mu itu, bisa mendapatkan yang kaya dan cantik tapi tidak akan bertahan lama," lanjut ibunya Risma. "Siapa tahu dia ketemu perempuan kaya yang mau memberikan apa saja untuk dia, beda sama Risma yang benar-benar patuh dan mencintai tanpa meminta ini dan itu tapi Risma yang memberikan dengan ikhlas apa yang Risma miliki." "Buta dia, tidak bisa melihat kamu ini wanita seperti apa," lanjut bu Ningsih. "Dia tidak buta dan dia bisa mendapatkan perempuan yang yang baik sempurna, yang bisa menentramkan pikiran dia, yang bisa mengerem ketika dia marah. Pokoknya yang segalanya baik dari Risma." "Ibu tidak percaya, kamu berkata seperti itu artinya dia akan dapat sebaliknya. Mungkin bagi dia perempuan itu baik bisa menetralkan emosinya. Bisa ngalah, bisa berkata baik tapi dia Ibu tidak percaya jika dia bisa konsisten seperti jika jadi sudah menikah dengan suami mu." "Ibu berkata seperti itu?" "Iya, filling Ibu kuat. Ibu yang melahirkan mu. Ibu tahu kamu anak yang baik tapi sayang suami mu belum bisa didik kamu dengan baik. Kasar! Jika saja dia menikah sama selain kamu, itu sudah bikin Ibu tidak terima. Ibu yakin rumah tangganya tidak bakan sempurna." "Ibu boleh kecewa tapi ini nasib Risma seperti ini ...." "Ibu sebenarnya tidak terima jika dia kasar, menganiaya mu. Lantas kalau dia punya istri baru tidak bakal kasar, gak bakal bentak. Tidak mungkin! Belum tahu bagaimana beratnya menjalani ujian rumah tangga. Ujian ekonomi itu berat, apa lagi ujian tidak bisa punya anak! Ini malah berat lagi," lanjut ibu Ningsih. "Bisa saja dia pun yang anak Bu." "Filling Ibu tidak! Perempuan yang menyakiti mu akan tahu rasanya balasan dari Tuhan. Bagaimana sakitnya nanti jika dia tidak punya anak, bagaimana sakitnya jika suaminya selingkuh. Pasti Tuhan adil akan memberikan pelajaran kepada dia yang menyakiti mu, merusak rumah tangga mu." "Semoga dia dapat wanita yang baik. Aku juga kasihan kalau dia dapat istri yang kasar dan cerewet. Aku juga kasihan kalau dia dapat wanita yang tidak bisa memberikan dia anak. Aku tahu dia sangat sayang anak dan menginginkan putra," ucap Risma. "Cukup! Kalian tidak usah berkata seperti itu. Ayah tahu, Ibu ngendem. Jadi beginilah jika sudah tidak bisa menahan. Tapi sabar ... sabar," kata ayahnya Karisma. "Ibu pingin keluarkan uneg-uneg yang ibu tahan bertahun-tahun. Jika sampai suami mu menginginkan anak, maka baiklah kepada seorang istri. Jika dia durhaka sama istri atau orang tuanya, maka juga sulit punya keturunan. Jika wanita susah memiliki keturunan, maka perlu dipertanyakan bagaimana hubungan dia dengan ayahnya. Jika laki-laki yang susah punya keturunan, tanyakan bagaimana hubungan dia sama ibunya. Apalagi suami mu yang sudah menyia-nyiakan ketulusan mu, kok mau dapat anak baik dari istri baru, dari istri yang merebut suami orang, Ibu rasa ini keinginan yang berat. Setidaknya minta maaf sudah menyakiti istrinya. Setidaknya minta maaf sudah merebut suami orang ...." "Sudah Bu! Karisma tahu Ibu kecewa tapi kita belajar menerima kenyataan ini. Terserah dia mau mencari wanita seperti apa, terserah mau punya anak atau tidak. Karisma tidak ingin ikut campur." "Jika suami tidak bertanggung jawab terhadap keluarganya, mana mungkin dia hidup tenang bersama orang baru. Paling juga kebahagiaan palsu, manis sesaat," gerutu ibu Ningsih. Ibunya juga mendekati anak perempuannya itu. Sang ibu sedih memperhatikan Karisma yang sedikit menunduk dan menutupi jika dirinya habis dianiaya suaminya. Risma tidak pernah mau mengatakan jika dirinya suka di pukul sama suaminya. Paling Risma hanya menangis dan mengatakan kesakitan yang ia alami di atas sajadahnya, di sepertiga malam terakhir. "Sudah Bu!" Risma menangis melihat ibunya juga menangis sambil meluapkan ganjalan di hati. "Ayah juga khawatir makanya datang kesini lagi sama ibumu. Kamu diapain sama suami kamu? coba ceritakan ke Ayah dan Ibumu," pinta ayahnya Karisma. Ayah dan ibunya Karisma menghampiri anaknya yang menangis. Mereka berdua berdiri di hadapan Karisma. Mengamati anak perempuannya yang masih tetap menunduk dan tidak ingin memperlihatkan wajahnya yang terhantam dan ada luka di bibirnya. Karisma sedikit mundur dari hadapan ibu dan ayahnya. Ini sebenarnya hanyalah alasan agar orang tuanya tidak bisa menatap dengan jelas dan melihat kondisi wajahnya. “Ibu … salahku apa? Aku sudah berusaha mengabdi kepadanya. Aku hanya seorang perempuan yang tidak ingin menuntut atau memberatkan dirinya. Kenapa aku diperlakukan seperti ini, di sia-siakan orang yang sangat aku cintai. Diperlakukan semena-mena, dipukul, dimaki-maki dengan bahasa isi kebun binatang. Kenapa aku harus menerima banyak kesakitan di dalam hidupku. Sebenarnya aku menerima karma buruk hasil dari perbuatannya siapa di masa lalu?” tanya Karisma. Karisma mundur dan menyibukkan diri sambil memegangi perabotan dan kembali menatanya di meja. Akhirnya ia tidak sanggup lagi menyembunyikan deritanya. "Hustttt ... ngmongin apa to Nduk! Wes malam ini, jangan bicara seperti itu sama Ibumu. Jangan mudah di kuasai emosi. Dinginkan dulu kepalamu. Sebaiknya kamu istirahat, ayo kita pulang," ujar ayahnya Karisma. Ibunya tak mampu berucap sepatah kata, dia diam membisu dipenuhi perasaan perih menyaksikan kejadian yang menimpa putri kesayangannya. "Ayah ... apa salahku, aku selalu mendapatkan perlakuan yang seperti ini. Aku berulang kali mengalami ini tapi aku masih berusaha untuk menutupi di depan Ayah dan Ibu. Tapi inilah kenyataan yang Anakmu rasakan," ucap Karisma sembari menangis. Ayahnya yang sabar tiba-tiba jadi terdiam dan tidak bisa lagi berkata sepatah katapun. Kedua orangtuanya duduk dogloh (lemas) kaget melihat anaknya seperti itu. Ayah dan ibunya tahu bahwa cobaan yang menimpa anaknya adalah sebagai proses pembelajaran pendewasaan diri. Karisma menerima cobaan agar bisa menjadi orang yang kuat, lapang hatinya, bertanggung jawab, bijaksana, sabar, ikhlas dan berserah, penuh kepasrahan kepada Tuhan dalam menjalani kehidupan. "Maafkan anakmu ini. Sekarang tenanglah Ayah sama Ibu, jangan terlalu memikirkan Karisma. Aku baik-baik saja. Sekarang Ayah dan Ibu pulang dan beristirahat di rumah. Aku akan tidur di kedai. Ayah sama Ibu tidak usah banyak pikiran. Karisma Pramudita baik-baik saja, aku kuat kok. Sebaiknya kalian segera pulang," ucap Karisma. Karisma segera mendekati orang tuanya untuk meminta maaf. Karisma Pramudita duduk di kursi dekat orang tuanya yang juga duduk. Untung saja di kedai itu tidak menyalakan lampu utama, hanya ada lampu kecil untuk panjeran (dinyalakan terus menerus) untuk memberikan penerangan yang redup-redup. Dia meminta kepada orang tuanya untuk segera pulang, agar dirinya bisa juga beristirahat dan menenangkan diri. "Benar kamu tidak mau ikut pulang ke rumah! Ya sudah jika kamu ingin tetap di sini. Tapi jaga pikiranmu agar tetap tenang, legowo, lilo dan jembar pangapuro mu (berjiwa pemaaf) sekarang Ibumu biar Ayah ajak pulang dan istirahat. Ayo kita pulang Bu, tidur di rumah," ajak Ayah Karisma. Wajah yang sabar menghiasi raut tuanya yang mulai banyak keriput. Dengan sabar menasehati Karisma. Ayahnya begitu tegar dan sama sekali tidak takut atas ucapan yang di lontarkan suaminya Karisma. Orang tuanya sengaja tidak ingin membahas percakapannya dengan menantunya di depan kedai tadi. Akan lebih baik jika tidak menambah beban pikiran Karisma. Ayah dan ibunya siap menghadapi cobaan apapun yang menimpa anak perempuannya itu. "Tidak Bu biar Karisma di sini dulu. Karisma ingin hening di sini saja. Kalian pulang saja dan percaya saja anakmu bisa mengatasi ini," ucap Karisma. Lagi-lagi berusaha menunduk dan tidak berani menunjukkan wajahnya degan tegap. "Ya udah jika itu yang kamu inginkan. Ayah hanya ingin berpesan jaga diri mu baik-baik. Jangan mempermalukan keluarga kamu dengan bertindak nekat dan bodoh. Kuatlah, sabarlah, belajar ikhlas dan tawakal. Ibu sama Ayah pulang dulu, hati-hati dan tenangkan diri kamu," ucap ayah Karisma. Dia beranjak dari tempat duduknya lalu menuju pintu keluar. Baru beberapa langkah, ayahnya berhenti. Ayahnya menengok ke belakang melihat ke arah istrinya yang masih duduk terbengong. "Buk ayo!" seruan ayahnya memanggil ibunya Karisma yang masih duduk terbengong. Ayahnya kembali memanggil ibunya Karisma dengan maksud ingin mengajaknya untuk pulang ke rumah. "Buk, di panggil Ayah, sudah sana Ibu istirahat," ucap Karisma. Karisma menepuk pelan bahu ibunya. "Iya ...." Sedikit terkaget mendengar seruan dari suami dan anak perempuannya. "Buk ayo to," panggilnya lagi. Sedikit mengencangkan suaranya. "Iya-iya! Sabar ... ini kan masih jalan," jawab ibunya Karisma. Ibunya berjalan mengikuti ayah Karisma. "Karisma ... jangan sampai lupa untuk mengunci pintunya," kata ayah Karisma. ''Iya Ayah ...." Kini keduanya telah pergi dari hadapan Karisma. Orang tua Karisma berusaha untuk terlihat tenang du hadapan anaknya. Kejadian seperti ini tidak hanya sekali terjadi tapi berkali-kali. Jika orang tuanya menasehati itupun juga percuma karena tidak juga merubah perilaku dari suami Karisma. Karisma berjalan ke arah pintu dan menguncinya, lalu dia menuju kamar di kedai itu untuk beristirahat. Barang kali dengan memejamkan matanya bisa mengatasi penat serta kegelisahan yang mengguncang jiwa raganya. Malam ini menjadi malam yang menyesakkan untuk Karisma. Ia harus menjalani kehidupan tanpa adanya sosok suami yang menemaninya. Malam ini Karisma memilih untuk tetap tinggal di kedai dan bermalam di sana. Waktu menunjukkan nyaris pagi, membuat Karisma enggan untuk pulang ke tempat tinggalnya. Raganya yang mulus harus menjadi lebam karena pukulan yang diberikan suaminya itu. Suaminya ketika marah memang sangat kejam. Sebenarnya laki-laki seperti itu tidak pantas mendapatkan wanita cantik dan tulus seperti Karisma. Ia lebih pantas bersanding dengan perempuan yang sama kerasnya, yang sama-sama gila dunia, yang sama-sama sombongnya. Biarlah Tuhan yang menghukumnya atas apa saja yang sudah ia lakukan kepada Karisma. Tidak mungkin seorang perempuan pulang larut malam seorang diri, walaupun sebenarnya orang tuanya juga datang dan bisa saja Karisma Pramudita ikut pulang bersama mereka, namun dia enggan melakukannya, karena tidak ingin menambah kekhawatiran ayah ibunya. Lagian dia tidak ingin orang tuanya melihat secara detail ada bekas luka dari pukulan yang di berikan suaminya. Pulang dalam keadaan mata sembab dan tubuh lebam akan membuat ibunya bersedih. Untung saja tadi ibu dan ayah Karisma Pramudita tidak begitu memperhatikan lebih fisik dari Karisma. Jadi biarlah dirinya menutupi segala luka di depan orang tuanya demi menjaga agar orang tuanya tidak khawatir dan banyak pikiran. Karisma sebenarnya tidak ingin mengeluh, dia selalu berusaha untuk tabah. Dia ingin menunjukkan kepada keluarganya bahwasannya dia bisa melewati segala ujian-ujian hidupnya. Karisma memang wanita kuat yang tidak akan gampang di patahkan keadaan yang sulit dan berat. Dia tidak akan mudah tunduk pada keadaan pahitnya. Semua mampu atau tidak akan tetap dilaluinya dengan tabah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN