Setelah kejadian di rumah sakit sang Dosen. Sekar, Aditya, dan Akira tak pernah mengungkit apa yang pernah terjadi di sana. Hari ini mereka sedang melaksanakan wisuda, satu per satu dari para mahasiswa pulang bersama kedua orang tuanya. Berbeda dengan Akira yang terlahir sebagai anak yatim piatu.
“Tante saya belum bisa pulang ke Malang sekarang.”
Akira yang terlahir hanya dengan memiliki seorang kakak berusaha keras hidup tanpa bantuan siapa pun termasuk Mamanya Aditya, yang tak lain adalah adik kandung ibunya.
“Tapi Akira, setidaknya kamu bisa bekerja di klinik paman kamu!” ujar Lia, mama Adhitya.
“Alhamdulillah saya sudah dapat pekerjaan di sini, Tante. Semoga semuanya bisa menjadi berkah.”
Akira meraih tangan sang Tante dan berharap beliau mau menyetujui atas tindakan yang dilakukan.
“Baiklah, jika terjadi apa-apa? Pulanglah! Rumah tante terbuka lebar,” ujar Lia.
Semua saling berpamitan, kebahagiaan tampak terlihat dari raut wajah Mereka, sementara Sekar hanya bisa melihat tanpa ikut merasakan kebahagiaan itu.
“Akira! Kamu sudah siap?” tanya Dokter Diah.
“Sudah, Dok!”
“Kita berangkat sekarang!”
“Sekar. Kamu jangan bersedih, ya. Maaf aku harus pergi dengan Dokter Diah.”
Akira memeluk Sekar untuk berpamitan.
Sekar tersenyum dan melambaikan tangannya kepada Akira. Tanpa ia sadari buliran air mata itu pun menetes. Tangan kanannya berusaha menghapus air mata sementara tangan kirinya untuk menarik koper meninggalkan kampus dan pulang ke Jogja sendirian.
***
“Kenapa keluarga Sekar tidak datang?” tanya Diah.
“Ibunya sakit, Dok. Sementara Ayah tirinya menghadiri pernikahan anaknya yang bertepatan dengan wisuda kita hari ini.”
“Kenapa tidak memberitahu? Pak putar balik ke kampus.”
Sejak menjadi Dosen pendamping, Dokter Diah tidak begitu menyukai Sekar karena beberapa kali gadis itu mengacau di saat jam kuliah Dokter Diah. Padahal Sekar adalah mahasiswa terbaik di kampus.
Berbeda dengan Akira. Dokter Diah sangat menyukainya. Selain karena yatim piatu, perilaku Akira yang lemah lembut membuat Diah sangat bersimpati padanya.
“Berhenti, Pak!”
Melihat Sekar menarik kopernya sendiri dari pintu gerbang, sisi hati baik Dokter Diah tergerak. Beliau menawarkan tumpangan kepada Sekar.
“Masuklah. Setelah Pak Hardi mengantarkan kami, dia akan mengantarmu pulang,” ujar Diah.
“Terima kasih, Dok!” ucap Sekar bahagia.
“Letakkan kopermu di belakang dan duduklah di samping Pak Hardi!” perintah dosen Sekar.
Dalam perjalanan Sekar dan Akira lebih banyak diam. Semua itu dilakukan untuk menghormati Dokter Diah.
“Apa rencana selanjutnya Sekar. Apa kamu sudah dapat pekerjaan?” tanya Dokter Diah.
“Belum ada pekerjaan, Dok! Saya sedang berencana untuk mencarinya setiba di Jogja,” terang Sekar dengan menatap dosennya melalui spion mobil.
“Oh begitu! Semoga lancar, ya!”
“Terima kasih, Dok.”
Sesampainya di rumah Dokter Diah di Magelang. Akira dan sang dosen turun dari mobil, sedangkan Sekar tetap berada di dalam karena Pak Hardi akan mengantarnya pulang.
“Kalau di Jogja tidak dapat pekerjaan kemarilah, aku akan menerima kamu bekerja di sini,” ujar Dokter Diah dan berlalu pergi.
“Sekar kamu ke sini saja, aku akan menunggumu di sini!” Akira meraih tangan Sekar dan berharap sahabatnya menerima tawaran Dokter Diah.
“Aku akan pulang dulu dan merawat ibu. Tunggu aku, ya.”
***
Pak Hardi melajukan mobilnya dengan santai. Hingga tiba di Jogja Pak Hardi tetap melanjutkan kembali perjalanan ke Magelang.
“Assalamualaikum, Bu.” Sekar mendapati rumahnya terkunci, sehingga ia tak dapat masuk.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara lirih orang berjalan. Sekar tersenyum karena sang Ibu berada di rumah.
Namun, ketika pintu terbuka. Sekar tidak mendapati ibunya melainkan sang Nenek yang menggunakan tongkat membuka pintu.
“Mbah!”
“Baru pulang kamu, Nduk!”
“Iya, Mbah!”
“Duduklah!” Sekar memapah sang nenek dan membantunya duduk.
“Ibu, wonten pundi, Mbah.”
“Duduk dulu biar Simbah cerita. Tadi sore penyakit ibu kamu kambuh. Bapakmu mengantarnya ke rumah sakit, sedangkan adikmu ikut suaminya.
“Di rumah sakit mana, Mbah?”
“Di rumah sakit yang biasa ibumu datangi.”
“Mbah di rumah dulu, ya. Biar saya nyusul Bapak. Biar nanti Bapak yang pulang jaga Simbah,” ujar Sekar.
“Ya Nduk!”
***
Melihat ibunya terbaring sakit, Sekar menangis meratapi sang ibun. “Bapak!”
Sekar memanggil lirih bapaknya yang sedang tertidur di samping sang ibu.
“Sekar, sudah tiba kamu?” tanya Brahmantyo.
“Baru saja, Pak! Ibu bagaimana keadaannya?” Sekar mengambil kursi dan duduk di samping bapaknya.
“Kamu yang tabah, ya! Dan maafkan bapak tadi tidak bisa menghadiri acara wisuda kamu, karena adikmu tau sendiri dia hamil. Bapak harus melangsungkan pernikahannya walau hanya menikah siri.
“Bapak yang, sabar! Sekarang Bapak pulanglah biar Sekar yang nunggu.”
***
Alvin, pria muda berusia 26 tahun itu, telah menjadi seorang dokter muda, yang akan bertugas di Puskesmas pembantu di salah satu desa di kabupaten Lombok Timur NTB.
Pagi ini Alvin akan berangkat menuju NTB dan sore harinya akan mendarat di Lombok International Air Port sore hari. Dengan jemputan Mobil panter hitam Alvin akan menuju ke Desa tempat dirinya ditugaskan.
Bayu dan Irma adalah perawat yang menjemput Alvin, mereka berdua berasal dari Jawa Timur. Perjalanan dari Bandara menuju Desa di perkirakan memakan waktu kira-kira 2,5 jam hingga 3 jam.
Awan mendung kian semakin pekat, hujan pun mulai menyapa di senja yang gelap gulita.
Suara petir tiba-tiba menggelegar meramaikan suasana tenang di sepanjang perjalanan. Hanya selang lima menit suara petir kembali menyambar dan saling bersahut-sahutan. Hujan tak surut terhenti, suara petir kian menggelegar membuat suasana semakin mencekam.
“Mas Bayu, apa enggak sebaiknya kita menepi dulu mas! Sepertinya Alam sedang tidak bersahabat dengan kita,” ujar Alvin pada Bayu.
“Tapi di sini jarang ada perkampungan, Dok!” sahut Irma. “Pelan-pelan saja menyetirnya Mas Bayu!” pinta Irma kembali.
Petir pun menggelegar kembali, hujan semakin lebat yang membuat pandangan Bayu buyar jg mobil pun kehilangan kendali hingga akhir oleng ke kiri, namun akhirnya brisa terkendali. Mereka terpaksa berhenti di tepi jalan, hingga menunggu hujan reda.
Tanpa di sadari mereka bertiga tertidur di dalam mobil. Suara ketukan kaca mobil membuat mereka terbangun di pagi hari yang cerah.
Alvin melihat ke arah jendela, dia melihat seorang pria yang tidak begitu tinggi berdiri di samping mobil. Alvin pun membuka jendela.
“Bu, Pak, istri saya mau melahirkan! Tolong selamatkan istri saya, Pak!" pinta pria itu.
Mereka bertiga sepakat untuk membantu pria tersebut, namun naas mobil yang mereka tumpangi tidak bisa jalan. Akhirnya mereka berjalan kaki menuju kampung tersebut ke, selama perjalanan tak ada tanda-tanda akibat badai petir semalam. Jalan yang berliku pun tidak basah menyeberangi sungai tanpa jembatan, hingga tiba di sebuah perkampungan yang terlihat sangat kuno.
Rumah panggung kecil terbuat dari kayu dan bambu, di dalamnya ada seorang wanita hamil yang sedang mengeram merintih kesakitan. wanita itu meraih tangan Alvin, dan memintanya untuk mendekat.
"Tolong selamatkan anakku!" pinta wanita itu, merintih kesakitan. “selama persalinan jangan pernah keluar dari rumahku!” Alvin hanya mengangguk tanda mengerti.