Kidungku

2403 Kata
Risma telah merasakan siksa yang menghujam jiwa raganya. Ia berusaha tetap tabah menghadapi ujian-ujiannya. Ia pernah menyerah dan itu bukan hal yang bisa menjadikan hidupnya lebih baik. Mengetahui yang terjadi seperti ini menjadikan dirinya mau bangkit meskipun harus penuh luka dan belajar berjalan lagi. Ia yakin tanpa memelihara dendam bisa mengantarkan orang yang menyakitinya mendapatkan buah karmanya. "Kidung ku… Naliko nyuwung ing tengah wengi seng sepi. Nyedak marang Gusti Allah pangeran ku. Nyuwun ke pangapuro dateng Gusti Allah. Kanggo menungso seng wes ngetokne suoro seng berangasan, kebacut banter neng wong koyo ngene. Eleng… Awak e dewe podo-podo menungso ne. Kabeh menungso kui ciptaane Gusti Allah. Ojo kebacut ngenyek lan nyepelekne. Salahe liyan digolek i, bener e dewe di sunggi. Rungokno… Sejatine aku ora sulapen gemebyare donyomu! Aku wes sadar sejatine aku iki sopo. Kowe ora usah khawatir, ora usah keweden. Aku ora geragas. Aku yo ora pengen ngoyok opo seng muk daku-daku wek mu. Aku ora pengen milek opo seng muk kekehi wek mu, seng muk pamer-pamerne, seng muk banggakno lan unggul-unggul ke neng jero donyomu saiki. Sakmergo aku dewe wes ora ndaku awak ku dudu wek ku. Sejatine kabeh iki wek e Gusti Allah. Kowe menungso sombong mu sundul Langit. Trimo seng muk dudohne neng jobo ora cocok kahanan asline. Nduwe kuoso opo? Nek iso mu obah wae sakmergo Gusti Allah seng ngobahne! Nek Gusti Allah wes ora ngobahne, kowe iso opo? Hiasan neng ndunyo amung sampiran seng bakale siji-siji sirno. Kui wes mesti, ora bakal ora. Karek nunggu wektune wae. Urip neng dunyo mung mampir ngombe, sepiro suwene umur e menungso? Opo seng perlu dibanggakne neng dunyo apus-apus iki? Ora bakal keno muk gowo bali selawase. Dunyo ora bakal iso muk genggem teros. Bakale seng muk genggem neng tangan kui udar! Naliko nyowo pecat Pati soko rogo. Rogo mung iso urip neng ndunyo mergo di isi sukmo. Banjur urip kang sejati iku sak bar e rogo mati. Urip kang Sampoerno kui roh kang iso bali muleh neng asale, nyatu karo Gusti Allah. Lahir cenger tanpo sandangan tanpo nopo-nopo! Semono ugo bali yo ora gowo opo-opo, kejobo mori sak suwek! Karo amalan kesaean seng murni tulus sak jeroning ati sanubari. Seng ati-ati lan waspodo, pangucape lan tumindake. Ajineng diri ono eng lathi. Ajineng rogo ono ing busono." Kidung itu adalah kidung sakral yang di ucapkan Karisma. Ia yang pernah berada dalam kesakitan akhirnya sampai pada tahap keheningan. Mendekap mendekat erat Gusti-Nya melalui ritual doa-doanya. Kidung itu sebagai pengingat diri akan asal muasalnya manusia. Sebagai pengingat siapa sebenarnya manusia itu, dari mana asalnya, terlahir untuk misi apa dan akan kembali ke siapa. Jika seseorang mengerti apa maksud dari kidung itu, maka jiwanya akan bergetar. Segala kesombongan akan terhempas dari pikirannya. Tak punya apa-apa. Tak bisa bergerak dan melakukan apapun. Kecil dan tak berdaya tanpa adanya Sang Maha Kuasa. Sang pelantun kidung Sakral adalah seorang anak manusia yang berusaha untuk mencari siapa sebenarnya yang dia sembah, seseorang yang mencari tahu di mana sang Maha Tunggal itu berada. Seorang anak manusia yang mencari di mana batasnya katulistiwa itu. Mencari di mana ujungnya samudera. Mencari di mana susuh angin. Mencari apa isi dari galih kangkung. Mencari apa yang menjadi atap atau penyangga langit. Masih banyak kiasan yang ia pertanyakan. Hingga ia harus masuk ke alam keheningan untuk menemukan jawaban. Kosong! Menikmati kebersamaan bersama sang Gusti Nya. Itu kidung seorang insan yang pernah mengalami luka batin yang sangat dalam. Hinaan dari seseorang yang tidak tahu sejatinya siapa yang di hina ini. Hinaan yang akhirnya menjadi jembatan mencapai kekosongan. Karisma telah mencapai puncak dan tahu bagaimana rasanya. Kini dirinya turun dan membumi dengan rendah hati. Menutupi siapa dirinya demi menjauhkan segala perdebtan dari orang-orang yang merasa paling pintar, paling benar dan siap menampar dengan kata-kata kasar. "Yo kuwi, meneng sejatine langgeng. Langgeng sejatine Alloh. Kita mnyatu ke Alloh. Manunggal kempal dados setunggal. Sudah tidak ada apa-apa. Kosong." Ucap Karisma dengan mata terpejam. Malam tak membuat suaminya menghentikan amarahnya. Suaminya terus saja berjalan meninggalkan Karisma di dalam kedainya. Lagaknya yang cuek dan songong tanpa ingin mempedulikan atau tak sudi lagi untuk menghiraukan tangisan Karisma Pramudita. Ia seperti seorang jantan yang sangat berkuasa dan bisa menindas, meneror dan membinasakan seorang Karisma. Ego yang setinggi langit, telah mengantarkan ia kepada kesengsaraan di masa depan. Seorang Karisma memilih untuk mengalah bukan karena takut, hanya ia sudah lelah hidup dalam teror dan dan penganiayaan. Risma mengalah karena ia kasihan dengan balasan Tuhan yang akan tiba diwaktu yang tepat. Risma memilih untuk menghentikan perjuangannya, ketika seseorang tidak lagi ingin diperjuangkan. Risma menghentikan rasa peduli ketika ia tak dihargai. Risma memilih diam ketika ia bicara justru mendatangkan adu argumentasi. Karisma memilih membiarkannya berkelana dan melakukan apa saja hingga pada akhirnya ia menyerah dan ampuh pada Tuhannya. Dengan gagah perkasa, terlihat langkahnya menuju halaman. Laki-laki itu tiba-tiba berhenti, memandang wajah-wajah tua yang baru saja datang. Laki-laki itu memandang tajam ke arah orang tua Karisma. Dengan terpaksa berbicara ketika melihat mertuanya di halaman kedai. Matanya memerah, menatap sinis kepada orang tua Karisma. Tidak ada lagi rasa sungkan untuk berkata-kata. Tanpa ada rasa hormat kepada yang lebih tua. Laki-laki itu seperti sudah di kuasai gunung egonya. Laki-laki itu sudah di injak-injak emosionalnya. Tak bisa menahan diri untuk berkata kasar. "Woiiii ... didik anak perempuan kalian, agar bisa menyenangkan suaminya." "Astagfirullah," ucap ayahnya Karisma. Ayahnya terkaget mendengar menantunya berkata lantang kepadanya. "Aku sudah muak punya istri seperti dia, baiknya aku mencari yang lebih muda, lebih hot, energik dan tentunya juga lebih kaya." "Kecilkan suaramu! Tidak pantas seorang suami berkata seperti itu dihadapan mertuanya," lanjut ibunya Karisma. Dengan perlahan mendekati laki-laki itu, berusaha untuk menenangkan. Ia menyentuh bahu laki-laki itu, namun ditangkis begitu saja. "Minggir! Jangan larang aku untuk berbicara! Aku sudah sangat lelah. Rasanya aku itu sudah sangat mual jika setiap hari harus melihat dia ngurus dapur, masak dan masak. Aku malu punya istri seperti dia. "Ada apa? Coba bicara pelan-pelan. Ceritakan sama kami, jangan berteriak-teriak di pinggir jalan. Malu! Sebaliknya kita bicara di dalam saja." Wanita setengah tua kembali bersuara dengan lembut. Ia membujuk suami Risma untuk berbicara baik-baik. Bermusyawarah di dalam rumah saja. "Aku tidak sudi bicara baik-baik. Aku sudah bosan dengan anakmu. Aku dari dulu, kurang terima jika hidup ku harus ku habiskan dengan perempuan seperti dia. Orang tuaku menginginkan aku mendapatkan istri yang bisa menikahi mertuanya juga. Menantu yang bisa nurut dan patuh terhadap mertuanya. Menantu yang bisa tinggal di sana melakukan pekerjaan rumah dan membantu mertuanya. Pokoknya patuh!" Laki-laki itu semakin menjadi. Ia seolah me dapat tekanan dari ibunya. Ia seolah terpaksa berkata seperti itu untuk mengeluarkan uneg-uneg yang ia tahan di dalam dadanya. Ia dengan terpaksa memilih ibunya dan menjelekkan istrinya. "Jangan bicara kasar!" lanjut ayahnya Karisma. "Itu belum selesai. Masih banyak protes yang aku ingin katakan. Ibuku memang tidak menyukai Karisma! Sedari awal menikah, memang ia terpaksa memberikan restu. Kalian tahu ibuku menginginkan aku menikahi wanita kaya. Sedangkan Risma wanita yang tidak terlalu kaya. Ibuku selalu mengukur segala sesuatunya dengan uang dan uang, meskipun anaknya ini seorang pengangguran tetap saja seorang ibu menginginkan putranya ini dapat wanita kaya raya," lontar suami Karisma. "Kamu tahu, kami juga terpaksa memberikan restu. Kamu ingat ketika saya menjadi wali pernikahan putri yang aku jaga, yang aku lindungi tak pernah aku sentak, ibaratnya luka sedikit saja bisa buat ayahnya khawatir. Bagaimana seorang ayah tidak syok dan bahkan pingsan di hari ijab kabul putrinya! Kamu ingat itu, tidak hanya ibumu yang tidak setuju, kami dari awal juga tidak setuju. Kami tahu kualitas anak kami, setidaknya dia punya harga diri. Saya sebagai ayahnya juga berusaha memberikan yang terbaik. Apa kami tega melepaskan anak kami pada laki-laki yang tidak jelas masa depannya? Jadi kamu jangan merasa egois dan merasa jantan, bisa memperoleh wanita yang kamu inginkan. Saya tahu kamu tampan tapi apakah cukup modal tampang jika ingin memperoleh wanita kaya raya? Iya kamu bisa, tapi saya yakin tidak ada wanita yang mau hidup bertahan lama dengan kamu, kecuali anak saya." "Oh jadi seperti itu, akhirnya kalian mengakui jika kalian juga terpaksa memberikan restu. " "Awalnya memang seperti itu tapi setelah itu kami sadar jika nasib Risma harus seperti ini, bersuamikan laki-laki seperti kamu," jawab ibunya Risma. "Kurang sabar dan diam apa? Sebagai mertua yang mungkin tidak kamu hormati. Kamu boleh komplain tentang kekurangan Karisma. Lihatlah anakku sebelum nikah ia sudah punya pekerjaan! Ia memilih resign hanya demi fokus kepada keluarganya. Bahkan ia selalu bekerja dengan bisnis kuliner yang ia tekuni. Saya tahu kualitas otak anak saya. Saya tahu ia wanita mandiri. Coba kamu renungkan, apa selama menikah dengan mu, ia pernah bertikai masalah keuangan? Apakah ia pernah meminta uang sama kamu? Pikir! Istrimu itu wanita langka yang tak pernah lagi bisa kamu jumpai pada wanita lain. Aku mendidiknya dengan luar biasa, aku tidak ingin anak ku kamu hinakan. Jika ibu mu merasa tidak cukup dan terlalu banyak kekurangan Risma, kami tidak bisa lagi berkata panjang lebar. Cukup!" Ayahnya Risma meneteskan air matanya, ia menyesal tidak bisa melindungi putrinya dari suami kejam dan bengis. Risma harus menderita, kurang cinta dan kasih sayang dari suaminya. Risma harus terus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena sang suami langka memberikan nafkah. Sang suami masih labil dan belum sadar akan tanggung jawabnya untuk memberikan nafkah. Walaupun seperti itu, Risma tetap diam dan tidak pernah bertikai masalah uang. Ia sangat mencintai suaminya dan memperlakukan suaminya dengan baik, meski diberikan uang atau tidak. "Kalian apa tidak tahu, jika banyak wanita yang mengejar ku. Mereka sangat kaya dan memberikan apa yang ibuku mau. Uang, pakaian dan juga siap memodali usaha untuk ku. Aku tidak perlu susah-susah bekerja jualan seperti ini. Aku malu! Aku gengsi. Aku tidak bisa lagi bertahan dengan wanita yang usahanya hanya kuliner," cercaan yang tidak ada habisnya, terlontar dari mulut suaminya Risma. "Sabar." Sang ibu menenangkan anak menantunya. "Sabar ku sudah habis, aku mau mencari seseorang yang lebih baik dari Risma. Seseorang yang memiliki gaji puluhan juta setiap bulannya. Itu akan membuat ibuku lega. Untuk Restoran yang di depan jalan raya, mulai sekarang aku yang handel. Jadi tak akan aku biarkan Karisma jadi Chef di sana lagi. Aku akan mencari juru masak yang lebih sexi dan bisa menarik pembeli. Terserahlah nanti Karisma mau cari makan di mana, toh dia juga sudah punya kedai ini kan. Jadi makan dari hasil sini saja dan mengusikku lagi," ucap suami Karisma kepada ayah dan ibu mertuanya. "Kamu di kuasai emosi. Mungkin kamu dapat tekanan dari seseorang sehingga memikirkan uang dan uang dari wanita yang lebih kaya. Ingat, le! Kekayaan itu bisa jadi bumerang buat mu!" lontar ibunya Karisma. "Iya, pada suatu saat nanti kamu akan menyesal telah menyia-nyiakan istrimu demi wanita lain yang menjadi pilihan ibu mu. Harusnya seorang ibu tidak mengajari anaknya seperti itu. Harusnya kamu bisa menjadi dirimu sendiri. Jangan biarkan kapal mu karam, karena memiliki nahkoda dua." Laki-laki itu berdiri sambil menghisap rokok dan sesekali membenarkan resleting celananya yang belum tertutup sempurna. Sopan santun sungguh tidak ada dari sikapnya yang di tunjukkan di depan orang yang lebih tua. Sombongnya itu sudah sangat melampaui batasan. "Kamu ini kok ngmonya seperti itu, mbokyao biarkan kami duduk dan kita bisa bicara baik-baik di dalam rumah. Kalau di tempat seperti ini mana pantas! Tolonglah pakai kesabarannya dan jangan keburu emosi, tenangkan diri dulu, jangan sampai menyesal dengan keputusan yang kamu ambil disaat amarahmu menguasai," kata ayahnya Karisma. Ayah Karisma coba mendekat dan membujuk laki-laki yang berada di depannya itu. "Gak! Aku gak sudi berada di dalam rumah kalian. Ini untuk terakhir kalinya aku menginjakkan kaki di tanah ini. Jadi mulai sekarang aku balikin anak perempuan mu. Aku juga gak akan menyesal, mau ambil keputusan sekarang atau nanti, dalam keadaan tenang ataupun emosi, tetap saja yang keputusanku sama. Ingatlah aku tidak akan merubah apa yang sudah aku putuskan. Ini serius!" lanjutnya lagi. Laki-laki itu menampik tangan ayahnya Karisma. Dirinya segera berlalu dari hadapan ayah dan ibunya Karisma Pramudita. Dia terus berjalan dan menuju kendaraan roda dua yang terparkir di depan yang berada agak sedikit di pinggir jalan dekat masuk ke halaman kedainya. "Tunggu ... jangan seperti itu, kamu pasti gak serius dengan ucapan itu kan. Di pikir panjang ya," pinta ayahnya Karisma. Ayah Karisma mengejar anak menantunya sembari menarik tangannya. Namun alhasil percuma. Justru laki-laki itu tidak ingin menghiraukannya. "Lepaskan aku, sudah aku bilang jika anak mu aku kembalikan, berarti dia sudah bukan istriku lagi. Jangan memegang ku seperti ini. Aku mau pergi dari sini, lepaskan tanganmu, nanti aku nyalakan mesin motor dan aku gas pol, kamu bisa jatuh dan aku yang disalahin ... makanya minggir!" ucapnya sembari mengibaskan tangannya yang di pegang oleh ayahnya Karisma Pramudita. Laki-laki itu segera menyalakan mesin motornya dan tancap gas. "Ini ada sebenarnya, kenapa kamu tega sekali sama anakku. Seenaknya saja mengambil dan mengembalikan, Karisma itu bukan barang!" teriak ibu Karisma. Menatap melas dan sedih ke suaminya Karisma. "Terserahlah, kamu kan emaknya! Sebaiknya ajari anakmu agar bisa fokus ke suaminya. Jangan kerja mulu, masak mulu tapi gak ngurus badan ...." Jawabnya suami Karisma dari kejauhan. Motornya melaju dan berlalu meninggalkan orang tua Karisma yang masih tetap berdiri dan terbengong melihat ulah menantunya itu. "Bu sudahlah! Biarkan saja kalau dia sudah tidak menginginkan Karisma lagi. Laki-laki itu bikin sengsara anak kita saja! Biarkan saja jika dia tidak bisa lagi di nasehati. Kata-kata dan sikapnya sudah sangat kelewatan. Kasar dan mulutnya seperti orang tidak berpendidikan. Kalaupun jadi suami toh gak bisa menghormati kita sebagai mertua, itu sudah kelewatan. Biarlah dia memilih wanita lain yang di pikir lebih baik dari pada anak kita. Laki-laki gak tahu di untung, gak bersyukur punya istri yang cantik dan mandiri. Aku sebagai ayah dari anak perempuan ku akan terima nasib yang seperti ini." ucap ayahnya Karisma. Emosi ayahnya Karisma naik dan terlihat kecewa dengan menantunya. "Hualah ... Karisma ... kok nasib kamu bisa seperti ini. Memangnya kamu melakukan apa kok bisa bikin suamimu murka seperti itu," keluh ibunya Karisma. "Sudah Bu, jangan bicara seperti itu, namanya gak kuat kalo ngeluh terus. Yang kuat yang sabar, ini ujian dari Gusti Allah. Ayo kita masuk dan lihat karisma! Dari tadi pikiranku kok gak enak, jam segini kok gak pulang ke rumah, sebenarnya ada apa? Kerja ya kerja tapi istirahat itu lebih penting. Nurutin kerja gak ada habisnya juga,'' ucap ayahnya Karisma. Karisma coba meredakan suasana agar ibunya tidak ikutan panik. Risma menerima kesakitan ini adalah bagian dari ujian. Risma di ajarin suruh bersabar. Risma di ajarin bagaimana kuat menghadapi ujian. Hidup memang tidak seperti membalikkan badannya saat sedang begituan. Hidup itu lengkap dengan segala macam pahit manisnya. Risma memilih untuk mejalani dan berusaha iklhas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN