Melihat keanehan yang terjadi pada putrinya, Sekar. Ayundya hanya bisa menjerit Histeris. “Pak, kae Sekar, Pak!”
“Tenang, Buk. Bu e sekarang panggil Karyo. Minta dia untuk menemui Mbah Atma. Segera ya, Bu!” titah Saman.
Mengetahui putrinya tak wajar, Saman tak mendekatinya, ia hanya mengawasi setiap gerakanya. Takut jika itu akan menyakitinya.
“Sekar anakku, kenapa kamu, Nduk?”
Sesekali terdengar bayi itu menangis, namun tak jarang ia menatap bapaknya sendiri dengan tajam. Sang Bapak mencoba mendekat, tapi bayi berusia tujuh bulan itu tersenyum menyeringai membuat Saman bergetar dengan hebat.
Kamar yang berukuran tiga kali tiga meter itu tidak terlalu banyak benda, hanya ada ranjang tempat tidur Saman dan istrinya yang terletak di pojok Kanan dekat pintu masuk, Box Bayi yang berada tak jauh dari ranjang berada di sebelah kiri ranjang dan Di samping Ranjang tersebut lemari pakaian dan yang berada di sebelah kiri lemari adalah jendela di mana sekarang Sekar sedang duduk menatap dengan pandangan tajam.
“Sekar sini, Nduk. ini Bapak!” panggil Saman lirih sambil tangannya melambai meminta Sekar untuk mendekat.
Sekar pun merangkak dan mendekati Saman yang sedang berjongkok menanti sang putri datang.
“Alhamdulilah dia mengenaliku.” Wajah Saman tampak bahagia dan ia pun menggendong putrinya tanpa takut dipeluknya Sekar dengan penuh kehangatan.
Tiba-tiba saja gunting lipat yang sedari tadi di bawa Sekar menancap di d**a Saman, walau kecil cukup untuk membuat tubuh Saman mengeluarkan darah segar.
“Sekar, apa yang terjadi padamu, Nduk. Saman melepaskan Sekar yang ada di pelukannya dan mendudukkan putrinya di box miliknya.
Saman yang meringis kesakitan mencoba menarik Gunting yang masih menancap di dadanya. Hingga Ayu yang berada di ambang pintu hanya bisa menjerit melihat suaminya yang tertancap gunting.
“Kamu tunggu di luar saja, Ayu! Ini berbahaya untukmu!” perintah Saman, namun Ayu tak menghiraukannya.
Ayu yang gemetaran hebat di ambang pintu hanya bisa bergeming ketika melihat putrinya terbang di hadapannya. Mengetahui Ayu lemas saman kebingungan.
Sementara Sekar yang terbang hampir keluar kamar membuat Saman berlarian mengejar putrinya dan hendak menghadangnya.
Namun, semua terlambat karena Ayu tergeletak di lantai menghadang langkah Saman.
Takut terjadi hal yang lebih mengerikan Saman berlari keluar kamar dan membiarkan sang istri tergeletak di lantai.
“Sekar, di mana kamu, nduk!” panggil Saman sembari ia berlari ke sana ke mari menutup jendela dan pintu rumahnya. Tak lupa Saman pun berlari ke dapur menutup pintu belakang.
Bau semerbak bunga melati menguar ke seluruh ruangan. Membuat Saman yang berjalan dengan perlahan mencari sumber aroma bunga yang begitu mengganggu indra penciumannya.
Oek! Oek! Oek!
Tangisan itu hanya sebentar tapi membuat bulu kuduk Saman merinding, karena ia tahu bahwa itu bukanlah tangisan Sekar.
Perlahan ia memasuki kamar yang Saman jadikan sebagai gudang. Kamar itu biasa ia gunakan jika ada barang dari kota datang. Seperti persediaan sehari-hari warga yang tak lain adalah pekerja perhutani.
Jauhnya tempat tinggal mereka yang berada di tengah hutan jati, membuat Saman harus menyiapkan perbekalan agar mereka betah dan mau bekerja dengannya.
“Sekar,” panggil Saman lirih.
Oek! Oek! Oek!
Kali ini tangisan Sekar terdengar jelas, Saman segera mencari kunci dan mencoba membuka lemari kosong yang berada di gudang. Tangannya yang gemetaran merogoh saku yang berada di celana. Namun, tangannya yang bergetar membuatnya susah untuk mengambilnya.
“Sabar, Nduk. Bapak akan membuka pintunya!”
Setelah berhasil mendapatkan kunci, Saman membuka lemari yang berada di sebelah kiri. Namun, nihil.
Saman pun mengusap wajahnya, kekecewaan itu jelas terlihat. Rasa takut dan lelah tak membuatnya menyerah. Kini ia kembali mencari di dapur yang letaknya di samping gudang, sambil berteriak memanggil putrinya.
Tangisan Sekar kembali terdengar dan suara itu berada di ruang tamu. Segera Saman berlari dan berharap putrinya berada di sana.
“Ayu!” panggil Saman dengan napas memburu.
Saman melihat istrinya sedang memangku Sekar, ia kaget karena sang istri ternyata sudah siuman. Dengan langkah perlahan ia mendekat dan memeluk istrinya yang sedari tadi diam tak bersuara.
Pelukan itu ia lepas dan kini ia menatap Sekar. Saman tersenyum ketika melihat putrinya yang kembali tertawa riang menatapnya. Ia pun meraih Sekar dan membopongnya.
Saman hanya melirik Ayu yang sedari tadi terdiam. “Bu, ono apa jane? Bapak jaluk ngapuro mau ninggalke bue nang ngarep lawang. Soale Bapak bingung goleki Sekar.” (Sebenarnya ada apa , Bu. Bapak minta maaf jika meninggalkan ibu di depan pintu, karena bapak bingung mencari Sekar.”
Lagi-lagi Ayu terdiam dengan menundukkan kepalanya. Sementara Sekar tersenyum sambil tertawa lucu.
“Delok, Bu. Sekar wes bisa ketawa.”
Saman melirik Ayu, karena sekali lagi sang istri tak menjawab. “Bu, Dangak o. Aja dingkluk wae. Ana opo jane!”
Ucapan Saman yang meminta sang istri untuk mendongak menatapnya, karena sedari tadi hanya menatap ke bawah tak mendapatkan respon.
“Nanti kalau besar jadi wong sing pinter, ya Nduk. Kudu isa nulungi wong akeh.” Saman berbicara dengan Sekar, namun matanya melirik Ayu yang tak menghiraukannya.
“Ayu!” teriak Saman.
Ayu pun mendongakkan kepalanya dan menatap Saman dengan tajam. Melihat Ayu dengan tatapan mengerikan, saman pun refleks kakinya selangkah ke belakang.
“Bu kamu kenapa?”
“Anakmu kui wes gawa nasib e dewe. Aja pisan-pisan mbok gawa metu saka kampung iki yen pengen anakmu slamet.”
“Apa maksudmu, Yu! Kenapa Sekar tidak boleh di bawa ke luar dari kampung ini. Omonganmu kok dadi nglantur ngono!”
Ayu mempertajam pandangannya membuat Saman ketakutan hingga pintu rumahnya terketuk membuat jantungnya berdetak dua kali lipat.
“Kang, bukakke lawang!” seru Karyo mengetuk pintu.
Saman yang baru saja bergidik ketakutan merasa lega karena Karyo sudah tiba. Engsel pintu itu pun kini sudah terbuka.
Karyo dan Mbah Atma yang ia tunggu sedari tadi kini ada di hadapannya.
“Ndie anakmu, Le!” Saman refleks menyerahkan Sekar kepada Mbah Atma.
“La iki tangan e terluka. Aku wes ngomong toh di ati-ati. Jangan sampai kena benda tajam. Bakale anakmu di ganggu karo bongso alus.”
“Ndang di tutup lukanya! Kenapa kui dadamu. Jangan bilang itu anakmu yang melakukan.” Mbah Atma menggeleng-gelengkan kepala, karena apa yang ia takutkan, bisa saja terjadi jika kelak Sekar dewasa.
“Mbah, Ayu Mbah! Ayu kok menakutkan tadi!” ucap Saman sambil tangannya menunjuk kursi kayu panjang yang berada di sebalah kirinya.
“Mana, istrimu gak ada, Le!”
Saman menoleh dan benar istrinya tak ada di sana. “Tapi mbah, tadi Ayu di situ.”
“Dari aku datang di sini gak ada Mbak Ayu, Kang.” Karyo mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan tapi tak menemukan Ayu.
“Ya sudah ayok masuk dulu! Silakan duduk dulu, Mbah,” pinta Saman dengan bingung.
Saman akhirnya menatap kamar yang berada di ujung sebelah kanan. Namun, ia ragu karena jika Ayu melangkah ke kamar seharusnya melewati mereka.
“Karyo, Sekar kamu gendong dulu, biar tangannya di obati Mbah Atma.”
“Kamu juga harus diobati, Saman!” ucap Mbah Atma yang sedang mengeluarkan beberapa obat dari tasnya.
“Bentar, Mbah. Saya mau mencari Ayu dulu.”
Saman pun melangkah ke kamar, dan ia pun di kagetkan ketika melihat sang istri masih pingsan di depan pintu.”
“Karyo!” teriak Saman.