Kabar duka untuk Bening dan Diraga

1049 Kata
Setelah pertengkarannya dengan Bening, Diraga tak kembali kerumah Bening. Ia menghabiskan waktu sendirian untuk menenangkan pikirannya di rumahnya sendiri. Saat sampai, ia mendapatkan kabar bahwa Bening telah menjemput adik-adiknya dan pulang bersama pak Sukri ke rumah mereka. Diraga tak bisa tidur semalaman. Hatinya kesal, marah, gelisah dan kalut memikirkan pertengkarannya dengan Bening. Ucapan Bening yang mengatakan bahwa ia merasa jijik pada Diraga membuatnya sangat kesal dan marah sekaligus terluka. Tak pernah sekalipun ada perempuan yang mengatakan jijik pada Diraga bahkan kebanyakan dari mereka merasa tergila-gila. Diraga hanya bisa menahan rasa marah karena ucapan kasar Bening dan berencana untuk mengklarifikasi ucapan Bening padanya. Tentu saja ada rasa bersalah dihati Diraga. Ia mengerti bahwa Bening pasti sangat marah dan kecewa melihat sikap Amelia padanya dan bisa jadi akan membuat Bening menggunakan alasan itu untuk berpisah. Diraga mendengus kesal, apapun yang terjadi Ia tak akan membiarkan Bening untuk mendapatkan keinginannya yaitu berpisah darinya. Dering handphone terdengar begitu nyaring membangunkan Diraga sampai pria itu hampir melompat duduk. Sinar matahari yang menembus jendela kamarnya menunjukan ia sudah begitu terlambat. Diraga melihat panggilan itu berasal dari Mariska. Moodnya yang belum stabil membuatnya malas untuk mengangkat walau Diraga melihat Mariska sudah beberapa kali melakukan misscall. Pria itu akhirnya memutuskan untuk mandi lalu menyegarkan dirinya dengan membuat secangkir kopi. Lagi-lagi Mariska menghubunginya dengan rasa malas Diraga mengangkatnya. “Gimana sih kamu?! Dari tadi mbak hubungi gak diangkat terus!” Suara Mariska terdengar sangat gusar ketika mendengar Diraga mengucapkan salam. “Apaan sih nih?! Pagi-pagi udah marah-marah?” balas Diraga tak kalah sengit karena kesal langsung dimarahi kakak sepupunya. “Bening keguguran! Tadi dia jatuh pingsan di kantor! Kamu cepat kesini, mbak sudah mengirimkan alamatnya!” Prang! Cangkir kopi di tangan Diraga jatuh tak terasa saat mendengar ucapan Mariska. Tubuh Diraga terasa gemetar dan segera mencari kunci mobil dan berlari menuju mobilnya. Dengan perasaan kacau dan kalut Diraga mengendarai mobilnya tak menentu. Keguguran? Mengapa ia tidak pernah tahu kalau Bening hamil? Ada rasa sakit di dadanya saat seharusnya ia merasa bahagia tapi sekaligus duka. Di tempat lain, dirumah sakit Bening baru saja tersadar dari anestesi. Ia berusaha untuk mengumpulkan nyawa dan pikirannya dengan mengingat apa yang terjadi. Sejak semalam perutnya sakit sekali, ia sampai minum obat penahan rasa nyeri karena berpikir bahwa ia hanya akan menstruasi yang beberapa bulan ini tak lancar. Bening masih berusaha berangkat ke kantor seperti biasa, tapi karena tubuhnya benar-benar terasa tak enak ia meminta tolong pak Sukri untuk mengantarnya setelah mengantar adik-adiknya. Sesampainya di kantor, perutnya semakin sakit sampai tak tertahankan lagi dan membuatnya pingsan. Bening baru tersadar saat sudah berada di rumah sakit yang tak jauh dari kantornya berada. Mendengar penjelasan dokter bahwa ia keguguran membuat hatinya mencelos. Ia tak pernah menyadari bahwa dirinya tengah hamil dan kini berita yang ia terima adalah bahwa ia kehilangan janinnya yang telah berusia 16 minggu. “Kamu sudah sadar Ning?” sapa seseorang membuat Bening menoleh ke arah suara. Ia melihat Mariska berada disisinya dan mengelus rambutnya lembut. Bening hanya diam dan perlahan mencoba untuk duduk. Ada sedikit rasa ngilu terasa dari dalam perutnya tapi Bening mencoba menahannya dan berusaha berdiri. “Mau kemana Ning? Kamu belum pulih benar!” tanya Mariska ketika melihat Bening mencoba untuk berdiri dan mengganti pakaiannya. Wajahnya masih terlihat sangat pucat dan lemas. “Saya mau pulang mbak,” jawab Bening dengan suara sangat pelan. “Kok pulang?! Sebentar lagi Diraga datang … ayo, kembali berbaring!” suruh Mariska cemas. Tapi Bening yang masih terlihat linglung tetap mencoba mengganti pakaiannya. Tiba-tiba seseorang masuk ke dalam kamar rawat inap itu dan terlihat Diraga yang masuk ke dalam ruangan dengan wajah merah padam. Melihat suaminya, Bening bergerak mundur dan memeluk pakaiannya erat dengan takut. “Kamu?!” Diraga berkata tapi tak meneruskan ucapannya saat melihat dan mendekati Bening yang tampak takut padanya. “Kenapa? Kamu mau menyalahkan aku juga karena aku tak tahu bahwa aku hamil dan sampai keguguran? Iya, Mas! Aku salah! Aku salah karena tak sadar kalau aku sudah hamil dan tak menjaga janinku dengan baik!” ucap Bening pelan dan geram. Tatapan takutnya kini berubah menjadi tatapan tajam pada Diraga. “Bicara apa kamu Ning?! “ tegur Mariska terkejut mendengar ucapan Bening pada Diraga. “Tak ada yang benar dalam hidupku! Itu kan yang mas Diraga mau bilang?!” ucap Bening mulai meninggi. Entah mengapa melihat Diraga membuat Bening kembali merasa marah sekaligus tak berdaya dihadapan suaminya. Ia merasa frustasi karena apapun yang dilakukannya terasa tak ada yang benar. Diraga hanya diam dan memeluk Bening perlahan. Bening berusaha menepis tangan Diraga di tubuhnya tapi suaminya itu tetap memeluknya erat. “Gak usah peluk aku!” tolak Bening kesal. Diraga tetap diam dan tak bergeming dengan usaha Bening yang mencoba melepaskan diri dari pelukannya. Suara tangis bayi yang baru lahir dari ruangan samping membuat Bening terdiam mematung. Dadanya terasa sakit, seharusnya ia bahagia karena ia akan menjadi seorang ibu tetapi disaat yang sama ia kehilangan calon bayinya. Diraga mencium ubun-ubun Bening dan mengusap punggung istrinya lembut sambil berbisik, “Sabar ya Ning, belum rejeki kita…” Tangisan Bening meledak di dalam pelukan Diraga, ia menangis pilu dan meremas pakaian suaminya. “Mass… aku mau bayiku… aku mau bayiku…” Diraga memeluk Bening semakin erat. Tak hanya Bening yang terluka tapi juga dirinya. Mereka berdua tengah kehilangan buah hati mereka. Diraga menggendong Bening dan membaringkannya di atas ranjang saat sampai kerumah. Bening bersikukuh tak ingin dirawat inap dirumah sakit, ia hanya ingin pulang dan memulihkan dirinya dirumah. Diraga pun meminta dokter untuk mengabulkan permintaan Bening. Selama perjalanan dan sesampainya dirumah, Bening hanya diam dan mengatakan apa-apa. Jiwa raganya tengah terlalu lelah untuk bersuara. Melihat kakaknya berbaring tak berdaya membuat Lembayung dan Banyu menangis sambil memeluk Bening. “Mbak, maafin lembayung ya…” ucap Lembayung lirih sambil menangis. “Loh, kok Lembayung minta maaf?” tanya Bening sambil mengelus rambut adik perempuannya. “Pasti gara-gara ngurus Lembayung dan Banyu, mbak Bening jadi kecapean dan keguguran,” ucap Lembayung merasa bersalah. Bening menggelengkan kepalanya cepat sambil menghapus air mata Lembayung. “Kalau gak ada Lembayung sama Banyu, mbak pasti akan lebih sedih lagi. Kalian berdua adalah alasan mbak untuk bertahan,” ucap Bening lirih. Air matanya mengalir pelan karena sedih dan terharu dengan perkataan Bening. Ketiga kakak beradik itu saling berpelukan erat saling menguatkan satu sama lain. Karena hanya itu yang mereka miliki.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN