Wajah Choi Yong Do telah berubah menjadi merah padam dan bibirnya menekan menjadi garis keras. Terdengar desisan dari sana, sementara kedua tangannya makin mengencang di leher Park Yiseo. Sepasang manik cokelat itu bisa melihat bagaimana wajah gadis di depannya mulai berubah menjadi pucat pasih, tapi tak ada tanda-tanda ketakutan dari raut wajahnya dan malahan dia terlihat begitu senang. Seolah-olah ini sebuah permainan yang menguji adrenalin.
Keduanya saling bertatapan dan mulai timbul keresahan di dalam diri Choi Yong Do hingga akhirnya ada sesuatu yang menegurnya. Menampar keras kesadaran lelaki muda itu sampai dia akhirnya melepaskan leher Yiseo.
“Uhuk, uhuk!” Park Yiseo berbatuk keras. Tubuhnya membungkuk secara alamiah agar dia bisa meraup udara dan mengisi paru-parunya yang kosong.
Sementara Choi Yong Do telah menegakkan badannya. Wajahnya terlihat kaget. Bola mata pria muda itu membulat sempurna. Dia menjatuhkan tatapan. Menatap telapak tangannya yang memerah dan bergetar.
‘Bagaimana bisa?’ gumamnya dalam hati. Ya. Bagaimana bisa. Bagaimana bisa seorang Choi Yong Do begitu tersulut emosi sampai dia tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.
“Uhuk!”
Pria itu kembali menolehkan pandangannya ke samping. Dilihat Yong Do bagaimana cara Park Yiseo memukul-mukul da’danya dengan kuat. Choi Yong Do menggoyangkan kepalanya lambat-lambat. Kedua tangannya masih bergetar dan dia sendiri kesulitan bernapas.
“Sial!” maki Yiseo. Suara gadis itu berubah parau. Dia masih berbatuk-batuk, tapi napasnya telah kembali. Sambil mendongak, dia memberikan tatapan membunuh pada si pria yang hampir merenggut nyawanya barusan. “Pengecut!” desis Yiseo.
Perlahan-lahan, gadis Park itu mulai menegakkan badannya sampai punggungnya menyentuh sandaran sofa. Ia mengentakkan napasnya satu kali dan semuanya kembali normal. Park Yiseo kembali pada sifat aslinya yang terlihat tenang dan percaya diri. Bahkan kejadian semenit yang lalu tak sanggup mengubah posisi duduknya. Dia masih dengan sangat santai memangku kakinya.
“Kubilang lakukan dengan benar,” ucap Yiseo. Terlihat da’danya mengembang saat ia kembali menghela napas. Walau tenggorokannya masih terasa nyeri, tapi Yiseo berhasil menutupinya dengan raut wajahnya yang datar.
‘Tidak ada yang bisa melemahkanmu. Sekalipun kau kesakitan, kau tidak boleh menunjukannya pada orang lain. Ingat jika kau seorang Park Yiseo.’
Kembali gadis itu teringat ucapan ayahnya. Ya. Ayahnya sangat benar. Rasa sakit akan membuatnya lebih kuat jadi Park Yiseo harus bisa menahannya. Sesakit apa pun itu.
“Arrrghhh!” Choi Yong Do meracau kesal. Dia kembali menatap Park Yiseo. “Sudah kubilang untuk tidak menggangguku. Dasar sialan!” teriak Yong Do.
“DUDUK!”
Choi Yong Do tersentak saat mendengar teriakan barusan. Kedua lengannya tersilang di depan d**a, seakan-akan memasang tameng. Untuk kesekian kalinya dia tidak percaya kalau ada manusia seperti Park Yiseo.
Dia benar-benar terlihat seperti seekor singa betina yang meraung-raung karena kelaparan. Bola mata hitam itu menyala, bagai menyemburkan nyala api. Untuk pertama kali dalam hidup seorang Choi Yong Do, dia bertemu dengan seorang manusia yang sudah tidak punya malu. Tidak punya sopan santun dan juga suka memerintah.
“Menyebalkan!”
Dan anehnya, seorang Choi Yong Do juga tidak bisa membantah lebih banyak. Dia selalu saja terkalahkan oleh si kurang ajar Park itu. Tatapan dari iris hitam miliknya mengintimidasi dan membunuh semua keberanian Choi Yong Do. Hingga pria muda itu hanya bisa menggeser kedua kaki dan perlahan-lahan mendaratkan tubuhnya pada salah satu sofa.
Kekuatan yang semenit lalu terlihat bagai singa hutan, kini terkalahkan oleh predator yang lebih kuat. Lelaki muda itu berubah bak anak anjing yang hanya bisa terdiam tanpa bisa menyalak.
Park Yiseo menghela napas lalu mengembuskannya dengan kasar. “Katakan padaku tentang Golden Smart School,” ujar Yiseo begitu santai. Dia kembali membusungkan da’da dan mengangkat dagunya tinggi.
Untuk beberapa saat Choi Yong Do terdiam, lalu perlahan keningnya mulai melengkung ke tengah.
“Hei!” bentak Yiseo.
Choi Yong Do menggerakkan bola matanya menatap si gadis Park yang angkuh itu.
“Kau benar-benar tuli, ya?” Park Yiseo menurunkan kaki hingga terdengar bunyi dari sepatu boots-nya yang mengentak lantai. Ia mencondongkan tubuh dan matanya makin menusuk Choi Yong Do. “Katakan padaku tentang Golden Smart School,” desisnya sekali lagi.
“Aku tidak tahu,” jawab Yong Do. Lelaki itu membuang mukanya ke samping. Emosinya telah mereda, tapi dia harus menghindari kontak mata langsung dengan Park Yiseo agar jangan sampai dia terpancing emosi lagi.
Terdengar decihan halus mengalun pelan dari bibir Yiseo. Dia kembali menarik punggungnya hingga ke belakang. “Kau sekolah di sana, ‘kan?” tanya Yiseo dengan setengah kening yang terangkat. Tampak menghakimi.
“Apa pedulimu.”
“Siapa yang peduli padamu?” Yiseo balik bertanya dengan nada sarkasme.
Choi Yong Do memutar pandangannya perlahan. Tampak kening pria itu mengerucut. Terheran-heran dengan sikap dan ucapan Park Yiseo.
“Aku bertanya soal Golden Smart School. Kau tinggal jawab apa yang kau tahu dari sekolah itu. Kenapa kau jadi merasa aku peduli padamu?” Park Yiseo berucap dengan nada yang membuat Choi Yong Do kesal. Juga tatapan mata bulatnya yang sinis. Choi Yong Do tidak bisa menahan decihan sinisnya. Lelaki itu menggeleng, tak percaya.
“Kau benar-benar gila, ya? Kau itu sakit!” Choi Yong Do menunjuk wajah Park Yiseo dengan kasar, tapi dengan kasar juga gadis itu menepis tangan Yong Do.
“Jawab saja pertanyaanku dan aku akan pergi dari sini. Lagi pula siapa juga yang sudi lama-lama berada di sini sambil menatap wajahmu yang sialan.”
Bola mata Choi Yong Do melebar. “Apa?!” Lelaki itu memekik.
“Ck!” Park Yiseo memalingkan wajahnya ke samping. “Apa susahnya menjawab pertanyaan orang lain, hah? Mengapa aku harus berulang kali mengucapkan pertanyaan yang sama. Kau autisme?” Suara Park Yiseo melengking. Memekakan telinga Yong Do.
Bibir Choi Yong Do jatuh. Oh, ya Tuhan. Dia benar-benar tidak percaya kalau ada yang seperti ini. Lelaki itu bangkit dari tempat duduknya. Kesabarnya kembali menipis. Tanpa peduli lagi dia langsung menarik tangan Park Yiseo lalu menyeret gadis itu keluar dari dalam apartemennya.
“Hei!” pekik Park Yiseo. “Lepaskan tanganku.” Dia terus meronta-ronta, tapi Choi Yong Do tidak peduli. Pria itu juga tidak ingin bicara apa pun karena semuanya percuma saja. Park Yiseo akan terus mengoceh tanpa henti dan satu-satunya jalan untuk mengakhiri semua ini adalah menyeretnya keluar.
Choi Yong Do pun mengayunkan tangannya hingga tubuh Park Yiseo terhuyung, tapi gadis itu masih sanggup menahan berat tubuhnya hingga tak sampai jatuh. Dengan cepat gadis itu memutar tubuh dan melayangkan tatapan penuh kebencian kepada Choi Yong Do. Namun, pria itu juga tidak peduli. Choi Yong Do lebih memilih untuk langsung memutar tubuhnya.
BRAK
Bunyi itu membuat Park Yiseo tersentak, tapi bukannya menyerah saja dia malah bangkit dan menghampiri pintu Yong Do.
“Sialan. Kau pikir kau siapa, hah?!” desis Yiseo. Sambil menggeram, dia pun menekan bel pintu.
TING TONG TING TONG TING TONG
Choi Yong Do kembali menggeram. Dia meremas kepalanya dengan kedua tangan lalu mengacak-acak rambutnya frustasi. Pria itu mendengkus dan berjalan cepat menuju sebuah alat yang terletak tahu jauh dari arah pintu.
Pria itu mencabut colokan listrik yang tersambung dengan kamera pengawas termasuk bel pintunya. Dia menyeringai saat tidak mendengar bunyi berisik itu lagi. Namun, bukannya senang setelah melakukan semua itu, Choi Yong Do malah mendapat kenyataan lebih pahit setelahnya.
Lelaki itu menutup kedua mata. Mengatupkan bibir sambil mengepalkan kedua tangan.
“Errrrggghhhhh!” Choi Yong Do menggeram dengan kuat. “Dasar wanita gila!” teriaknya.
______________