Ngudi Waluyo--Raka

1075 Kata
Raka terlihat kebingungan apalagi sosok-sosok hantu yang mengganggunya masih teringat dengan jelas dalam ingatannya, seakan mereka mengawasi gerak-geriknya. “Dok, ini pertama kali saya kemari, semoga Dokter Diah benar-benar bisa membantu saya.” Raka berharap penuh dengan kehadirannya ke Magelang bisa membantunya untuk mengusir para hantu. “Saya akan mencoba membantu dengan syarat. Katakan yang sebenarnya apa yang Anda lakukan selama ini.” “Hantu hutan larangan, Dok. Hantu itu peliharaan papa saya sepertinya. Entah sejak kapan saya tidak tahu,” terang Raka sembari pandangannya mengedar ke seluruh ruangan karena ia takut jika sosok menjijikkan itu mengawasinya. “Jangan takut, dia tak akan berani ke sini." Dokter Diah beranjak dari duduknya ia melangkah menuju dispenser yang terletak di samping lemari belakang kursinya. “Itu semua karma yang harus kamu bayar. Minumlah semoga air ini bisa membantu menenangkan dirimu,” ucap Diah. Perlahan Raka membuka genggaman tangannya yang sedari tadi mengepal. Dengan gemetar ia mengambil gelas berisi air putih yang Dokter Diah letakkan di meja. “Karma! Maksudnya, Dok?” tanya Raka. Perlahan ia menyeruput air putih hingga tersedak. “Karma keluargamu dan mau tidak mau kamulah yang memiliki pilihan. Akan berhenti dengan risiko nyawamu sendiri, ataukah kamu akan bertahan dengan menerima karma leluhurmu sebagai penerus perjanjian mereka dengan sosok hantu larangan yang kamu sebutkan tadi.” Raka terdiam karena pilihan ada di tangannya. “Saya ke kamar mandi sebentar,” ucap Diah. Raka yang masih bergidik ketakutan menatap sebuah gelang dari akar tanaman. “Apakah ini gelang yang di maksud itu. Gelang akar gayam sebagai penangkal dari makhluk jahat yang Papa pernah ceritakan padaku?” tanya Raka penuh dengan rasa penasaran. Ia pun mengambil gelang tersebut dan menyimpan di saku celana. “Sepertinya aku harus minta izin pada Dokter Diah." “Bagaimana sudah dipikirkan lagi?” tanya Diah yang tiba-tiba datang. “Sudah, Dok.” “Semua keputusan ada di tanganmu dan lebih baik kamu menginap dulu di sini sembari menetralkan yang ada dalam tubuh kamu,” ujar Diah. Jari telunjuknya tak henti-hentinya mengetuk meja. "Sekarang, ceritakan padaku. Apa yang terjadi selain hantu hutan larangan?" tanya Dokter Diah yang membuat Raka begitu yakin kepadanya. Pria itu menghela napas, merasa lega karena meminta pertolongan pada orang yang tepat. "Jadi begini, Dok. Sebenarnya saya punya rumah sakit yang juga diteruskan secara turun-temurun oleh keluarga, bahkan perewangan itu juga diturunkan kepada anak cucunya, ." "Iya aku sudah tahu itu!" sahut Diah "Dari mana Dokter tahu?" tanya Raka bingung. "Bukankah tadi kamu sudah cerita!" seru Diah dengan mengebrak meja." Raka yang bingung dan gugup baru menyadarinya, ia pun memukul dahinya sendiri. "Lanjutkan!" "Namun, sebelum rumah sakit itu dialihkan kepada saya. Banyak gangguan makhluk halus entah mereka penghuni dari rumah sakit itu atau bukan. Hal itu membuat saya merasa tidak tenang. Setiap hari saya melihat wujud mengerikan, penampakan yang tak lazim hingga membuat saya tertekan setiap harinya. Saya bisa saja kehilangan kewarasan jika terus seperti ini. Mohon bantuannya, Dok.” Raka menatap Dokter Diah dengan wajah yang memelas. Senyuman tipis tampak mengembang di bibir Dokter Diah, perlahan wanita paruh baya itu menghela napas pelan. "Dokter Raka, dihantui karena sekedar ingin mengganggu dan diikuti seakan diburu oleh mereka itu berbeda. Ada hal yang membuat mereka terus menghantuimu entah karena apa," ucap Dokter Diah menunjukkan wajah keseriusannya. "Saya sudah tak tahan. Penampakan wanita tanpa kepala. Anak kecil yang berlumuran darah, serta wujud yang bukan berbentuk manusia. Mereka terus mendatangiku tanpa henti. Belum lagi sosok hantu larangan itu. Apa yang mereka inginkan dariku, Dok?" tanya Raka yang sedang mengatur napasnya. Merasa tertekan dan napas berat ketika menjelaskannya. "Untuk sementara ini, Seperti yang saya katakan Dokter Raka tinggallah di sini selama dua hari, nanti saya akan coba cari solusinya. Dalam beberapa hari ke depan, cobalah untuk menenangkan diri dan bersikaplah seperti biasanya. Seakan tidak terjadi apa-apa, Jangan takut, Dok! Saya pasti akan membantu menyelesaikan masalah ini." Senyuman mengembang di bibir wanita itu. Raut wajah tak puas tampak dari wajah Raka, tetapi apalah daya, untuk sementara waktu ia harus menunggu. “Kamu harus ingat ini karma dari leluhur kamu. Kematianmu adalah yang mereka inginkan. Saya akan tetap berusaha mencari cara agar kamu bisa terbebas dari karma ini. Semua pilihan kamu yang tentukan,” terang Diah. Raka mengangguk, ia kemudian berdiri dan berpamitan kepada Dokter Diah. “Tunggu. Tolong panggilkan Sekar sekalian.” “Baik, Dok!” Tampak senyum tersimpul dari bibir Diah. Namun, berbeda ketika melihat Sekar masuk ke dalam ruangan. “Silakan duduk. Ada perlu apa?” “Dok, Mohon maaf ada yang ingin saya tanyakan. Perihal semalam Aditya dan saya mendapatkan gangguan dari makhluk halus. Apakah,--“ Ucapan Sekar terputus karena Dokter Diah memberikan aba-aba untuk berhenti. “Seberapa jauh kamu melihatnya?” tanya Diah lirih namun dengan nada emosi. “Saya tidak berani. Takut salah, tapi yang membuat saya penasaran mereka menuju bangsal yang di belakang bangsal empat.” “Oh itu, tentu saja kalau tempat kosong pasti jadi tempat pilihan mereka.” Mendapatkan jawaban yang singkat Sekar meminta pamit kepada Diah. Raka menghela napas pelan, tatkala mengingat pertemuannya dengan Dokter Diah—pemilik rumah sakit. “Semoga besok aku menemukan jawaban,” batin Raka. Raka memutuskan untuk berkeliling di sekitar area rumah sakit. Tampak di luar bangunan terdapat banyak pohon-pohon rindang yang menambah kesan menyeramkan apabila malam tiba. Bangunannya bergaya klasik ini mampu menarik minat Raka untuk melihat isi lain dari rumah sakit. Tidak cukup banyak pasien yang datang hari ini, para perawat dan dokter bisa melakukan semuanya sendiri. Sehingga, Raka memutuskan untuk tidak membantu dan memilih untuk berkeliling. Tatapan kini tertuju pada sebuah bangsal kosong di depannya, pintu yang terkunci rapat membuat dirinya penasaran. Raka pun mengintip dari jendela bangsal yang kosong, terlihat beberapa ranjang tanpa pasien di sana. Dirinya tersentak kaget saat melihat bayangan hitam muncul dari balik tirai. “Apa itu?” tanya Raka seraya mengatur napasnya. Raka kembali mengintip dari jendela, tetapi bayangan itu menghilang dari balik tirai. Pria berambut cepak itu merasakan keanehan di sekitar, sebuah tangan memegang bahunya yang mampu membuatnya terdiam kaku. Detak jantung dan napas yang tak beraturan membuat Raka seketika terkejut. “Dokter Raka kenapa ada di sini?” tanya Akira yang membuat Raka seketika menoleh. Kini ia bisa bernapas lega, karena Akira yang menepuk bahunya tadi. “Aku hanya melihat-lihat saja,” jawab Raka seadanya. “Ayo, Dok. Jangan kelamaan di sini, semalam--” Akira berhenti tak melanjutkan pembicaraan dan menarik tangan Raka membawanya pergi dari bangsal kosong itu. Hari berlalu dengan cepat, Raka akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah bunga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN