Adhitya masih dirasuki oleh sesosok makhluk yang mengikuti Raka selama ini, ia telah mencekik Sekar.
Cekikan Adhitya semakin kuat, perlahan kaki Sekar terangkat, hingga tak menyentuh tanah lagi.
"Lepaskan Sekar!" teriak Akira yang hendak mendekat ke arah Adhitya
Namun, kaki Akira dicekal oleh sepasang tangan tanpa badan. Para arwah mulai bermunculan. Sosok wanita yang berada di tubuh Adhitya ini adalah sosok arwah yang cukup kuat, hingga dia bisa memerintahkan para arwah untuk mengganggu mereka. Sementara Sekar mulai kehabisan napas dan pandangannya mulai memburam.
Seseorang datang mendekat ke arah Adhitya, dengan keras nenek itu pun memukul punggungnya dengan tongkat yang ia bawa. Adhitya menjerit kesakitan, hingga ia melepaskan Sekar.
Sekar terhempas ke tanah, ia pun segera menghirup oksigen sebanyak mungkin.
Nenek yang bernama Mbah Rahwuni segera memukul d**a Aditya hingga pria itu tersungkur kesakitan.
"Kalian cepat tahan dia!" perintah Mbah Rahwuni pada Akira dan Raka.
Akira segera berlari dan mendekati Adhitya, lalu memegang tangannya.
"Dokter, bantuin!" perintah Akira, Raka dengan ragu membantu Akira memegang kaki Aditya.
Adhitya terus memberontak, mereka pun tampak kewalahan memeganginya. Beberapa menit kemudian, Mbah Rahwuni mendekati Aditya, perlahan dirinya meletakkan tangan ke atas dahinya seraya mengucapkan beberapa kata yang susah untuk mereka mengerti. Tidak berselang lama, Adhitya mulai tenang dan tak sadarkan diri.
Sekar mendekati mereka dan melihat Adhitya yang lemas tak berdaya.
"Sepertinya, dia dirasuki oleh makhluk yang cukup kuat," ujar Mbah Rahwuni.
"Maaf, Anda siapa?" tanya Sekar dengan sopan.
"Saya hanya orang biasa," jawab Mbah Rahwuni.
"Tapi, sepertinya kamu cukup istimewa," ujar Mbah Rahwuni lagi.
Sekar tampak terkejut akibat perkataan Mbah Rahwuni. "Tapi, bagaimana--"
"Waktunya tidak banyak, dia bisa saja bangkit lagi. Kita harus segera mengeluarkan arwah ini dari tubuh teman kalian!" perintahnya memotong perkataan Sekar.
"Kita harus bagaimana, Mbah?" tanya Akira.
"Bawa dia ke tempat yang aman!" perintahnya lagi.
Semua temannya pun membawa Adhitya ke sebuah kamar yang tak terpakai. Sementara Mbah Rahwuni memerintahkan mereka untuk mengikat kaki dan tangan Aditya.
Tidak lama berselang, Adhitya kembali berteriak kencang, aura jahat semakin terasa darinya.
Mbah Rahwuni segera menyiapkan air yang sudah dibacakan sesuatu olehnya. Bibirnya terus membacakan mantra, tangan keriput miliknya mengusap kening dan wajah Adhitya. Teriakan kesakitan terdengar dari sosok wanita itu melalui Adhitya.
"Keluarlah!" perintah Mbah Rahwuni pada sosok itu.
"Aaaarrrggghhh!" Teriakan panjang mengakhiri ini semua.
Adhitya tergolek lemah, sosok itu keluar dari tubuhnya dan terurai menghilang. Semua yang berada di sana bisa bernapas lega.
"Jaga teman kalian hingga pagi, jangan sampai pikirannya kosong lagi," perintah Mbah Rahwuni.
"Baik, Mbah." Akira dan Raka serempak menjawab.
Sekar pun mengantar Mbah Rahwuni hingga gerbang rumah bunga. Terlihat Mbah Rahwuni sangat penasaran dengan gadis yang kini berada di hadapannya.
"Siapa namamu?" tanyanya pada Sekar.
"Saya Sekar, Mbah," jawab Sekar.
"Sekar, jaga temanmu itu. Kamu pasti tahu apa yang terjadi dengannya, suatu saat aku akan mengajarimu tentang sesuatu," ucapnya.
"Mengajari apa?" tanya Sekar bingung.
"Sudahlah, kamu nanti akan tahu pada waktunya," ujar Mbah Rahwuni seraya melangkah pergi.
Banyak hal yang ingin ditanyakan oleh Sekar pada Mbah Rahwuni. Namun, sepertinya ia harus memendam rasa penasaran, karena saat ini Adhitya sangat membutuhkan bantuan darinya.
Sementara itu, Akira masih sempat mencuri pandang pada Raka yang masih bingung dengan semua yang terjadi.
Raka merasakan keanehan di ruangan ini, ia melihat sekeliling untuk mencari sesuatu yang mencurigakan hingga sesuatu cairan membasahi tubuhnya.
Darah mulai menetes tepat mengenai wajah Raka. "Apa ini?!" tanya Raka panik seraya melihat ke atas.
"Arrghh!" teriaknya saat melihat sebuah kepala tanpa tubuh dan berambut panjang tergantung di plafon. Darah menetes dari bekas potongan di lehernya.
"Ada apa?!" tanya Akira ikut panik.
"I-itu." Raka menunjuk ke atas, akan tetapi hanya Raka yang bisa melihat potongan kepala itu.
"Ada apa?" tanya Sekar yang baru tiba.
"Ada kepala di sana," jawab Raka seraya menunjuk ke plafon.
Namun, Sekar tidak melihat apa pun di sana. "Mungkin, malam ini berat untuk kita, tetapi kita harus melewatinya. Aku tahu para arwah tidak menyukai kehadiranku di sini," ujarnya.
Mereka pun mengangguk mengerti. Malam ini terasa begitu panjang. Para arwah semakin kuat, hingga mereka tak segan menampakkan dirinya. Arwah yang berada di rumah bunga ini adalah korban dari p*********n yang pernah terjadi di sekitar sini.
Akira, Sekar dan Raka tidak jarang melihat organ-organ tubuh serta bercak darah di mana-mana.
Beruntung, Mbah Rahwuni memberikan pelindung yang bertahan hingga pagi sebelum pergi tadi. Arwah-arwah itu hanya bisa mengganggu tanpa bisa melukai mereka lagi.
Pagi menjelang, setelah melewati malam yang begitu panjang, akhirnya mereka menceritakan segalanya pada dokter Diah selaku pemilik rumah sakit.
“Kehadiran Sekar yang membuat mereka datang!” ucap Diah.
“Apa salah saya, Dok?” tanya Sekar penasaran.
“Rumah bunga adalah tempat yang paling aman. Hanya saja semenjak Ra--.”
“Dok, ada Mbah Rahwuni!” ucap Nia salah seorang perawat yang membuat percakapan antara Dokter Diah dengan penghuni rumah bunga harus berakhir.
“Kalian sementara istirahat dulu, jangan keluar dari rumah bunga. Salah satu dari kalian ada yang keluar maka pagar pelindung rumah ini akan hilang. Paham!”
“Paham!” mereka serentak berkata.
“Sekar gimana nih?” tanya Akira gelisah.
“Sudahlah kita ikuti apa kata Dokter Diah.” Sekar berlalu untuk melihat keadaan Aditya yang masih terikat.
“To-tolong ... lepaskan,” lirih terdengar suara Aditya meminta tolong.
Aditya melihat Sekar berdiri dengan wajah memelas ia meminta tolong kepadanya.
“Sekar buka talinya Sekar. Ada apa ini? Kenapa tangan dan kakiku diikat."
Aditya terus menatap Sekar dengan wajah memelas. Namun, gadis berhidung mancung itu hanya tersenyum.
Sekar masih merasakan sesuatu yang aneh pada tubuh Adhitya, gaya bicaranya pun berbeda. Sekar yakin bahwa sahabatnya itu masih terpengaruh oleh makhluk halus.
Akira yang mendengar Adhitya berbicara segera mendekat dan melihat kondisi adik sepupunya. “Masya Allah Dhit, kamu sudah sadar.”
“Akira tolong lepaskan. Kenapa kalian ikat aku seperti ini. Tolong aku Akira,” pinta Adhitya.
“Sekar kenapa kamu diam saja. Kenapa kamu tidak membantu Adhitya!” seru Akira kesal.
“Jangan di buka.” Sekar menjawab singkat dengan kedua tangannya bersedekap.
“Dokter Diah dan Mbah Rahwuni hanya bilang kita tidak boleh melangkah keluar. Jadi, lebih baik kita lepaskan Adhit. Lihat dia sudah membaik,” ujar Sekar
“Lebih baik kita nunggu perintah Dokter Diah. Sementara waktu kamu yang sabar, ya, Dhitya.” Raka setuju dengan tindakan Sekar.
“Sekar kenapa kamu tidak menolongku. Ini aku Adhit. Tolong lepaskan!” Pria itu meronta-ronta, namun kedua sahabatnya tak menghiraukan.
“Kamu bukan Adhitya!” Sekar berkata sambil berlalu dan di menyusul Raka di belakangnya.
“Akira ini aku sepupumu. Tolong buka talinya, aku ingin kencing. “
“Pakai pispot ya kencingnya.”
“Kamu gila apa nyuruh aku kencing seperti itu.”
Akira terdiam ia ragu harus membantu sepupunya atau tidak. Gadis berambut sebahu itu berdiri lalu menutup pintu kamarnya dan membuka tali yang mengikat tangan dan kaki Adhitya.
“Adhitya berjalan dan melangkah menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar.