17. One Step to Become a Ruler

1347 Kata
Park Yiseo benar-benar sangat bangga dengan dirinya. Bukan dia yang mendekati Nicholas Hamilton. Namun, pria itu yang datang sendiri pada Park Yiseo. Sebelumnya, Park Yiseo juga tidak tahu siapa Nicholas Hamilton itu. Bahkan Yiseo sendiri berniat untuk tidak menggubris Nick karena tampaknya dia hanya seseorang bermulut besar. Siapa sangka jika akhirnya, tanpa sadar Park Yiseo berhasil membangun relasi dengan satu-satunya murid yang punya kedudukan tertinggi di sekolah ini. Bagai mendapat jackpot, senyum di bibir Park Yiseo tak pernah memudar. Tak ada lagi yang berani memandang rendah seorang Park Yiseo di sekolah ini. Ternyata memang hanya butuh beberapa hari untuk bisa menguasai sekolah bertajuk emas tersebut. Dimulai dari hari ini, semua siswa selalu memandang Park Yiseo dengan tatapan segan. Seketika wajah Park Yiseo berubah tegas. Kesombongannya begitu tampak dari cara matanya memandang sekeliling. Yang benar saja. Yang sedang berjalan di sampingnya itu adalah Nicholas Hamilton. Sambil menyeringai, ia pun memutar pandangannya pada Nick. ‘Well, ternyata semudah itu menundukkan Golden Smart School. Hemm … Nick, mulai saat ini kau masih harus bertahan selama beberapa lama sebelum kau juga akan tersingkirkan,’ batin Yiseo. Bahkan saat memasuki kantin sekolah, semua orang langsung menundukkan kepala mereka saat melihat Park Yiseo dan Nicholas Hamilton. Gadis Korea Selatan itu langsung menjadi pusat perhatian. Di sisi lain, ada seorang siswa yang tidak berhenti menggeram sedari tadi. “Easy, Lucy.” Dan teman-temannya harus berulang kali menggumamkan kalimat tenang untuknya, tetapi semua itu bahkan tidak bisa meredakan amarah yang telah membakarnya dari dalam. “She was slow burned,” gumam Cardi sembari menatap Jase yang sedari tadi mengusap punggung Lucy. “Aku benar-benar tidak bisa menunggu lebih lama lagi,” desis Lucy. Matanya menyipit. Memberikan tatapan tajam pada Cardi dan juga Jase. Napasnya berembus kasar dan kepalan tangannya tidak pernah melonggar sekali pun. “Dia harus habis hari ini.” Lanjut Lucy. “Tapi bagaimana caranya?” tanya Cardi. Gadis itu memutar pandangan ke sekeliling, sekadar untuk mengecek kondisi. Tampak Nick dan Yiseo duduk berdampingan dan jarak tempat duduk mereka cukup jauh dari tempat Lucy. “Ya. Jalang itu bahkan terus menempel pada Nick. Kita tidak bisa menghajarnya jika dia terus bersama Nick,” ujar Jase. Lucy kembali mendengkus. “Aku tidak peduli,” ucap Lucy di antara giginya yang terkatup. “Setelah kelas terakhir, kita tetap harus menghabisinya. Entah di kelas atau di mana pun. Pokoknya aku ingin dia lenyap hari ini juga!” Telunjuk Lucy menekan-nekan ke arah meja. Cardi dan Jase mendesah bersamaan, lantas memutar pandangan pada si gadis yang kini sedang tertawa rikuh di seberang mereka. “Ya,” gumam Cardi. “aku juga makin tidak tahan dengannya.” Lanjut Cardi. Ketiga orang itu benar-benar telah bertekad untuk melenyapkan seorang Park Yiseo. Dan mereka tak bisa menunggu lebih lama lagi. Park Yiseo harus dilenyapkan hari ini juga. Sementara itu, Park Yiseo masih menikmati permainannya sendiri. Untuk membuat relasi semakin kuat, Park Yiseo harus bisa menyesuaikan dengan Nick dan juga teman-temannya. Bukannya Park Yiseo tidak bisa membaca situasi. Jelas-jelas dia tahu kalau Lucy sedang merencanakan sesuatu. Mana mungkin Lucy Banett akan menyerah begitu saja. Terlebih, ketika harga dirinya telah dilukai di kelas musik. Pasti Lucy akan membalas perbuatan Yiseo. Namun, mereka hanya tidak tahu saja kalau Park Yiseo juga sudah mempersiapkan kejutan untuk mereka. “So, tell me about your story,” kata Nick. Memandang Park Yiseo dengan wajah sumringah. “My story?” tanya Yiseo dengan wajah yang tidak kalah sumringah. Nicholas Hamilton mengangguk. “Ya. Tentang dirimu. Maksudku, tentang sekolahmu dulu. Bagaimana gadis-gadis di sana? Apa semuanya mirip denganmu?” Nick menutup ucapannya dengan gelak tawa dan tentu Park Yiseo tahu maksud dari gelak tawa yang lebih menyindir ketimbang memuji itu. “Tidak semua orang terlahir dengan paras cantik,” kata Yiseo. Atensinya terpusat pada salad di piringnya. “Ya,” kata temannya Nick. Namanya Justin. “tapi negaramu kan beda. Terlahir dengan wajah buruk rupa pun bisa jadi cantik asalkan punya uang dan mereka bisa melakukan operasi plastik,” ujar Justin. Sama seperti Nick, dia pu tertawa rikuh. Mencemooh. “Kalian benar,” kata Yiseo. Ia menegakkan badan dan memandang satu per satu lelaki yang duduk di sekelilingnya. “dan tidak ada yang salah dengan itu. Money can buy everything. Semua orang bisa bahagia asalkan mereka memiliki uang. Dan sisanya hanya bisa mencemooh karena mereka tidak sanggup melakukan hal serupa.” Park Yiseo menutup ucapnnya dengan seringaian, lantas beralih melahap makanan sehatnya. Justun memberengut lalu mengangguk-angguk pelan. “Jadi, apa kau juga melakukan operasi plastik?” Park Yiseo tersenyum miring. “Untuk apa melakukannya jika aku terlahir dengan wajah sempurna,” jawab gadis itu begitu percaya diri. Seketika Justin dan dua orang lelaki yang duduk bersamanya bergumam. “Wuw … you so confidence.” “Of course I am,” jawab Yiseo begitu santai. Sesantai ia mengedikkan bahu. “Tapi bagaimana cara mengetahui wajah bekas operasi plastik dan wajah yang benar-benar terlahir sempurnya?” tanya Nick penasaran. “Gampang,” kata Yiseo. Ia pun memutar tubuhnya menghadap Nick. Ada senyum di wajah Park Yiseo sebelum ia melanjutkan, “kau tinggal lihat wajah orang tuanya. Jika ada salah satu dari mereka yang tidak cantik atau tidak tampan, lalu kau melihat anaknya sangat cantik ataupun sangat tampan, maka kau bisa langsung menyimpulkan kalau dia melakukan operasi plastik. Atau ….” Ada jeda pada ucapan Park Yiseo saat ia menunjuk satu per satu orang di depannya dengan alat makan yang berada di tangannya. “Kau juga bisa melihat dari foto masa kecilnya.” Lanjut Yiseo. “Kalau begitu tunjukan pada kami foto masa kecilmu,” kata Justin. “Sepertinya kau sangat ingin tahu,” ucap Yiseo. Justin hanya memanyunkan bibir sambil mengangkat kedua pundak. Park Yiseo pun dengan santai mengambil ponsel dari dalam tas selempangnya. Lantas memberikannya pada Justin. “Kau bisa lihat dari unggahan ibuku,” kata Yiseo. “Hol* sh!t,” gumam Justin ketika melihat wajah ibu Yiseo yang benar-benar begitu cantik. Park Yiseo menunjukan akun iinstagram ibunya untuk membuktikan omongannya. “Ibuku mengunggah semua foto masa kecilku di sana. Kebetulan dia begitu aktif di sosial media.” “Sosialita mother,” gumam lelaki yang duduk di samping Justin dan mereka pun mengangguk. Lantas Justin menyerahkan ponsel Yiseo pada Nick. Mereka berkerumun untuk melihat foto Yiseo. Ternyata dia memang sudah cantik sejak usia belia. Bahkan wajahnya seperti tidak menua. Nick dan teman-temannya harus berkali-kali menatap layar ponsel dan wajah Yiseo untuk mencocokkan wajah foto di akun iinstagram tersebut dan wajah Yiseo. Tampak bibir Nick manyun dan aliasnya melengkung ke atas. Lelaki muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Well … ternyata kau memang cantik dari embrio,” kata Nick. Ucapannya hanya dibalas dengan decihan halus oleh Park Yiseo. Gadis itu kembali mengunyah makannnya. “Oke, aku percaya.” Nick memutar tubuhnya. Pria itu akhirnya bisa berkonsterasi dengan makanan yang sedari tadi telah tersajikan di depannya. “Kalau begitu mulai sekarang kau resmi menjadi anggota klub,” kata Nick. Park Yiseo mengernyit. “Klub?” tanya Yiseo. “Ya. The Nudes. Sekarang kau bagian dari kami,” ujar Justin. Park Yiseo mengerutkan kening, sedikit bingung. Nama klub mereka memang sedikit aneh. Seakan tak seimbang dengan citra sekolah. ‘The Nudes? Apa mereka tidak bisa mencari nama lebih bagus? Namanya lebih terdengar seperti muntahan anj’ing,’ batin Yiseo. “Ada apa?” Park Yiseo bergeming saat mendengarkan suara Nick. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk memikirkan semua itu. Apa pun nama klub itu, bahkan walau terdengar seperti muntahan anj’ing sekalipun, Park Yiseo harus bisa memanfaatkan keadaan lebih baik lagi. “Ah tidak,” ucap gadis itu. Secepat kilat ia kembali memasang tampang sumringah. “Aku hanya tidak menyangka kalau kalian akan menerimaku.” Justin dan Nick kompak terkekeh. Mereka saling memandang lalu menggoyangkan kepala. “Tidak perlu sungkan. Aku memang suka jika ada gadis di dalam klub,” ujar Nick. Lelaki muda itu menarik sudut bibirnya ke atas dan untuk pertama kalinya Park Yiseo melihat senyum miring Nick. ‘Hemm … jangan kau pikir kau bisa memanfaatkan aku, Nick. Kau dan teman-temanmu hanyalah kawanan kecowa yang menanti waktu yang tepat untuk dimusnahkan.’ Park Yiseo ikut menyeringai. Siapa menipu siapa. Hasilnya akan segera kelihatan. ______________
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN