Confused

1091 Kata
Situasi semakin memburuk. Tak ada yang memulai untuk menghentikan si pelaku. Aku sendiri bukan tak ingin, hanya malas menghadapi apalagi menjadi pusat perhatian semua orang. Dan pahlawan mereka akhirnya datang. Polisi muda itu datang dengan sepotong roti yang menempel di mulutnya. Aksi yang konyol sekali. Mereka hanya sedang berkejar-kejaran lalu kekacauan sampai di koridorku. Semuanya menjauh dan tak ada yang mencoba untuk membantunya hingga pelaku sampai ke tempat tidurku karena terjatuh. Dia mencoba untuk melukaiku, namun dengan sigap Irene menangkap tangannya dengan pukulan di pergelangan tangan yang berfungsi untuk menurunkan pisau tersebut. Dan Irene berhasil. Pisau itu terjatuh dan dengan cepat ditendangnya. Tak rela dengan perbuatan Irene tersebut, penjahat itu mulai melayangkan tinjunya namun sekali lagi bisa Irene cegah dengan menarik, memiting lalu menjatuhkannya kearah depan persis seperti ilmu beladiri Judo. Aku terkesima dengan aksinya dan itu diapresiasi oleh polisi tersebut. Yang kuketahui dia adalah Bobby, rekan dari tunangannya sendiri. "Kena kau! Kau hebat kakak ipar!" puji Bobby yang ditanggapi dingin oleh Irene. Gadis itu lantas pergi meninggalkan kami semua. Membuatku semakin penasaran, mengapa dia tampak berbeda hari ini. # "Tadi itu keren sekali kan?" lanjut Dara yang kini menjadi supirku untuk membawaku kembali ke rumah. Aku ingin bertanya tentang Irene yang tiba-tiba menghilang. Tapi ternyata pertayaanku sama seperti yang Alice utarakan. "Entah kemana dia pergi. Hari ini Irene tampak berbeda." "Apa maksudmu?" tanya Dara ikut penasaran. "Entahlah. Sejak berangkat ke rumah sakit, dia terus diam saja." "Mungkin dia ada masalah di rumah?" terkaku. Alice membantah hal itu karena dia melihat sendiri bahwa tunangannya yang mengantarkannya ke rumah sakit. "Tapi kita tidak tahu apa yang terjadi di dalam mobil?" "Kau benar juga Dara." Jadi...mereka bertengkar? Cerita yang menarik. Aku sampai di apartemen dan atensiku langsung mengarah ke lantai rumah milik Irene. Tampak kosong karena tak ada lampu yang dinyalakan. Kucoba untuk menghubunginya, nomornya juga tak dapat dihubungi. Mungkin ada sesuatu, tapi apa? Kenapa aku jadi kepikiran? Suara tangis anak kecil menginterupsiku. Dia tengah dimarahi oleh seorang lelaki yang kuasumsikan adalah ayahnya. Aku pergi mendekat untuk mendengarkan secara seksama apa yang tengah mereka diskusikan. Ternyata sang anak tengah minta dibelikan es krim namun sang ayah menolak. Lelaki itu terus merutuk bahwa ia bukan ayahnya dan meminta anak itu untuk tidak merengek padanya. Hatiku memanas. Aku pernah menjadi anak tersebut dengan ayah tiri yang sama sekali tak pernah menyukaiku. Tangannya besar bisa kapan saja menghantam kepalaku ke dinding. Bekasnya pun masih ada hingga menjadi luka permanen di sana. Seperti yang pernah kuceritakan bahwa aku selalu diperlakukan buruk oleh ibu kandungku sendiri. Padahal saat ayah kandungku masih ada, ibu adalah sosok perempuan yang sangat hangat. Tuntutan hidup yang membuatnya menjadi pecandu dan menikah lagi dengan laki-laki yang salah. Hingga sosok ibu yang hangat itu lenyap dan tak membekas. Puncaknya, ibu menjadi pengedar di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Kemudian ikut menyicipi hingga membuatnya menjadi pecandu. Bodoh. Aku pikir ibuku adalah orang yang bodoh dalam memilih. Tapi apa yang bisa kulakukan, semua sudah terlambat. Ayah tiriku bahkan lebih buruk darinya. Aku benci dia karena telah merusak semua kehangatan di keluarga kami. Akhirnya aku mengikuti anak dan orang tua itu dari belakang. Mereka pergi naik ke apartemen dan bisa kulihat di sepanjang perjalanan bahwa anak tersebut terus mendapat perlakuan yang kasar. Padahal dia baru berumur lima tahun, apa salahnya membelikannya es krim? Anak-anak tetap saja anak-anak. Mereka tak pernah tahu apa yang sudah orang dewasa lakukan terhadapnya. Perasaan anak-anak sangat tulus. Walau mereka dimarahi ataupun dipukul, mereka hanya akan kembali pada orang tuanya sambil memeluk mereka. Seolah berkata, "Aku baik-baik saja. Ibu/ayah..jangan marahi aku." Tapi orang tua selalu melakukannya lagi dan lagi. Padahal mereka hanya anak-anak yang belum bisa membedakan itu semua. Orang tua hanya menuntut tapi tak pernah menjadi atau memikirkan pola pikir mereka yang masih ingin bermain dan mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Tapi sering kali orang tua menganggap anak mereka bodoh dan membuat kekeliruan. Orang dewasa tak pernah belajar dari cara anak-anak berpandangan. Memaafkan dengan tulus itu adalah kemuliaan makhluk sekecil itu. Seperti anak perempuan itu. Meski sepanjang jalan dia diacuhkan oleh ayah tirinya, anak itu tetap saja mengoceh dan bahkan tersenyum pada ayahnya. Apakah hati orang tua terbuat dari batu mengapa mereka tak bisa untuk tak menahan diri dari memarahi mereka dengan keras? Mereka hanya anak-anak. Yah..mereka hanya anak-anak. Mereka sampai di depan apartemen. Lalu aku mendekat untuk menghampiri. Kulihat seorang wanita muda memeluk anaknya dengan erat lantas mengucap rindu. Dia begitu bahagia melihat suaminya itu bisa menggantikan perannya. Ck. Aku benci wanita sepolos itu. Yang langsung tak menyadari sekitarnya. Kudekati lantas mereka memperhatikanku. Tidak banyak yang kukatakan tapi aku hanya menunjukkan pada wanita tersebut lewat sebuah video. Tentu saja, keduanya bingung. Tapi saat video terputar, barulah sang wanita terperanjat. Dia menyaksikan dengan seksama rekaman anaknya dipukuli dan ditendang sesaat sebelum mereka naik ke atas. Pria tersebut berang. Menarik kerah kemejaku lantas memberikan satu bogem mentah padaku. Aku menyeringai sambil membuang ludah padanya. Pria sepertinya harusnya kupanggang hidup-hidup. "Kau benar-benar memilihnya sebagai suami? Tidakkah kau kenali dia lebih baik lagi?" ucapku yang membuat wanita itu histeris sambil memukul suami barunya dari belakang. Pria tersebut berang dan langsung mengeluarkan kata kasar. Membela diri dengan mengatakan bahwa ia tak sengaja melakukan hal itu. Cekcok pun tak dapat terelakkan. Aku dan si anak kecil yang manis itu hanya bisa menonton pertikaian mereka yang saling membalas argumen masing-masing. "KAU PEMBOHONG! KAU BILANG AKAN MENYAYANGI PUTERIKU SEPERTI ANAKMU SENDIRI. NYATANYA KAU JUGA b******k!" "APA KAU TAHU BAHWA AKU LELAH MENGURUSNYA DAN KAU HANYA SIBUK BERMAIN DENGAN PONSELMU ITU!" "AKU TAK PEDULI! SEBENARNYA AKU LEBIH BAIK SENDIRI SEPERTI DULU." Pertikaian ini berakhir dengan sang wanita masuk ke dalam rumah dan tak membiarkan si pria masuk. Aku tidak tahu seperti apa kelanjutan dari cerita rumah tangga mereka yang jelas, aku masih punya urusan dengan pria ini. Dia jelas-jelas memberikanku bogem mentah dan aku belum membalasnya. Mata dibalas mata. Seperti itulah yang dikatakan sebagai keadilan. Kami berkelahi. Tak tahu kapan akan berakhir. Yang pasti adalah kami saling serang dan pukul cukup seri. Entah apa yang terjadi padaku. Bagiku semua ini bagian dari pelampiasanku yang menguap. Mungkin baginya juga sama. Aku tak bisa menahan diri untuk tak tertawa saat melihatnya jatuh dengan wajah yang penuh dengan darah. Kalau saja tak ada yang datang untuk menghalau, aku sudah menggorok lehernya. Kami berakhir di kantor polisi dengan wajahnya yang remuk itu. Aku tertawa lagi seolah tak akan pernah habis. Dalam sehari aku sudah dua kali ke kantor ini. Pertama tentu saja memberi keterangan tentang seseorang yang menyerangku pagi tadi. Lalu sorenya, aku menghajar pria ini. Polisi muda yang menangani kasusku tadi pagi pun terheran melihatku. Tapi aku tak peduli karena atensiku mengarah pada yang lain. Pria yang tengah berdiri dan berbincang dengan Irene lebih menarik perhatianku. Dan selalunya jika melihat mereka...perasaanku pasti berubah menjadi panas. Apa sebenarnya yang terjadi padaku ini? Apa aku benar-benar menyukai gadis itu? . . bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN