4.1

1079 Kata
Mengikuti langkah Ilham menapaki anak tangga, menatap punggungnya Icin menyadari marahnya lenyap begitu saja kemudian digantikan kembali dengan perasaan ingin bersama laki-laki itu. Hanya saja pemilik punggung itu terasa jauh dan dingin. Itulah kenapa Icin menjaga jarak mereka, ia tidak punya keberanian hanya untuk menyapa dan bermanja seperti biasa pada Ilham. Bermanja? Tanya otak Icin, lalu batinnya membenarkan bahwa memang begitu adanya, dulu. Saat Icin yang tidak tau malu merasa bahwa Ilham juga memiliki rasa untuknya. Harusnya ada setidaknya seorang saja di dunia ini menyadarkan dirinya bahwa gadis itu memiliki tingkat ke-GRan yang menyedihkan. “Lo juga dekat sama Shakka?” tanya Ilham pada Icin tanpa berbalik, hanya menghentikan jalannya. Delapan anak tangga terpisah dari Ilham, seorang gadis merasakan dadanya berdebar dengan cara yang tidak menyenangkan. “Mungkin gue harus ngulang ucapan cewek lo tempo hari, gue SW, justru aneh kalo ga dekat dengan Shakka,” ucap Icin dengan degup jantung makin parah karena mengucapkan apa yang sama sekali tidak ingin ia ucapkan pada Ilham. Icin berbalik, kembali turun dan tidak menoleh ke belakang lagi. Ia menyamankan diri duduk di sofa depan dengan mata hanya melihat kedua tangan yang ia letakkan di atas paha. Salah, salah sekali Icin datang kemari pagi-pagi. Seseorang yang melihat semuanya namun masih tidak mengerti lekas mencari abangnya ke kamar yang baru beberapa tahun ini dibuat untuk menyimpan semua lukisan sang abang, juga ruangan itu abang gunakan untuk melukis dan berdiam diri seorang diri. Ruangan yang Fay maksud tiga dindingnya dibuat menggunakan kaca sehingga pemandangan halaman belakang, depan dan samping bisa diamati dari sana. Fay menemukana abangnya menatap pada pemandangan yang salah satu dinding kaca suguhkan dengan melipat kedua tangannya di d**a. Selalu seperti ini, padahal abang sudah dikelilingi oleh keluarga dan teman dekatnya tapi Fay masih sering mendapati abang seperti merindukan seseorang. Tapi siapa orang itu? Fay sama sekali tidak punya clue. “Bang..” Shakka berbalik hanya untuk menunjukkan wajah terganggu. Ia selalu terganggu jika Fay sudah memanggilnya seperti itu, yang artinya Abid kembali membuat si manis Fay tersinggung dengan kata-katanya. Sebenarnya Fay juga yang memancing Abid, namun Shakka tau, Fay hanya kesepian di rumah ini. “Kayaknya hari ini kita harus ngusir Abid ya, Fay,” ucap Shakka membelai kepala gadis cilik yang sudah ia anggap adik sendiri itu. “Loh kok gitu? Ini ulang tahun aku loh bang, teman abang aja yang diusir,” ucap Fay mundur sehingga abangnya tidak bisa lagi menyentuh kepalanya. Shakka menunjukkan wajah bingung, Fay tidak butuh wajah itu dan segera membimbing abangnya menuju kakak cantik yang dibuat sedih oleh teman abang yang namanya tidak ingin Fay sebut, diantara sebanyak itu kawan bang Shakka memang orang itu yang sok jual mahal padanya. Dari balik guci besar yang dibeli kakek Fandi, Fay mengajak Shakka untuk mengintip keadaan pacarnya. “Pacar abang dibuat sedih sama yang mukanya jelek itu,” terang Fay. Entah kenapa si muka jelek itu tidak ada ramah-ramahnya pada Fay, padahal bang Arif, bang Evan dan bang Galih suka bercanda dengan Fay. “Eh, abang jomblo berkualitas ya, enak aja!” Shakka menoyol kepala Fay. “Ngaku aja lah bang, aku sama Abid udah laporan sama papa Rama,” paksa Fay menarik tangan Shakka agar keduanya semakin dekat dengan pacar abang. “Kalian apa?” teriak Shakka tidak terima. Suara besar Shakka membuat Icin sadar dari lamunannya dan mencoba bersikap normal dengan menegakkan kepala. Sedangkan di ujung sana Shakka menunjuk-nujuk Fay yang seperti anak anjing ketakutan. Icin tidak tau apa yang menyebabkan Fay dimarahi karena Shakka merapatkan gigi atas dan bawahnya saat memarahi anak itu. Ah, pasti ini bagian dari kejutan, pikir Icin. “Panggil Abid ke ruangan abang,” ucap Shakka tegas. “Giliran yang hoax aja kalian kompak,” dengus Shakka melihat Fay ngacir. Icin mendekat dan bermaksud bertanya namun ia diberi perintah, Shakka menyuruhnya untuk mengunci dua netijen tadi setelah keduanya memasuki ruangan berpintu maroon di lantai atas. “Abid sama Fay memangnya kenapa?” tanya Icin tidak mengerti “Mereka harus diisolasi karena udah belajar jadi netijen,” ucap Shakka kesal. >>>  Abid menatap Fay seolah bola matanya bisa meloncat keluar begitu saja. Ia punya agenda belajar kelompok hari ini dan berkat Fay, yang entah apa lagi yang bocah itu lakukan, Abid jadi terkurung di tempat ini. “Liatin akunya biasa aja dong, tau kok, cantik,” ketus Fay. “Cih.” “Ga sopan tau, Bid.” “Jadi yang sopan versi lo itu apa? Ngadu ke abang gue dan bikin kita dikurung berdua kayak ginituh sopan ya, Fay?” Fay tersenyum geli, ia jadi tidak fokus. Gara-gara apa coba? Gara-gara kata kita yang Abid ucapkan tentu saja merujuk pada Fay dan Abid, ia begitu terpesona dengan betapa indahnya saat nama mereka disandingkan. “Aku ga ngaduin kamu, ih! Tapi apapun yang ada dipikirin bang Shakka sampai kita dikurung berdua bikin bahagiaku berlipat ganda tau,Bid.” Terserahlah, susah ngomong sama bocah yang di kepalanya itu cuma ada gue, gue dan gue, gumam Abid membatin. Kadang Abid berharap cewek itu segera pergi dari rumahnya, pergi dari hidupnya untuk selama-lamanya. “Jangan coba-coba ngata-ngatai aku dalam hati, ya, Bid! Suka beneran tau rasa kamu.” “Amit-amit!” Abid menggeser posisinya sehingga memeblakangi Fay sepenuhnya. Lama-lama melihat cengiran Fay bisa-bisa Abid khilaf dan menggeplak kepalanya. >>>  Icin yang berhasil mengunci sepasang bocah yang tampaknya tidak pernah akur tersebut dan dengan rasa bersalah kembali menemui Shakka untuk menyerahkan kunci kamar. Icin tidak kuasa untuk tidak melirik ke dalam kamar melalui pintu yang terbuka lebar, tidak jika di dalam sana ada pujaan hatinya. “Cin??” “Eh iya, apa Ka?” “Key sedang mandi, lo udah sarapan? Ah kalau udahpun lo temeni gue aja yuk,” ucap Shakka menutup pintu kamarnya dan meminta icin mengekorinya Icin terpaksa mengikuti langkah Shakka menuruni tiap anak tangga, memangnya apa alasan untuk tetap bisa memperhatikan Ilham memainkan hapenya? Yang membuat Icin sedih adalah Ilham bahkan tidak bergerak sedikitpun dari posisinya ketika mendengar suara Icin. Harusnya bukan ini yang terjadi antara Icin dan cowok itu. “Gue belum sarapan,” aku Icin. “Makanya gue bawa kesini.” “Temen-temen lo udah sarapan?” “Belum,” jawab Shakka yang membuat Icin memiliki ide brilian. “Kenapa ga ajak makan sekalian? Lagian emangnya lo nyaman dekat-dekat gue?” “Karena dari zaman megalitikum juga mereka kalo lapar ga nunggu ajakan gue, dan gue biasa aja dekat-dekat lo, lo kan sukanya ga sama gue.” Cewek yang duduk di seberang Shakka langsung lesu, duduk tegapnya tadi berubah menjadi membungkuk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN