Goo Hae Young menjadi satu-satunya saksi. Melihat koneksi emosional yang terjalin di antara putranya dengan seorang gadis bernama Park Yiseo. Ia berdiri sambil memeluk tubuh dan membungkam mulutnya dengan menaruh kepalan tangan tepat di depan bibir. Namun, Goo Hae Young tak bisa menyembunyikan bulir-bulir cairan bening yang sedari tadi memaksa keluar dari pelupuk matanya.
Ada saja bagian-bagian dalam dirinya yang terus bertanya, bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bagaimana putranya bisa menyadarkan seorang gadis yang … entahlah. Kondisi mentalnya tak bisa dijelaskan. Mungkin karena Goo Hae Young tidak memiliki cukup pengalaman dengan kondisi seperti ini, sehingga ia tak dapat menemukan kalimat yang pas selain, ‘ikatan batin.’ Bahkan, dua kata itu serasa terlalu sulit untuk diterima akal sehatnya. Bagai memercayai takhayul.
“It’s okay, you’re safe now.”
Menyaksikan bagaimana dengan sangat ketakutan putranya begitu menghawatirkan Park Yiseo dan dia berhasil memanggil gadis itu. Menenangkannya. Otak Goo Hae Young merekam dengan jelas, bagaimana teriakan histeris dari Park Yiseo sambil kedua tangannya memeluk erat lengan sang putra.
Ketakutan. Sangat kentara dari tangisan yang mengalun nelangsa dari suara Park Yiseo. Menjadi pertanda jika yang dia alami bukan sekadar luka fisik biasa. Ada sesuatu yang masih perlu penjelasan dari Park Yiseo, tetapi Goo Hae Young menunda semua itu sampai tiba waktunya, Park Yiseo siap menceritakan apa yang telah ia alami selama ini.
Jelas sekali jika ada kekerasan yang ia terima. Dilihat dari sekujur lengannya yang meninggalkan tanda merah bekas cambuk. Goo Hae Young terus menggelengkan kepala, tidak bisa menerima logika jika luka-luka tersebut adalah hasil perbuatan orang tua Hae Young.
Alam bawah sadarnya terus dibuat bergidik. Ngeri. Demi Tuhan, orang tua diciptakan untuk bisa melindungi anak-anak mereka. Bahkan seekor singa lapar, tidak akan memakan anaknya sendiri, bagaimana seorang manusia yang diberikan akal budi, bisa dengan gampang mengayunkan cambukan pada darah dagingnya sendiri?
“I couldn’t believe this.” Goo Hae Young bergumam sambil menunduk dan menggelengkan kepalanya.
Suara tangisan nelangsa itu mulai tak terdengar. Terganti dengan napas yang terputus-putus. Park Yiseo mulai melonggarkan dekapan tangannya yang sedari tadi menyergap lengan Choi Yong Do. Sementara lelaki itu turut melonggarkan pelukannya.
Perlahan-lahan Choi Yong Do menarik dirinya, menurunkan tubuh hingga kedua lutut menyentuh lantai. Goo Hae Young memutar tubuh. Melangkah ke dapur untuk mencari sesuatu yang bisa mengobati luka-luka di lengan Park Yiseo.
Da’da Park Yiseo naik turun, tak konsisten. Sementara mulutnya megap-megap. Sekali lagi dia menunjukan kelemahannya kepada orang lain. Namun, bukan itu masalahnya. Park Yiseo sama sekali tidak mengerti. Ke mana jiwanya pergi. Ia hanya berusaha menahan rasa sakit. Nyeri yang luar biasa. Park Yiseo sudah sering melakukannya.
Dicambuk, dipukuli, ditampar. Segala bentuk kekerasan yang diberikan –ayahnya– sudah sepuluh tahun ini diterima oleh Park Yiseo dan sejauh itu, ia tak pernah melawan. Gadis itu dipaksa untuk pasrah dan menerima setiap pukulan, karena dia yakin jika dirinya pantas menerima semua itu.
“Hei,” panggil Yong Do. Tangannya terangkat, meraih satu sisi wajah Park Yiseo, lantas mengusap air mata yang masih saja membasahi wajah cantik gadis itu.
“It’s okay,” ucap Choi Yong Do. “semua telah berlalu. Dia sudah pergi dan aku minta maaf karena tidak bisa melakukan apa pun.” Pria itu menggelengkan kepala. Menunduk. Menatap jemari yang memutih dan bergetar di atas paha Park Yiseo dan Choi Yong Do menggenggam kedua tangan itu erat-erat.
Pria itu kembali mendongak. Menatap sepasang iris hitam di depannya. “Apakah kamu sudah sering diperlakukan seperti ini?” tanya Yong Do.
Park Yiseo menggeleng. Kesadarannya semakin pulih. Itu artinya ia harus berpikir cerdas. Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan. Orang lain tak boleh tahu masalah di dalam keluarganya.
“Ak- ak- aku baik-baik saja,” ucap Park Yiseo. Suaranya parau, bergetar dan gagap. Gadis itu memalingkan wajah dan membiarkan embusan napas panjangnya menggema, membuat dadanya terasa longgar. “kau pergilah.” Lanjut Yiseo.
“Tidak,” ucap Yong Do dengan nada lembut. “aku tidak akan pergi. Not anymore.”
Seketika Park Yiseo kembali memutar wajah. “Pergilah. Aku tidak butuh bantuanmu,” ucap Yiseo. Sebisa mungkin gadis itu mengusahakan tatapan mata yang bisa menggambarkan keangkuhan dan kekuatan. Namun, jika Park Yiseo berpikir semua itu berhasil, maka dia salah besar.
“Benarkah?” gumam Yong Do. “tetapi, yang kulihat dari matamu, kau ingin aku tetap tinggal.”
Mulut Yiseo terbuka. Kembali melepaskan napas panjang dan berat. Gadis itu tidak sanggup menatap mata Choi Yong Do lebih lama, oleh karena dia telah menemukan jika dirinya akan sangat lemah jika menatap sepasang manik cokelat milik Choi Yong Do.
“Pergilah. Aku baik-baik saja.”
“Tidak ada yang baik-baik saja di sini.”
Choi Yong Do memutar wajahnya saat mendengar suara sang ibu. Dilihat pria itu, ibunya membawa kotak P3K juga sebuah wadah berisi es batu. Perlahan-lahan, Park Yiseo menggerakan wajah. Menoleh ke belakang. Didengar Yiseo bagaimana embusan napas Goo Hae Young yang terdengar berat dan putus asa. Wanita itu juga berlutut di depan kaki Park Yiseo. Dia menaruh peralatan yang ia bawa ke atas lantai, lantas meraih kedua tangan Yiseo.
“Kau mengalami guncangan hebat yang hampir merenggut nyawamu, dan kau bilang jika kau baik-baik saja?” Goo Hae Young menggeleng. “jika ada yang bisa kulakukan saat ini adalah menelepon polisi dan melaporkan Kedubes Park atas apa yang telah ia perbuat kepada putrinya.”
“No!” Park Yiseo menggeleng dan matanya menjadi nyalang. “Ayahku tidak melakukan apa pun,” kata Yiseo.
Sudut bibir Goo Hae Young berkedut dan memberikan senyum sendu. Wanita itu mengedikkan kepala, menunjuk lengan Yiseo dan seketika membuat Park Yiseo berusaha menutupi lengannya.
“Kau tidak perlu menyembunyikannya, Sweetheart,” kata Hae Young. Dia kembali mendesah. Meraih handuk kecil berisi es batu lantas menaruhnya di atas lengan Yiseo.
“Ssss … mpht.” Desisan panjang yang diakhiri dengan desahan berat itu, mengalun dari bibir Park Yiseo.
“Tahan selama dua puluh menit,” kata Hae Young. Wanita itu kembali memutar tubuh. Mengambil sebuah pil pereda nyeri dari dalam kotak P3K lalu memberikannya pada Park Yiseo. “minum untuk bisa mengurangi rasa nyerinya.”
Park Yiseo membuka mulut, lantas menelan pil tersebut. Choi Yong Do memiliki inisiatif sendiri untuk memberikan segelas air yang sedari tadi berada di atas nakas pada Park Yiseo.
“Thanks,” ucap Yiseo setelah menelan pilnya. Dia menunduk.
“Yong Do, pengang ini dan tempelkan ke tangannya,” kata Hae Young. Putranya bergumam, mengangguk dan meraih handuk berisi es batu dari tangan Goo Hae Young.
Sejurus kemudian Goo Hae Young bangkit dari atas lantai. Wanita itu membawa wadah dan juga kotak P3K bersamanya dan dia keluar dari kamar itu.
“Nyonya Choi.”
Namun, panggilan barusan menghentikan langkah Goo Hae Young. Membuatnya menoleh ke belakang.
“Kumohon untuk tidak melaporkan apa pun. Biarlah ini menjadi masalah keluargaku,” kata Yiseo. Ada jeda pada ucapannya. Seperti memikirkan sesuatu dan Goo Hae Young pun terdiam di tempatnya.
“Dan terima kasih sudah menolongku. Aku berhutang nyawa pada kalian.” Lanjut Yiseo. Gadis itu memutar tubuhnya ke samping. “terima kasih, Yong Do.”
Choi Yong Do menggeleng. “Tidak,” kata pria itu. “akulah yang harusnya berterima kasih. Terima kasih sudah menolongku. Terima kasih sudah mempertaruhkan nyawamu untukku. Kamu sangat tidak pantas menerima semua ini hanya untuk hidungku yang patah.”
Park Yiseo terkekeh, tapi sejurus kemudian dia meringis.
“Hei.”
“It’s okay,” kata Yiseo sambil mengangguk kecil. Ia kembali menatap sepasang manik cokelat di depannya. Park Yiseo tersenyum. “harga yang pantas untuk mendapatkan teman sepertimu.”
Sekali lagi. Dan untuk kesekian kalinya. Goo Hae Young tidak dapat menahan air mata. Mendengar kalimat yang barusan keluar dari bibir Park Yiseo. Dan rungunya begitu peka mendengar senyuman di wajah putranya. Senyum yang tak pernah ia lihat seumur hidupnya sehingga Goo Hae Young kembali menoleh. Dilihat wanita itu bagaimana wajah putranya yang seperti bersinar.
“How lucky I am,” kata Yong Do.
“You not lucky, but I am,” balas Yiseo. “aku beruntung bertemu kalian.” Park Yiseo menoleh. “sehingga aku bisa merasakan kehangatan di antara hubungan tak sedarah.” Gadis itu kembali tersenyum.
Goo Hae Young memutar tubuh. Berjalan sambil membiarkan senyum merekah selebar wajahnya. Hati Hae Young berdebar. Untuk pertama kalinya ia merasa sangat senang. Selama enam belas tahun menghawatirkan kondisi mental putranya. Menghawatirkan bagaimana putranya tak bisa bersosialisasi.
Namun, lihatlah saat ini. Ia tak perlu bersosialisasi dengan banyak orang yang hanya bisa memberikan rasa sakit untuk putranya. Choi Yong Do hanya butuh seseorang. Seorang teman yang menganggapnya lebih dari sekadar teman.
_________________