Misteri Ngudi Waluyo-Dokter Raka

1222 Kata
Saat ini mereka sedang pratikum di rumah sakit milik Dokter Diah. Beberapa kali Aditya di ganggu makhluk tak kasat mata. Embusan angin dan suara binatang malam membuat suasana semakin mencekam. Aditya yang mengalami hal buruk secara beruntun membuatnya ketakutan hingga kencing di celana. Tawa Sekar yang tak tertahan terlepas begitu saja, seakan tak ada kejadian menyeramkan yang terjadi. Seusai membersihkan koridor yang basah bukan karena hujan, mereka berdua berjalan menuju tempat Akira berada. “Sekar, antar aku ke rumah bunga, ya!” pinta Aditya yang melingkarkan kedua tangannya di lengan Sekar. Gadis itu hanya mengangguk tanpa bicara. Kejadian yang menimpa Aditya juga dialami oleh Sekar ketika pertama kali tiba di rumah sakit. Langkah demi langkah mereka telusuri. Dalam hening, Sekar teringat akan kejadian yang menimpanya sore tadi, hingga membuat ia terpisah dari kedua kawannya. Kejadian menyeramkan yang tak mungkin ia lupakan. Vision itu terlihat dengan jelas oleh kedua matanya, sengaja tak memberitahukan kepada mereka berdua. Berharap hanya dirinya saja yang merasakan keganjilan di rumah sakit ini. Sore tadi suara tawa menggema di seluruh ruangan bercat putih yang memiliki luas tiga puluh enam senti meter persegi. Lampu temaram menambah kesan suram, membuat Sekar bergidik ketakutan. Ia baru saja tiba dalam dimensi berbeda, lingkaran waktu membawanya pada sebuah kejadian pilu di masa beberapa puluh tahun lalu. Di dalam ruangan terdapat lima orang, dua di antaranya adalah tentara Jepang yang tengah mengeksekusi satu keluarga Belanda. Tiga lainya adalah orang Belanda, satu pria paruh baya bersama wanita dengan usia yang tak jauh berbeda, kemudian seorang gadis kecil cantik. Ketiganya terikat di atas sebuah ranjang dengan keadaan telentang. Kaki dan tangan diikat sebuah tali dengan simpul mati. Seringai bengis terlukis di wajah para tentara, mereka dengan santai memotong dan menyayat tubuh yang sudah tergolek tanpa nyawa, kecuali sang gadis. Ia masih hidup dan tengah meronta berusaha melepaskan diri. Jerit pilu dan rintihan pedihnya sama sekali tak dihiraukan. "Berhenti memotong tubuh orang tuaku!" teriak si gadis dengan lantang. Bahkan, urat di leher terlihat menegang karena mengeluarkan suara sekuat tenaga. "Tenanglah, Sayang. Kau akan mendapat bagian!" ujar satu tentara berperawakan tinggi. Ia mendekati si gadis dan menggigit bibirnya sampai mengeluarkan darah. Gadis itu meronta, meraung menahan sakit. Rintihan keluar dari mulut mungil, seirama dengan air mata yang mengalir deras di setiap lekuk pipi. Bukan hanya sakit fisik, tetapi juga hati. Menyaksikan orang tua terbunuh tepat di depan mata, tentu bukan hal menyenangkan. Belum lagi ia tak bisa melawan, keadaan diri yang terikat membuatnya tak berdaya. "Apa ini sudah cukup kecil?" tanya tentara berkepala botak, sambil mengibaskan satu potong daging dengan cucuran darah merah segar. Sang rekan mengangguk, tersenyum miring sembari melanjutkan kegiatannya yang tengah mengoyak bagian perut. Tanpa rasa jijik ia mengeluarkan semua organ dalam. Sekar meringis menahan mual. Satu tangan menangkup mulut, menahan sesuatu agar tidak keluar. Kemudian, mata membulat sempurna saat kapak jagal memenggal kepala si gadis. Darah muncrat ke segala arah, diiringi gelak tawa bahagia dari kedua tentara. Sekar mengutuk dalam hati, ingin membalas, tetapi tubuh seolah terkunci. Satu delikan tajam dari tentara yang berkepala botak, membuat Sekar ketakutan. Tubuh gemetar, keringat dingin pun mengucur deras membelai setiap lekuk wajah. Tentara itu mendekat, mengayunkan kapak … satu teriakan nyaring berhasil membawa Sekar kembali. Gadis itu selamat, meski dengan jantung yang berdetak sangat cepat. “Sekar, kamu kenapa?” tanya Aditya dengan mencubit pipi Sekar untuk menyadarkannya. Sekar yang termangu dengan kejadian sore tadi akhirnya tersadar. Dari koridor terlihat cahaya lampu mobil memasuki pelataran rumah sakit. Sekar melirik jam yang melingkar di tangan kirinya menunjukkan pukul sembilan malam. “Aditya, enggak usah ganti celana dulu! Sebentar lagi jam kerja kita selesai.” Aditya yang merasa risi dan malu karena celananya basah hanya bisa terdiam ketika sahabatnya berucap. “Diam dulu, Sekar! Lihat Akira, tidak biasanya bertingkah seperti itu. Gadis tomboi itu ternyata bisa manis juga di depan laki-laki,” sindir Aditya yang melihat sepupunya bertingkah centil di hadapan pria tampan yang baru mereka lihat. “Ayo, beres-beres terus kita balik ke kamar,” ajak Sekar dengan menarik tangan Aditya. Akira yang tengah asyik berbicara, tertawa terbahak-bahak, melihat celana Aditya yang basah. Aditya tampak malu dan memberitahu Akira tentang kejadian yang menimpanya tadi. Seseorang datang dengan mobilnya yang ia parkirkan di halaman, pria itu adalah seseorang yang sangat Akira cintai. Pria jangkung yang berdiri di lobi samping Akira terlihat cemas. Raka Wijaya, dokter muda yang baru saja menyelesaikan spesialis kandungan, terpaksa harus bermalam di rumah sakit untuk menemui Dokter Diah—pemilik rumah sakit. Aditya dan Akira menawarkan penginapan bunga untuk tidur sekamar dengan Aditya. Sementara Sekar yang sedang sibuk membereskan berkas, sesekali menatap Raka, bukan pandangan karena terpikat ketampanannya, melainkan sosok perempuan berwajah buruk rupa yang mengikuti di belakangnya. Di rumah bunga, Sekar dan Akira segera tidur untuk melepas lelah, sedangkan Raka dan Aditya masih saling bercengkerama di dalam kamar. “Dok, nanti kalau saya wisuda dan sudah mendapatkan surat ijin kerja. Boleh, ya, Dok, melamar kerja di sana?” tanya Aditya dengan semangat. Raka hanya tersenyum sembari ibu jari dan jari telunjuk ia rapatkan hingga menjadi simbol ok. Aditya yang sedari tadi mendapatkan gangguan, kini bisa tersenyum lega mendapatkan teman sekamar. Sedangkan Raka, hanya berbaring di ranjang dengan gelisah. Pikiran melayang sebelum ia tiba di Ngudi Waluyo. *** Sebagai seorang dokter spesialis kandungan, setiap hari disibukkan dengan keluhan pasien yang datang hampir setiap jam. Namun, bukan hal itu yang membuatnya cemas. Ada sesuatu yang terus mengganggunya. Keringat menetes dari dahinya, terlihat ia sedang memikirkan sesuatu dengan begitu serius. "Lin, kamu aku tinggal dulu selama dua hari. Aku ingin keluar kota. Ada dinas soalnya. Kamu enggak apa-apa kan?" tanya Raka hanya salah "Baik, Dok!" ucap sang asisten. Segera Raka pergi dari ruangannya dan masuk ke dalam mobil pribadinya. Ada sesuatu yang membuatnya tidak tenang, seperti orang yang penuh kekhawatiran akan terjadi hal buruk kepada dirinya. Dengan membawa pakaian seadanya, Raka mulai menghidupkan mesin mobil. Diambilnya secarik kertas bertuliskan Rumah Sakit Ngudi Waluyo beserta alamat lengkapnya. "Apa benar ini alamatnya, ya? Sudahlah, daripada aku terus-menerus seperti ini." Raka menghela nafas panjang dan memulai perjalanannya. Tak terasa, matahari mulai terbenam. Jalanan gelap, dipenuhi pepohonan yang berada di pinggiran jalan, seakan-akan menyapa setiap kendaraan yang lewat. Namun, sebuah kain putih terbang melintas membuat Raka menghentikan mobilnya. 'Ku datang ... membawa duka mendalam, heningnya malam mencekam ....' Lagu tembang kenangan mendadak terdengar dari radio mobilnya. Ingin rasanya sang dokter berteriak. Namun, ia tetap berusaha tenang dan kembali melajukan mobilnya. Belum selesai mendapatkan gangguan, ia mematikan radio, tetapi pria berhidung mancung itu mendengar suara seseorang mengetuk-ketuk jendela kaca mobil tepat di belakangnya. Spontan, hawa dingin menjalar di punggung hingga ke leher. Ingin rasanya melihat ke belakang, tetapi rasa takut mengurungkan niatnya. Dengan tangan gemetar, sang dokter melihat ke arah cermin yang menggantung di depannya. Secara perlahan, untuk mencari tahu ada apa di belakangnya. Hanya ada kursi kosong yang gelap karena tak satu pun kendaraan yang lain mengikutinya. "Kamu tidak sendirian." Bisikan terdengar, memecah keheningan. Raka mulai merasa panik, ia pun segera mempercepat laju kendaraannya. Suara-suara aneh mulai bermunculan, mulai dari tawa kecil, hingga rintihan dan tangisan menambah hawa rasa takut. "Diam ... aku bilang, diam! Kau tidak lihat aku sedang menyetir!" seru sang dokter yang berusaha melawan rasa takutnya. Perjalanan yang terasa amat panjang, hingga membuat sang dokter meracau seperti orang gila. Hingga tak lama setelah itu, tampaklah sebuah rumah sakit bergaya kolonial Belanda yang terletak di lereng gunung. "Akhirnya sampai juga."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN