3. Mukjizat Itu Datang

1717 Kata
Hari ini tepat satu bulan sudah Alita terbaring tak berdaya di ranjang besi rumah sakit. Dokter terbaik dari beberapa rumah sakit di daerah Jakarta sudah mereka datangi untuk kesembuhan Alita, tapi nyatanya usaha itu belum juga membuahkan hasil. Bahkan kondisinya semakin lama semakin memburuk. Yang lebih membuat keluarga sedih dan kecewa adalah pihak rumah sakit seolah angkat tangan dengan kondisi Alita saat ini. Mereka mengklaim sudah berusaha semaksimal mungkin dan menyimpulkan bahwa Alita masih bisa tetap bernapas sampai detik ini karena alat bantu medis yang terpasang di tubuhnya. Pihak rumah sakit pun sudah menyerahkan semua keputusan kepada pihak keluarga jika seluruh alat medis akan dilepas. Tentu saja Sarah menolak mati-matian, ia tetap bersikeras untuk membiarkan alat-alat medis itu tetap terpasang di tubuh Alita. Ia yakin suatu saat nanti Alita pasti akan terbangun dan kembali berkumpul bersama mereka. Jika ia sampai menyerah itu artinya ia menghabisi nyawa putrinya sendiri. Saat ini tidak ada lagi yang bisa Hardjono dan Sarah lakukan selain menunggu sebuah mukjizat. Sejauh ini, dari ilmu agama yang mereka dapat dari guru spiritual mereka, tidak ada yang tidak mungkin Jika Allah sudah berkehendak. Itulah yang saat ini mereka yakini. Entah harus menunggu berminggu-minggu atau berbulan-bulan ia akan tetap setia menunggu kesembuhan alita. Berapa pun biaya yang harus mereka keluarkan, Sarah tidak perduli. Ia akan terus memperjuangkan napas Alita. Terlebih rasa bersalahnya yang selama ini selalu menghantui pikirannya. Ia begitu menyesalkan pertengkaran yang terjadi malam itu, sebelum kecelakaan menimpa Alita. Jika malam itu mereka tidak bertengkar mungkin saat ini Alita masih baik-baik saja. Berkali-kali Sarah pun menyalahkan dirinya sendiri. Sarah mempertahankan Alita itu bukan tanpa alasan, tapi beberapa kali saat ia menunggunya di ruang rawat. Ia melihat raut wajah Alita seperti mengekspresikan sesuatu. Beberapa kali pula ia melihat tangan Alita seolah bergerak, walaupun hanya pergerakan kecil yang mungkin tidak terlalu terlihat. Tapi sepertinya perkataan Sarah tidak mendapatkan tanggapan yang serius dari pihak rumah sakit. Begitu pula dengan Hardjono, mereka menganggap Sarah hanya berhalusinasi karena keinginannya yang terlalu besar untuk kesembuhan Alita. “Mah, Papah keluar sebentar ya…” ucap Hardjono sembari menyentuh bahu Sarah. Sarah hanya mengangguk tanpa menjawab. Tatapannya masih terfokus menatap Alita yang berbaring di hadapannya. Sudah satu bulan ini ia banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit. Selebihnya ia berada di rumah, itu pun hanya untuk mandi atau mengambil baju ganti. Belum lagi jarak antara rumah sakit dengan rumah tinggal mereka yang cukup jauh, sangat menguras waktu dan tenaganya. Tubuh letihnya sama sekali tidak ia rasakan. Ia tahu apa yang Alita rasakan saat ini jauh lebih menyakitkan. Bukan berarti Sarah melupakan Kevin, putra bungsunya yang masih berusia delapan tahun. Tentu kevin pun berhak mendapatkan perhatian yang sama. Sarah berpikir masih ada Ayahnya yang bisa membagi waktu antara pekerjaan dan menemani putra bungsunya itu. Sarah hanya ingin berada di samping Alita jika sewaktu-waktu Alita bangun dari komanya. Sudah ada Rangga, sahabat Alita ketika Harjono membuka pintu. Seperti biasa Rangga duduk di kursi tunggu tepat di depan pintu masuk. Rangga dan Nadine memang kerap kali datang untuk menjenguk Alita. Walaupun hanya sebentar karena kesibukan keduanya, tapi cukup membuat Sarah dan Hardjono merasa terbantu. Siapa tahu dengan kehadiran mereka membuat Alita berusaha bangun dari tidur panjangnya itu. Kedua orangtua Alita merasa bersyukur karena putrinya memiliki sahabat yang baik seperti mereka yang selalu ada di saat Alita membutuhkannya. Konon katanya seseorang yang sedang dalam keadaan koma masih bisa mendengar suara yang ada di sekelilingnya, dan suara yang akrab didengar pasien sebelum koma akan mempercepat proses pemulihannya. Lagi-lagi itu membuat Sarah yakin, perlahan Alita pasti akan membuka matanya. “Eh Om…” sapa Rangga sambil menganggukkan kepalanya. Rangga memang selalu bersikap sopan kepadanya. Itulah yang Hardjono sukai dari Rangga. Hardjono pun selalu berharap sisi positif Rangga bisa pelan-pelan merubah watak Alita yang keras kepala dan susah diatur. “Sudah lama kamu Ngga? kenapa ngga kasih tahu?” tanya Hardjono sambil melangkah mendekati Rangga, lalu duduk di sampingnya. Setiap kali Rangga datang menjenguk Alita, ia memang selalu menunggu di luar tanpa memberi tahu. Mungkin ia terlalu sungkan untuk mengetuk pintu ruangan Alita karena itu artinya ia harus ‘mengusir’ mereka yang tengah berada di dalam. Sudah menjadi aturan di rumah sakit jika penunggu pasien tidak diizinkan lebih dari dua orang. Apalagi untuk pasien dalam keadaan koma yang kondisinya masih dalam pemantauan. “Belum kok Om, ini juga masih nunggu Nadine. Katanya sih tadi masih di jalan,” jawab Rangga. “Gimana keadaan Alita Om? Apa sudah ada perubahan?” Hardjono menghela napasnya panjang dari rawat wajahnya rangga pun sudah bisa menebak bagaimana kondisi alita sepertinya masih sama saat terakhir ya menjenguk nya dua hari yang lalu Hardjono menggeleng, seketika wajahnya berubah lesu. Selain ia takut kehilangan Alita, ia juga takut jika pada akhirnya ia akan menyerah dengan keadaan, melihat kondisi Alita yang tidak menunjukkan perubahan. Lagi pula dengan semakin berjalannya waktu otomatis biaya rumah sakit pun akan semakin membengkak. Ssaat ini saja Hardjono sudah menjual satu unit mobil yang biasa dipakai Sarah. “Rangga, Om mau tanya sama kamu. Apa kamu tau akhir-akhir ini Alita sedang ada masalah? mungkin Alita sempat cerita sesuatu sama kamu?” tanya Hardjono sambil menatap mata Rangga. Ia mulai bertanya-tanya dalam hati, karena selama Alita dirawat, laki-laki yang diakui Alita sebagai kekasihnya sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya. Jika dia memang laki-laki yang baik dan bertanggung jawab, sudah pasti ia akan dengan berani menemuinya. Tapi nyatanya sejak ponsel Alita ia pegang, laki-laki itu sama sekali tidak menghubunginya. “Engga Om, Alita ngga cerita apa-apa kok Om. Malah terakhir ketemu Alita kelihatan ceria banget ngga seperti biasanya, yaa seperti ngga ada masalah. Makanya Rangga juga kaget Om,” jawab Rangga. “Memangnya kenapa ya Om?” Hardjono terdiam beberapa saat. “Mungkin kamu tahu Alita sedang ada masalah dengan laki-laki itu?” tanya Hardjono lagi. Ia sudah memahami betul watak putrinya. Tidak mungkin ia senekat itu melajukan mobilnya dengan kencang. Sudah pasti ada masalah yang tengah mengganggu pikirannya. Begitulah laporan yang ia terima dari pihak kepolisian. Kecepatan mobil Alita benar-benar di luar batas, dan itu sangat masuk akal melihat kondisi mobil yang dinaiki Alita rusak parah. “Mmm… Kenzo maksudnya Om?” tanya Rangga untuk meyakinkan maksud pertanyaan Hardjono. Ia tahu betul bahwa Hardjono tidak menyukai Kenzo dan melarang hubungannya dengan Alita. “Rangga ngga tahu Om. terakhir ketemu, Alita nggak bilang apa-apa.” “Ooh…” jawab Hardjono singkat. Ia berusaha untuk tidak memikirkannya lebih jauh, walaupun sebelumnya sempat terlintas di pikirannya jika kehadiran kenzo mungkin saja bisa mempercepat kesembuhan Alita. Dulu ia pernah muda dan pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Ia paham betul jika dukungan dari orang tersayang bisa menumbuhkan semangat hidupnya. Kalau memang demikian, ia pun rela mengesampingkan egonya demi kesembuhan dan kebahagiaan Alita. Tapi nyatanya tidak ada orang lain lagi yang datang menjenguk Alita selain Rangga dan Nadine. Bahkan keluarga besarnya pun tidak karena memang Hardjono dan Sarah adalah perantauan di Jakarta. Semua keluarga besarnya berada di luar Jawa. Terdengar bunyi langkah kaki di lorong rumah sakit, Rangga dan Hardjono pun reflek menoleh. Terlihat Nadine dengan tergesa-gesa mendekat ke arah mereka. Sepertinya ia baru saja pulang dari kuliahnya dengan shoulder bag dan beberapa buku di tangannya. “Siang Om…” siapa Nadine seraya mengulurkan tangannya dan seperti biasa mencium tangan Hardjono. Nadine dan Rangga adalah sahabat Alita sejak awal mereka masuk kuliah. Mereka adalah teman satu ke kampus Alita, tapi berbeda jurusan yang dipertemukan dalam sebuah kegiatan orientasi (Ospek). “Baru pulang kuliah?” tanya Hardjono basa basi. “Iya Om,” jawab Nadine. “Ya udah, sebentar ya… Om bilang sama Tante dulu. Kebetulan Tante Sarah juga dari tadi belum makan. Sekalian Om nitip Alita sebentar ya…” ucap Hardjono sambil berdiri, lalu masuk menemui istrinya. “Eh sorry ya lama. Tadi gue naik taksi. Mana lama lagi nunggunya!” gerutu Nadine sembari tangannya sibuk mencari sesuatu di dalam tas. Ia tahu Rangga sudah menunggunya lebih dari satu jam. Lebih tepatnya Nadine terlambat satu jam dari waktu perjanjian mereka untuk bertemu di rumah sakit. “Iya, ngga papa, lagian udah biasa biasa kok. Emangnya kapan sih lo nggak telat kalau kita janjian?!?” ucap Rangga, membuat nadine kesal. “Eh sialan lo!” umpat Nadine. “Lo naik taksi? Mobil lo kenapa?” “Ngga tau, mogok. Eh, Alita gimana? Lo udah masuk?” tanya Nadine dengan penuh harap. Ia menutup matanya rapat2 menanti jawaban Rangga. Please ya Allah semoga kali ini gue denger kabar baik, batin Nadine “Gue belum masuk. Tapi kata bokapnya keadaannya masih sama kaya kemarin,” jawab Rangga datar. Nadine membuka matanya, menghembuskan napasnya kasar sambil tertunduk. Tubuhnya terasa lemas. Matanya selalu berkaca-kaca selalu setiap kali membicarakan kondisi Alita. Tak berapa lama Hardjono pun keluar dari dalam ruangan. Ia biarkan pintunya sedikit terbuka, menunggu Sarah keluar. “Pahhh! Papaahh!!” Terdengar suara teriakan Sarah dari dalam ruangan. Sontak membuat Hardjono kembali masuk ke dalam ruangan. Rangga dan Nadine pun ikut beranjak dari tempat duduk mereka dan langsung menghambur mendekat. Semua terlihat panik. “Kenapa Mah??” tanya Harjono sambil berlari kecil ke arah Sarah. Sementara Rangga dan Nadine berhenti di pintu masuk. “Alita Pahh… liat, Alita,” ucap Sarah dengan nada gemetar sambil berdiri dan membungkukkan tubuhnya di samping Alita. “Alita sayangg… ini Mamah. Kamu dengar kan Sayang?” “Alitaa…” panggil Hardjono pelan. Tak ada reaksi. “Ngga, tolong panggilkan dokter Ngga!” teriak Hardjono. Tetapi terlihat Rangga sudah berlari menuju nurse station sebelum Hardjono selesai bicara. Ia sudah mengerti apa yang harus ia lakukan. Terlihat Alita sedikit membuka matanya walaupun masih terasa berat, tetapi pandangannya kosong. Tak berapa lama, dokter yang didampingi tiga orang suster masuk ke dalam ruangan. “Dok, anak saya tadi membuka matanya Dok,” ucap Hardjono yang tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, walaupun kini mata Alita sudah kembali terpejam. Tapi paling tidak ada sedikit harapan untuk kesembuhannya biarpun kemungkinannya sangat kecil. Mukjizat itu benar-benar datang dan terjadi. Alita yang sudah divonis pihak rumah sebagai “mayat hidup”, kini memperoleh kesadarannya. “Mohon maaf Pak, Bu, biar kami cek dulu kondisinya. Silahkan Bapak dan Ibu bisa tunggu di luar.” “Iya, baik Dok,” jawab Hardjono. “Ayo Mah.” Hardjono membimbing Sarah untuk keluar. “Alita Paahh…” ucap Sarah lirih sambil terus menatap ke belakang, menatap Alita yang mulai diperiksa oleh Dokter. Matanya terlihat berkaca-kaca, rasanya ia tidak ingin pergi dari sisi Alita. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN