Mendekam selama 2 jam di penjara cukup membuatku engap. Berkumpul dengan penjahat kelas teri lainnya cukup juga membuatku ingin tertawa terpingkal. Apa yang mereka lakukan masih belum separah perbuatanku.
"Gerald Cartner! keluarlah!"
"Bagaimana denganku?" teriak si ayah tiri yang tak terima.
Polisi tak ingin menggubrisnya dan langsung membawaku ke ruang investigasi dan merangkap sebagai kantor pelapor. Di sana berdiri Mino yang tak terkejut melihatku 2 kali keluar masuk kantor polisi hanya dalam beberapa jam saja.
Dengan ramah dia mengulurkan tangannya lalu memintaku menandatangani bukti bebas dari tuduhan.
"Sepertinya kau betah di sini tuan Gee," sindirnya.
Aku membalasnya dengan cengiran, "Kau tahu..terkadang penjahat besar bukan takut di penjara. Karena mereka sudah biasa bolak-balik ke sini jadi penjara tak semenyeramkan itu."
"Ahh. Penjara itu? Tentu tidak seram untukmu. Lain kali aku akan membawaku berkeliling ke penjara paling menakutkan di kota ini. Atau mungkin se-negara bagian."
Aku terdiam ketika Irene menghampirinya. Gadis itu berbisik lalu pergi. Entah apa yang dia katakan, yang pasti Mino tak lagi membahasnya.
"Kasusmu sudah selesai. Kau hanya perlu melapor seminggu sekali dalam sebulan ini," terang Mino yang kembali mengulurkan tangan.
Aku membalasnya sambil mengikuti caranya mencengkram tanganku kuat.
"Jangan kembali lagi Gerald. Jika kau kembali lagi..aku tak yakin kau bisa keluar dari sini," ucapnya penuh penekanan.
Kata-katanya cukup membuatku terhenyak.
"Baik. Aku akan ingat itu."
"Selamat tinggal."
Aku bergegas mengambil mantelku dan pergi keluar dari kantor yang penuh dengan asap rokok itu. Mengejar Irene yang sudah duduk di halte bus untuk menunggi taksinya.
Aku mendekat dan dia menyadari kehadiranku. Irene menahan diri untuk tak menoleh. Aku tahu itu. Karena jika dia menoleh, kami pasti akan saling bersitatap.
"Kau terburu-buru kemari dan tak menyetir mobilmu sendiri?" ucapanku diacuhkannya.
Baiklah. Aku akan sabar menghadapinya untul sekarang. Tapi nanti..jangan harap akan demikian..
"Ya," jawabnya singkat.
"Apa kau tengah mengabaikanku?" tanyaku to the point.
Irene langsung terdiam. "Jika kau diam saja itu artinya iya."
"Kenapa kau menyerang pria itu?"
"Karena dia jahat pada anak tirinya -"
"Apa kau mengenal keluarga mereka dengan dekat?"
"Mereka tetanggaku. Tentu aku -"
"Jose dan Dara saja bilang bahwa kau antisosial yang bahkan tak mengenal siapa tetanggamu. Jadi menghajarnya itu sebuah kebetulan?"
Tepat.
Tepat sekali. Bagaimana dia bisa tahu? Apa menjadi kekasih dari seorang detektif akan membuatnya menjadi pintar dan seteliti itu?
Lalu bagaimana jika kekasihnya adalah psikopat? Apa dia juga akan menjadi sama seperti psikopat?
Aku membungkukkan badan untuk menyejajarkan tubuhku padanya. Irene menatapku tepat di mata. Ia tampak serius sekali tanpa senyuman manis yang biasa ia torehkan di bibir merahnya itu.
Aku berharap bisa menyicipinya sekali lagi. Tapi sepertinya, momennya belum tepat.
"Ya."
Irene semakin mendelik. Seperti ada yang ingin dia katakan. Namun tertahan di bibirnya.
"Terima kasih sudah membelaku -"
"Aku hanya kebetulan berada di sana, jawbanya tegas.
Aku tersenyum geli. Mengapa jika Irene tengah berbohong dia akan terlihat menarik?
Taksi pun datang. Dia langsung beranjak sambil membuka payungnya. Malam ini hujan begitu lebat. Dan aku lupa membawa payung. Irene yang tadinya sudah melangkah tanpa berpamitan padaku, kini berbalik sambil menawarkanku tumpangan.
Aku tahu dia akan melakukan ini.
"Mau ikut sekali?"
"Sure. With my pleasure."
Di dalam taksi pun kami tak saling bicara. Hanya menikmati suara hujan yang mengetuk-ketuk kaca mobil. Sesekali aku menutup mata membayangkan, ketika menghabisi korban pertamaku - Hilda Kein. Hujan deras ditemani oleh petir, aku mengejarnya seperti tengah berburu rusa di dalam hutan.
Dia ketakutan namun tak berdaya untuk berteriak. Hujan sederas ini, penghuni gedung yang ramai dengan para penikmat musik dj itu tentu tidak akan mendengarnya
Aku membunuh Hilda sebab dia meninggalkan anaknya sendirian di dalam rumah. Kelaparan dan kedinginan, namun ibunya malah bersenang-senang di bar. Aku membunuhnya saat ia tehuyung-huyung keluar dari sana. Kucekik namun akhirnya dia berhasil kabur. Aku mengejarnya hingga ia terpeleset oleh sepatu hak tingginya itu. Dia tersudut dan semakin tak berdaya saat aku cekik untuk yang kedua kalinya. Kubuat tak sadarkan diri kemudian selanjutnya kubawa ke tempat eksekusi.
Esoknya dia sudah ada lagi di sisi anaknya. Kemudian anak itu kubawa ke panti asuhan. Kini dia takkan kelaparan lagi. Anak itu pasti senang karena tak bersama dengan ibu seperti itu.
"Di rumah sakit..saat kau melihat penyaderaan seorang dokter itu, aku mendengarmu mengatakan sesuatu."
Irene akhirnya menoleh padaku. Memberi perhatian dengan pertanyaan yang ingin aku tanyakan padanya.
"Kenapa kau mengatakannya pecundang? Atau itu untuk petugas keamanan di rumah sakit?
"Bukan padanya, tapi pada penyandera."
"Hm? Kenapa?"
"Dia menyerang dokter yang sudah merawatnya dengan baik. Tindakan itu membuatnya seperti pengecut."
"Itu bukan tindakan pengecut, hanya ingin meluapkan apa yang selama ini dia pendam," ujarku yang tampakntya tak mendapatkan persetujuan dari Irene.
Gadis itu menoleh ke jendela lagi tanpa mengatakan apapun. Selang beberapa lama dia akhirnya berucap lagi.
"Apa..melampiaskan seperti itu akan membuatmu membaik?"
"Tentu. Ada sesuatu hal yang tak bisa kita tahan."
"Nafsu?" potongnya.
Aku tergelak. "Itu termasuk. Salah satunya nafsu untuk menjadi monster."
"Mo..monster?"
Aku menyeringai sambil memperhatikan wajah terkejutnya. Ku nikmati caranya memahami perkataanku lantas menunggu tanggapannya lagi. Namun sampai di apartemen, Irene kembali tak mengatakan apapun.
Keheningan inipun berlanjut sampai ke dalam lift. Memisahkan kami berdua di lantai apartemen masing-masing. Aku pikir Irene takkan lagi penasaran, namun tampaknya dia masih ingin melanjutkan pembicaraan tadi.
"Apa tidak ada penyesalan setelah itu?"
#
Karena aku teringat tentang Hilda dan anaknya tadi malam, aku teringat untuk pergi ke panti. Pergi ke sana hanya membutuhka waktu sekitar sejam jika menaiki mobil pribadi. Tempatnya yang dekat dengan hutan dan pegunungan, membuat siapapun yang kemari pasti akan langsung teringin untuk ke danau.
Seperti biasa, aku akan disambut oleh pengurus dan anak-anak yang "kuselamatkan" di sana. Salah satunya anak Hilda yang kini sudah lebih gemuk dengan rambut yang tertata.
Bukankah aku benar bahwa dia akan terurus daripada dengan ibunya?
"Bagaimana kabarku Anne?"
Gadis kecil itu mengangguk sambil memainkan boneka yang baru kubelikan untuknya. Karena sudah lama tak kemari, banyak juga yang berubah dari tempat ini. Terutama bangunannya yang menambahkan gereja di sana.
"Paman, belakangan ini aku rindu mama -"
Mama? Perempuan yang dia sebut mama itu sudah tiada, gumamku.
"Kenapa? Bukannya Mama pernah melupakanmu?" bisikku tak terima mendengarnya merindukan wanita itu.
"Iya..tapi malam itu, Mama bekerja untuk membeli roti. Mama bilang dia harus kerja agar bisa membelikanku roti. Mama baik. Aku rindu mama, paman. Aku rindu dia."
Kenapa...
Kenapa anak ini merindukan orang tua yang sudah menelantarkannya?
"Jangan bunuh aku tuan."
Aku mencekiknya walau dia terus memohon.
"Ada anakku di rumah yang menungguku pulang."
Aku yang dibutakan oleh nafsu monster di dalam diriku, masih terus menekan rongga pernapasannya.
"Dia sedang kelaparan. Aku mo..hon ja..ngan bunuh a..ku."
Tapi aku tak mengendahkannya dan dia berakhir di panggangan.
#
"Apa tidak ada penyesalan setelah itu?" tanya Irene penuh selidik. Aku memikirkannya dan selama ini aku tak pernah menyesali menjadi monster.
Tapi kenapa..mendengar alasan Anne merindukan ibunya, aku..merasa sakit?
Apa aku menyesal?
.
.
bersambung