"Amil capa?" Alan mengikuti pertanyaan yang dilontarkan oleh Dimas. Namanya anak kecil, ia akan cepat merekam apa yang dilihat dan didengar. Raut wajah tidak bersahabat begitu terlihat jelas dari wajah Hiro. Bisa-bisanya Dimas mengajukan pertanyaan yang tidak berbobot seperti itu. Jangankan untuk menghamili perempuan, ia saja tidak bisa dekat dengan perempuan. Sulit untuk percaya dengan perempuan, apalagi ibu kandung pernah meninggalkan luka trauma yang amat mendalam pada dirinya.
"Kamu tidak mau bekerja dengan saya lagi?"
Dimas panik, ia langsung meminta maaf karena tidak bisa mengontrol mulutnya sendiri.
"Sa-saya langsung pergi, Pak." Dimas mengangkat tangan seakan-akan menyerahkan diri sebagai tersangka sebuah kejahatan. Ia tidak punya jalan keluar untuk kabur lagi. Itulah yang Dimas rasakan sekarang walau konteksnya berbeda.
Hiro menghela nafas panjang. Jujur saja ia sangat lelah dan Dimas malah menambah kekisruhan hidupnya.
"Papa kenapa?" tanya Alan dengan pengucapan yang sedikit tidak sempurna.
Hiro tersenyum, mungkin sang anak melihat wajahnya yang tidak bersahabat. Bagaimana mungkin tidak melihat, Alan saja berada di dalam gendongannya. "Papa lagi bercanda sama Kak Dimas," jawab Hiro.
"Anda?"
"Iya, bercanda. Ayo kita masuk ke rumah baru." Hiro bersiap untuk kembali melangkah.
"Pak Bos!" Dimas memanggil Hiro dengan suara lantang. Hal ini ia lakukan karena ada jarak antara mereka.
"Kenapa lagi?"
"I-itu, Pak-"
"Kak Dimas tidak mau bekerja lagi?" potong Hiro dengan intonasi yang sedikit aneh. Ia ingin cepat sampai apartemen. Setidaknya Hiro bisa berbaring diatas ranjang yang sudah ia rindukan beberapa hari ini.
Hiro masuk ke pintu utama apartemen dengan mengidentifikasi sidik jari. Akses masuk ke pintu utama ada dua, sidik jari atau kode akses.
Di bangunan yang cukup besar di luar, ada beberapa apartemen di dalamnya. Kediaman Hiro berada di lantai tiga. Dia sengaja memilih apartemen karena minimalis, keamanan terjaga serta dekat dengan perusahaan. Bahkan Hiro bisa berjalan kaki ke perusahaan.
"Ulun, Pa."
"Turun?"
"Iya, ulun."
Hiro menurunkan sang anak. Tentu saja ia tetap memantau Alan agar melangkah dengan baik. Yang namanya anak pasti keingintahuannya cukup besar. Lihat saja, Alan sudah berjalan ke arah yang salah.
"Bukan kesitu, tapi kesini." Hiro menunjukkan jalan yang benar. Alan mengerti dan mereka akhirnya sampai di depan lift.
Hiro tidak tahu apa Alan pernah naik lift atau tidak, tapi untuk berjaga-jaga ia memilih menggendongnya kembali. Tentu saja Alan sedikit memberontak ingin turun, namun Hiro tidak mengikuti kemauan sang anak. Jika lift sudah terbuka, maka tidak masalah menurunkan Alan.
"Sekarang baru boleh turun," jelas Hiro sambil menurunkan sang anak. Keduanya keluar dari dalam lift. Setiap lantai hanya dua apartemen. Hiro langsung mengarah ke pintu apartemen miliknya dan Alan setiap untuk ikut.
Hiro menekan kode akses agar pintu terbuka.
"Ayo masuk," ajak Hiro kepada sang anak. Keduanya masuk ke dalam apartemen.
Baru satu langkah, Hiro sudah dikejutkan dengan 3 laki-laki yang ada di depannya. Sungguh diluar dugaan, bahkan tas yang ada di tangannya langsung jatuh ke lantai. 3 laki-laki itu merupakan rekan kerja sekaligus sosok yang sudah Hiro anggap sebagai saudara sendiri. Mereka bernama Zero, Lp dan Yu.
"Lo kemana aja, Bang?" Wajah Yu tampak khawatir.
"Gue kira lo diculik," sambung Lp.
"Enggak, Kok." Hiro membalas sambil tersenyum palsu. Bingung harus bereaksi seperti apa.
Tiba-tiba ketiga temannya itu memeluk Hiro seakan sudah lama tidak berjumpa. Tentu saja Hiro merasa sangat risih dan mendorong tubuh teman-temannya agar menjauh dari dirinya. "Lepas," ucap Hiro agar teman-temannya segera menjauh. Tapi mereka seperti menutup telinga. Sebenarnya mereka kesal sehingga memilih untuk menggoda Hiro.
"Angan ahat sama Papa, angan ahat!" Alan bereaksi sambil memukul kaki orang-orang yang sedang memeluk Hiro.
"Epas!" celoteh Alan lagi.
"Kalian dengar suara anak kecil nggak?" Yu sudah mundur sedikit dari tubuh Hiro. Suara Alan membuat ia merasa aneh.
"Suara anak kecil apa?" Lp tidak terlalu mendengar dengan jelas.
"Lo dengar juga?" tanya Zero.
Yu mengangguk.
"Ini siapa lagi yang narik-narik celana gue?" Lp merasa terganggu karena ada yang menarik celana kainnya.
"Bukan gue." Yu angkat tangan.
"Bukan gue juga." Lp juga ikut angkat tangan. Ia tidak mau dituduh padahal tidak melakukannya.
Hiro memejamkan matanya sejenak. Ia sudah tahu siapa yang menarik celana Lp. Apalagi sejak tadi sang anak terus-terusan mengoceh minta agar tidak berbuat jahat kepada dirinya.
"Terus siapa?" Ketiganya bingung secara bersamaan.
"Angan ahat-ahat. Anti acuk nelaka."
"Lo dengar nggak?"
"Iya gue dengar." Yu memegang lehernya sendiri.
"Jangan bilang tempat ini ada hantunya?" Zero melihat ke sekeliling. Tapi ia tidak melihat ke arah bawah dimana Alan berdiri. Apa mereka bodoh? Pertanyaan itu muncul sendiri di benak Hiro. Tapi jika mereka bodoh, mana mungkin perusahaan mengalami perkembangan yang signifikan sampai sekarang.
"Ck, hantu apaan?" Hiro mulai jengkel sendiri.
"Shuttt... Diam dulu, Bang." Yu menyuruh Hiro untuk diam sejenak. Tanpa disadari, Hiro mengikuti instruksi Yu untuk diam.
"Tuyul!!!" teriak Zero secara tiba-tiba.
"Mana mana?" Yu ikut heboh.
"I-itu."Zero menunjuk Alan yang menatapnya dengan penuh kebingungan.
Yu dan Lp melihat sesuatu yang ditunjuk oleh Zero. Reaksi mereka hampir sama dengan Zero. Melihat itu, Hiro langsung memukul sang teman satu persatu. Enak saja anaknya disebut tuyul. Memang sih rambut Alan sedikit tipis, tapi Alan adalah manusia.
"Sakit, Bang." Zero memegang perutnya.
"Pegang dia!" Yu menyuruh Lp dan Zero memegang Hiro agar bisa membalas apa yang sudah dilakukan oleh Hiro terhadap diri mereka.
Belum sempat, Zero melayangkan pukulan. Alan sudah menangis histeris. "Kok bisa nangis?" ucap mereka bingung.
Hiro langsung mengangkat tubuh sang anak untuk digendong. "Udah udah, jangan nangis." Entah sudah berapa kali anaknya menangis seharian ini.
"Ahat, meleka ahat."
"Mereka nggak jahat. Mereka teman Papa." Hiro tidak mau sang anak menganggap sang teman sebagai penjahat. Dia mencoba untuk memberi penjelasan walaupun sekarang Alan tidak menerima penjelasan dirinya.
"Papa?" Yu, Lp serta Zero bertanya secara bersamaan.
Keterkejutan teman-teman Hiro membuat sang anak semakin menangis histeris.
"Kalian diam dulu bisa nggak?" Hiro jadi frustasi sendiri. Tadi Dimas, sekarang malah teman-temannya. Hiro sadar bawah kehadiran Alan akan membuat orang didekatnya terkejut. Tapi perubahan dalam hidupnya terjadi secara tiba-tiba. Dia juga tidak bisa menolak takdir tersebut. Apalagi Alan masih sangat kecil.
Hiro membawa Alan menuju ke kamarnya. Lebih baik mencari tempat untuk menenangkan sang anak lebih dulu. Sedangkan Yu, Lp dan Zero saling pandang.
"Kapan Bang Hiro nikah?"
Yu mengangkat bahu.
"Apa dia hamilin anak orang?" Pikiran Zero dan Dimas hampir sama.
"Nggak mungkin. Bang Hiro bukan orang kayak gitu." Lp langsung membantah tebakan tersebut.
"Terus?"
"Mana gue tau. Gua juga kaget."
Mereka bertiga melangkah pelan menuju kamar Hiro. Tentu saja mereka tidak masuk dan hanya mengintip dari pintu. Mereka melihat Hiro yang tengah sibuk menenangkan batita mungil yang awalnya mereka kira sebagai tuyul.
"Mata gue nggak salah lihat bukan?" tanya Yu sambil mengucek mata.
"Gue juga lihat," jawab Lp.
"Itu anak siapa?" Zero semakin penasaran.
"Hubungi Bang Agam," suruh Lp.
"Lo aja, kenapa malah suruh gue?" Yu menolak.
"Gue nggak izin." Lp langsung keluar tanpa izin kepada Agam yang menjadi wakil Hiro di perusahaan. Apalagi masih jam bekerja.
"Sama." Yu melakukan hal yang sama.
"Ck, biar gue yang hubungi." Zero mengambil ponsel untuk menghubungi teman mereka yang lain. Tapi Yu langsung menghentikan itu. "Jangan deh, pasti Bang Agam langsung nyuruh kita balik."
"Ah iya. Benar juga."
Mereka memilih untuk menunggu Hiro di ruang keluarga. Ketiganya sibuk dengan pikiran masing-masing. Tentu saja mereka masih memikirkan satu hal yaitu anak yang memanggil Hiro dengan sebutan Papa.
"Apa Bang Hiro pernah nikah?" tanya Lp.
"Jangan samain Lo sama Bang Hiro!" balas Zero langsung.
"Gue cuma nanya, "cicit Lp karena baru saja mendapat semprotan dari Zero.
Beberapa menit yang lalu…
"Pak Bos!"
"Kenapa lagi?"
"I-itu, Pak-"
"Kak Dimas tidak mau bekerja lagi?"
"Pak Yu, Pak Zero sama Pak Lp ada di apartemen Bapak," cicit Dimas dengan suara pelan. Ia hanya bisa melihat punggung sang bos yang sudah menjauh dari pandangan.