2. Talak

828 Kata
Dania masih diam membeku, sedikit pun tak bergerak dari tempatnya. Menatap kosong pintu kamar yang tidak tertutup setelah suami keluar dari sana. Apa yang dikatakan pria itu membuat otaknya tidak bisa bekerja dengan baik. Semuanya seperti mimpi di siang bolong. Tetapi sakit di hati yang ia rasakan saat ini terasa begitu nyata. Untuk beberapa saat ia masih diam tanpa melakukan apa pun, hanya ada setitik cairan bening yang turun dari sudut mata. Entah apa yang harus ia lakukan saat ini. Namun Dania kemudian beranjak dari tempat tidur karena harus membuat sarapan untuk suaminya. Meski kadang makanan yang ia siapkan sama sekali tidak disentuh tetapi ia selalu menyediakannya. Barangkali suami berkenan mencicipi. Cukup lama Dania duduk menunggu Damar di kursi makan setelah selesai membuat sarapan hingga akhirnya pria itu muncul dan berjalan menghampiri. Damar memilih kursi yang berseberangan dengan sang istri tetapi tidak berhadapan langsung. Dania tersenyum senang karena suaminya mau mencicipi sarapan yang sengaja ia siapkan. Bahkan terlihat begitu menikmatinya. Meski beberapa saat yang lalu pria itu bersikap tidak baik tetapi ia tetap senang melihat suaminya makan dengan lahap. Beberapa menit mereka habiskan untuk makan bersama dalam diam, hanya ada suara denting sendok yang beradu dengan piring keramik. Selesai makan, Damar mengalihkan tatapan pada sang istri. Beberapa saat ia menatap wanita itu untuk memastikan bahwa Dania pun telah selesai dengan sarapannya. "Ayo, kita berpisah!" 'Deg!' Untuk kedua kalinya Dania kembali membeku ketika mendengar perkataan suami. Apa lagi ini? Baru saja ia merasa senang karena suami mau penyantap sarapan yang ia siapkan, tetapi kejutan lain ia dapatkan setelahnya. "Dania Adinda, aku mentalak kamu, mulai saat ini kamu bukan lagi istriku!" imbuh Damar dengan tegas, tanpa basa-basi, tanpa menunggu tanggapan istrinya. Bagaikan disambar petir bagi Dania saat ini. Dunianya seakan runtuh seketika. Baru tadi malam ia menanam harap untuk kehidupan rumah tangga yang lebih baik tetapi pagi ini semuanya hancur. Tanpa terasa air sudah menggenang di pelupuk mata, sekali saja Dania berkedip, cairan bening itu pasti mengalir deras. Tetapi sebisa mungkin ia tahan. "Aku akan memberi apa yang kamu mau sebagai kompensasi. Tapi, kamu harus terlihat bersalah di depan orang tuaku," ujar Damar lagi. Tidak peduli apa yang istrinya rasakan saat ini . Dania mengusap pipi yang basah oleh air mata dengan segera ketika pria itu menunduk menatap meja makan. "Apa maksud Mas?" "Aku akan bilang sama papa dan mama kalau kamu memiliki pria lain sebagai alasan perpisahan kita," jawab Damar. Dania tersenyum sinis, sedikitpun tidak pernah menyangka bahwa ternyata pria yang menikahinya adalah pria licik yang dengan seenaknya melimpahkan kesalahan padanya. Ternyata kesabaran selama ini hanyalah sia-sia. Ia menyesal telah memilih bertahan padahal Damar selalu mengacuhkannya. Sekuat yang ia bisa, Dania berusaha untuk terlihat tegar meski hatinya porak-poranda. Tidak ingin terlihat lemah. "Kalau Mas punya syarat, aku juga punya permintaan." Danar terkekeh, mengejek. "Permintaan? Apa? Katakan aja berapa yang kamu minta? Atau kamu mau barang? Perhiasan, mobil, rumah, saham? Atau mau semuanya? Bilang saja, akan aku berikan. Ternyata kamu sama saja dengan perempuan lain yang menginginkan kekayaan," cemoohnya, mengambil kesimpulan sendiri. Dania menarik sebelah sudut bibir. Hatinya semakin perih mendengar perkataan pria itu yang merendahkannya. Hanya sebatas itu kah ia di mana pria yang kini telah menjadi mantan suaminya tersebut? "Aku gak butuh semua itu!" tegas Dania. Damar mengernyit. "Lalu?" "Aku hanya ingin Mas urus perpisahan kita secara hukum. Aku ingin status yang jelas. Soal alasan perpisahan yang mau Mas berikan ke papa dan mama, aku gak peduli sekalipun Mas membuat aku terlihat burruk di mata mereka, terserah." Nada suara Dania terdengar datar, tatapan yang biasanya hangat pun kini menjadi dingin. Ia sudah mati rasa setelah pria itu menghancurkan hatinya. "Baik. Aku akan minta pengacara untuk mengurus semuanya hari ini juga," angguk Damar, jika hanya masalah surat menyurat, ia bisa mengurusnya dengan cepat. Apa sih yang tidak bisa dilakukan jika ada uang? "Antarkan secepatnya ke kontrakan. Aku akan kembali ke sana hari ini juga," balas Dania. "Aku gak keberatan meskipun kamu tinggal di sini sementara sampai urusan surat menyurat selesai. Aku jadi gak usah repot-repot pergi ke kontrakan kamu." "Aku gak bisa tinggal satu atap dengan laki-laki yang bukan mahramku," sahut Dania kemudian bangkit berdiri dari kursi makan. "Kamu mau ke mana? Pulang sekarang?" tanya Damar. "Beres-beres. Tapi Mas tenang aja, aku gak akan bawa satu pun barang pemberian Mas," jawab Dania kemudian berlalu begitu saja meninggalkan mantan suaminya. Dania mempercepat langkah seiring desakan air mata yang sedang berlomba untuk segera keluar dari tempatnya. Gegas masuk kamar dan menguncinya. Dengan punggung menempel di pintu, ia merosot hingga terduduk di atas lantai, napasnya tersengal-sengal karena menahan luapan emosi yang sejak tadi hampir meledak. Dania memeluk lututnya sendiri sembari menangis tertahan karena takut suaranya terdengar hingga ke luar. Beberapa saat kemudian, dengan tertatih ia kemudian bangkit, menyeret kakinya menuju kamar mandi yang ada di kamar itu. Di sana lah tangis Dania pecah diiringi suara air mengslir dari keran wastafel. Sementara Damar masih duduk di kursi makan. "Apa gak salah, dia cuma minta surat cerai dan gak minta apa-apa? Aneh banget," gumamnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN