Demi Ponsel Baru

3091 Kata
Jauh sebelum akhirnya tahu kalau Azzura ada di Jogja, Nathan pernah melihat bekas ponsel yang tak begitu asing ternyata masih ada di dalam kamarnya yang ada di rumah Eyang. Kala itu, barang-barangnya dan keluarganya memang dikirim ke Jogja. Mereka tak mungkin membawa semua barang saat berangkat ke Inggris bukan? Jadi sebagian besar memang dikirim ke Jogja. Yang dikirim ke Inggris tak begitu banyak. Hanya barang-barang penting seperti baju yang sekiranya perlu namun tak bisa masuk ke dalam koper lagi. Saat kepergian itu, Nathan masih ingat sekali kalau ia sungguh galau. Malam terakhir di Jakarta, ia sempat mendatangi rumah Tante Azzura. Namun tentu saja hanya mengamati dari luar. Ia tak berani menyapa apalagi masuk ke dalam untuk bertemu salah satu penghuninya disaat hubungan mereka tak begitu baik. Meski semua itu terhibur dengan masuknya telepon Azzura ketika ia hendak masuk ke dalam pesawat. Panggilan terakhir yang begitu manis karena ia bisa mendengar suara Azzura yang serak. Azzura pasti sedih sekali hari itu. Tapi bukan kah sekarang waktunya sudah jauh berbeda? Azzura mungkin sudah mengobati luka itu. Hal yang semakin menguatkannya untuk kembali mencari Azzura adalah bekas ponsel Azzura yang pernah ia rusak secara tak sengaja. Ponsel butut namun anehnya masih ia simpan. Kalau sekarang? Tentu saja sudah tak bisa dinyalakan lagi. Bahkan pada saat itu pun sudah sulit untuk dinyalakan lagi. Satu-satunya cara memang mengganti dengan yang baru. Kenangan yang sungguh manis kalau diingat-ingat lagi. Dan ponsel itu sudah menjadi bagian dari lukisan yang sengaja dibuat Nathan. Ada ponsel butut itu yang terbelenggu di dalam kaca. Kemudian dipasang di dinding kamar kerja Nathan. Ia jarang menatap mahakarya ponsel butut yang memiliki nilai karena tangan Nathan. Karena Nathan lebih sering membelakanginya. Memang posisi lukisan itu berada di belakang Nathan ketika ia duduk di kursi kerjanya. Nathan tersenyum tipis. Ia ingat lagi pertemuan di masjid tadi. Akan kah Azzura mau menemuinya? Ia merasa tak percaya diri. Tapi mungkin mau meski hanya sekedar reuni sekaligus bernostalgia. Bukan kah ia adalah mantan pertama Azzura? Mantan terindah? Ohooo kalau terindah kenapa harus putus? Hahaha. Ini pahit memang. Haaah. Ia tak mau mengingat bagian pahitnya. Cukup kenang bagian manis di mana mereka sering bertengkar hanya karena permasalahan kecil yang datang entah dari mana. "Makan siang, Nath?" Ia tersenyum kecil. Bayu datang. Lelaki itu teman SMA-nya. Meski dulu mereka pernah nakal sekali. Kenyataan sekarang kalau Bayu tak kalah sukses dengannya itu sangat mengejutkan. Lelaki ini sukses menjadi pedagang sate. Bahkan punya banyak restoran di beberapa kota yang ada di Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Sudah menikah dan punya anak pula. Berkat Bayu, ia menemukan gedung tak terpakai yang kini sudah ia jadikan kantor. Lelaki itu juga pinya restoran yang jaraknya tak begitu jauh dari kantor Nathan. Rumahnya bahkan ada di belakang kantor ini. Jadi sering mampir ke sini kalau bosan. Kadang datang membawa anaknya yang masih berusia tiga tahun. "Aku tahu lah gimana rasanya sekarang menjadi orangtua yo. Ndak mau anak-anaknya menuruti kelakuan buruk orangtuanya dimasa lampau." Nathan terkekeh. Ia juga baru menyadari itu ketika dewasa. Ketika masih remaja dulu, yang dipikirkan hanya lah kepuasan hati. Yang penting hati senang dan sangat girang mengikutinya. Setidaknya, dunia mereka tidak hancur. Kini malah berdiri tegak. "Hidup juga bisa terbalik yo? Aku yang ndak mampu untuk kuliah ini tetap bisa jadi sukses." Nathan terkekeh. "Rezeki katanya sudah diatur, Bay." Bayu mengangguk-angguk. Ia setuju dengan kata-kata itu. Tapi meski rezeki sudah diatur, rezeki juga harus dikejar bukan? "Tak kenalin ke cewek-cewek?" Nathan tergelak mendengar ucapan itu. Kalau untuk urusan perempuan, sejak dulu ia paling ogah dicarikan. Biasanya cewek-cewek itu akan datang sendiri. Kalau sekarang? Ohooo. Masih ada satu perempuan yang suka sekali bolak-balik ke rumah Eyangnya. Ia tahu kalau ada maksud dibaliknya. Tapi lagi-lagi, ia hanya akan menolak. Ia tak tertarik. Mungkin karena hatinya sudah dipenuhi oleh orang lain. Apa salahnya kalau mantan yang masih di hati? Eaaak! "Ndak usah lah. Untuk apa susah-susah yo." Bayu terkekeh. "Tak kira kamu balik ke Jogja sini dah bawa anak sama istri, Nath." Nathan terkekeh. Ia bahkan tak terpikir apapun dengan rencana seperti itu. Ia kembali memang untuk menemani Eyang dan mencari seseorang yang ia rasa akan menjadi pelabuhan terakhirnya. Karena setelah sekian lama, ketika ada banyak perempuan yang berada di dekatnya, tak satupun yang berhasil mencuri hatinya. Di dalam hatinya, masih hanya satu gadis itu saja. Jadi mau bagaimana lagi? "Mikirnya kok begitu jauh, Bay." Bayu terkekeh. "Bukannya mikir jauh itu. Tapi lelaki seusia kita ini emang udah waktunya menikah. Dua puluh delapan tahun itu ndak muda lagi, Nath. Sudah cukup matang untuk berumah tangga. Jangan buang-buang waktu katanya. Rezeki itu akan mengikuti." Nathan hanya bisa terkekeh lagi. Ia tak punya jawaban selain memang takdirnya yang begini. Ya mau bagaimana lagi? Bukan kah jalan hidup masing-masing orang memang berbeda? Ya kan? "Menikah itu memang harus dipikirkan matang-matang sih, Nath. Tapi kalo orangnya selevel kamu yo sudah cukup pandai untuk menilai lah." Nathan hanya tersenyum kecil. Berbicara itu mudah. Tapi mengingat jilbab itu, membuat Nathan sadar betul. Ia merasa belum cukup ilmu untuk menjadi seorang imam rumah tangga. Ia sadar betul akan beban berat yang dipegang sebagai imam hidup itu tak akan mudah. Nathan akhirnya menyadari betul kalau makna berumah tangga itu bukan hanya sekedar cinta. Seperti kisah ibu dan ayahnya yang pahit dan hampir bubar hanya karena pondasi rumah tangga yang kurang iman. Ternyata, memang tidak segampang itu membangun rumah tangga. Menghancurkannya mungkin hanya membutuhkan waktu yang sangat singkat. Pulang dari makan bersama di restoran sate milik Bayu, ia berpikir banyak hal hingga tak bisa berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaannya. Alih-alih beristirahat sebentar untuk nanti dapat melanjutkan, ia malah beranjak keluar dari kantornya. Kemudian berjalan menuju mobil dan mengendarainya agak jauh dari sana. Tujuannya? Toko buku. Kalau membicarakan toko buku ini, ia paling sering meledek Azzura dulu. Si anak kutu buku yang sangat disiplin dan paling takut berhadapan dengan hal-hal yang dapat melanggar aturan sekolah. Mengajaknya bolos adalah hal yang mustahil. Azzura tak akan mau. Gadis itu malah akan menceramahinya. Ketika mengajaknya berkencan, tujuannya selalu satu. Apa? Toko buku. Apa asyiknya pacaran di toko buku? Hahaha. Tapi begitu lah Azzura. Perempuan yang ia cintai dan apa adanya itu. Kini ia mampir ke toko buku bukan untuk nostalgia tentang Azzura. Tapi mencari sebuah buku untuk dijadikan sumber belajar demi dapat menyerap ilmu baru untuk masa depannya. Masa depan? Masa depan keluarganya nanti. Hahaha. Buku apa yang ia cari? Tentu saja pernikahan. Tentang bagaimana menjadi imam rumah tangga yang berilmu dan juga berakhlak. Karena begini, mungkin banyak yang berilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya dengan benar. Menyedihkan? Ya. Maka Nathan yang tidak sempurna ini hanya ingin belajar sedikit demi sedikit memperbaiki hidupnya. Bukan hanya untuk menjadi seorang imam rumah tangga yang baik. Tetapi juga menjadi seseorang yang lebih baik di harapan Tuhannya. Bukan kah tujuan hidup itu adalah untuk-Nya? Bukan untuk orang lain? @@@ Jutek. Kata itu terus muncul di benaknya. Rasanya belum genap satu minggu di sini, ia belum menemukan sebuah kejadian menarik dan orang yang menarik sebelum kejadian tadi. Ia tersenyum kecil kemudian melanjutkan langkah menuju parkiran motor. Jadwal pulang sekolahnya memang selalu terlambat. Lebih asyik kalau bermain bola dulu bersama teman-teman baru yang juga asyik. Ia merasa klop dengan isi kelas yang dipenuhi anak-anak berandal. Hahaha. Dalam waktu singkat, ia bahkan sudah masuk geng pembantai yang suka tawuran. Tapi belum ada jadwal tawuran dalam waktu dekat. Mungkin hanya menunggu waktu. Ia mengendarai motornya menuju sebuah mall yang tak begitu jauh dari rumahnya. Meski baru satu hampir sebulan di sini, ia sudah banyak menjelajahi berbagai tempat hiburan di Jakarta. Mulai dari mall hingga bar. Ia ikut berkumpul kalau diminta. Namun tak ikut minum, alasannya? Ia masih tahu kalau agama melarang. Meski ia tak menyebutkan alasan itu secar agamblang, teman-temannya memberinya julukan lelaki aneh karena sikapnya yang seperti pemberi harapan. Ia tampak seperti lelaki nakal sekaligus baik-baik dalam satu waktu yang sama. Bukan kah ini adalah kombinasi yang aneh? Ia turun dari motornya lalu berjalan menuju lantai di mana banyak jualan barang elektronik. Tujuannya? Tentu saja mengganti ponsel jelek yang sudah hampir hancur di tangannya. Hanya karena tak sengaja, jadi berbuntut panjang. Tapi tak apa. Hahaha. Karena wajah yang tadi benar-benar menarik sampai membuatnya tak bisa berhenti tersenyum hingga sekarang. "Mas, ini masih bisa diperbaiki?" Ia mencoba ke bagian service center terlebih dahulu. Meski tak yakin pula. Tadi ia sudah sempat membongkarnya lalu memasang ulang. Tapi hasilnya percuma. Tak mau menyala. Ia menunggu setidaknya sekitar setengah jam sampai akhirnya, si mas-mas itu muncul lagi dengan gelengan kepala. "Kalau ini sih mending beli baru aja, Mas," begitu katanya. Sudah menyerah karena memang yaaah tidak bisa diselamatkan. Sejak awal, layarnya sudah banyak yang retak. Meski masih bisa digunakan tapi karena kejadian tadi, tampaknya tamat langsung riwayatnya hingga tak tertolong. Nathan mengangguk-angguk. Ia pamit dari sana lalu pergi ke ATM center. Sebagai anak SMA yang masih menggantungkan uang saku pada orangtua, ia tak begitu punya banyak uang. Namun sepertinya masih mampu mengganti ponsel ini dengan yang baru. Karena apa? Karena setelah ini, ia bisa berhemat. Hahaha. Atau mungkin berbohong sedikit agar bisa meminta uang lagi pada ibunya. Itu adalah persoalan gampang. Yang penting sekarang, ia harus bertanggung jawab dengan ponsel yang sudah almarhum ini. Sisa saldo......2,5 juta rupiah. Ia hanya bisa nyengir melihat sisa uangnya. Untuk ukuran anak SMA, uang itu memang besar. Bahkan yang jajannya mencapai 1,5 juga per bulan meski tinggal di rumah. Yaa ayah dan ibunya memaklumi kalau anak laki-laki cenderung lebih boros. Ia terbiasa diberikan yang banyak pula. Dan setidaknya ia masih punya uang. Mungkin tidak akan tersisa banyak ketika akhirnya ia datang ke sebuah counter untuk membeli ponsel baru. "Yang ini berapa, Bang?" "2,4 juta, Dek. Mau?" Ia menarik nafas dalam. Sisa uang tinggal seratus ribu. Tapi karena tak punya pilihan, akhirnya ia berikan saja uang itu. Seratus ribu masih ada di kantong. Yang di dompet juga masih ada dua ratus ribu sebetulnya. Tapi tadi ia sengaja mengambil semua uangnya karena takut kurang. Ia hanya bisa pasrah. Yang penting kan ia bertanggung jawab. Ya kan? Hihihi. Ponsel pun dibungkus. Ia mengganti dengan merk yang sama dan warnanya juga yang sama. Tak lupa membeli gantungan manis yang tak sengaja terlihat kemudian ia memasangnya. Setelah itu, ia duduk sebentar sembari mengutak-atik ponsel baru itu. Nomornya sudah terpasang tapi saat akan menelepon..... "Mohon maaf...." Ia terkekeh pelan. Gak ada pulsa. Jadi ia kembali ke konter ponsel lalu mengisi pulsa di sana. Kemudian menelepon ke nomor ponselnya. Setelah itu, ia kantongi dan berjalan menuju toko roti. Membeli roti untuk adik kecilnya. Ia baik sekali ya? Hohoho. Sisa uang tinggal sedikit. Isi ATM terkuras habis. Oke tak masalah. Yang penting satu masalah selesai. Ia sudah berusaha yang terbaik kan? Ia kembali mengendarai motornya menuju rumah. Ibunya tak bertanya kenapa ia pulang sesore ini. Bahkan membawa roti pula untuk Vita yang tentu saja disambut seruan hore. "Mandi terus solat, Nath!" Mamanya akhir-akhir ini Rajib mengingatkannya untuk tidak lalai dalam solat. Ia hanya mengiyakan sembari melangkah menaiki tangga menuju kamar. Alih-alih mandi, ia masih sempat mengotak-atik ponsel baru itu. Apa yang ia lakukan? Mengirimi fotonya sendiri dan menyimpan nomornya sendiri di sana. Hahahaa. Beberapa foto selfie sengaja diambil dari berbagai sisi. Tampaknya gadis itu terlaku serius dalam menghadapi hidup. Pasti butuh hiburan kan? Hahahaa. Setelah puas, ia beranjak lalu segera mandi dan tak lama, memang azan magrib sudah berkumandang. Haaah. Solat apa saja yang ia lewatkan hari ini? Hohoho. Kalau itu sih tak perlu ditanya. @@@ Vita melongo ketika mendengar suara pintu kamar terbuka. Masalahnya yang terbuka itu adalah pintu kamar kakaknya. Kok bisa? Ya bisa lah. Bahkan ia sudah rapi. Rapi khas Nathan itu adakah kemeja putih bagian belakang keluar dari celananya. Itu cara mengelabui guru kalau gurunya hanya melihat dari depan. Sehingga akan tertipu dengan penampilannya. "Kamu dihukum?" Mamanya bersuara. Mungkin terheran-heran melihat anak lelakinya yang satu ini sudah rapi di jam enam pagi. Ini adakah suatu kejadian yang sangat langka dan patut dirayakan. Nathan hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tahu kalau ia tampaknya memang parah sekali kalau dilihat dari sisi kelakuan. "Pengen aja, Ma." "Pengennya itu harus setiap hari bukan hanya satu hari." Ia hanya nyengir lalu mengelus kepala Vita dan ikut sarapan pagi hari ini. "Papa kapan pulang dari Inggris, Ma?" Pergerakan tangan ibunya sempat terhenti andai ia memerhatikan. Tapi Nathan tak menyadari itu. Ia sibuk menguncir rambut Vita. Gadis itu sebal karena elusan Nathan tadi membuat karet rambutnya lepas dan rambutnya berantakan. Gadis kecil itu bahkan sedang mengomel sekarang. Bagaimana mungkin ia tak jengkel? "Oooh," Mamanya membalik badan. Lalu ia menaruh nasi goreng di atas piring masing-masing. Memang tak ada datu pun yang tahu apa permasalahan yang sedang terjadi sebetulnya. "Nanti mungkin. Katanya urusannya belum selesai. Kalau sudah selesai, pasti akan pulang." Nathan mengangguk-angguk. Percaya. Berhubung ia memang tak begitu tahu pekerjaan Papanya meskipun tahu jabatannya. Usai makan, ia segera pamit dan berangkat ke sekolah. Adiknya tentu saja diantar ibunya dengan mobil. Sementara ia berangkat dengan motor. Ia mengendarai motor dengan amat santai pagi ini. Meski lalu lintas di Jakarta sudah sangat padat. Namun karena ia pandai meliuk-liuk di jalanan, kurang dari sepuluh menit ia sudah tiba di sekolah. Jaraknya sebetulnya tak begitu jauh andai pandai mengendarai. Kadang juga terjebak macet tapi itu terjadi jika Nathan berangkat di atas jam setengah tujuh pagi. Kalau berangkat sebelum itu, ia masih bisa menikmati pagi hari dengan tidak begitu terburu-buru. Ia sudah tiba di sekolah. Masih jam enam lewat dua puluh menit. Ia turun dari motor gedenya yang berwarna putih. Kemudian berjalan menuju kelas X1 yang berada cukup jauh dari parkiran. Langkah kakinya begitu santai, ia juga bersiul-siul. Tiba di kelas, dua cewek di kelas Azzura tentu saja kaget. Murid baru yang hangat dibicarakan, malah muncul di sini. Ganteng lagi di pagi hari ini. Hahaha. "Bangkunya Azzura yang mana ya?" tanyanya. Salah satu cewek itu menujuk bangku di barisan kedua di dekat jendela. Ia berjalan mendekat bangku itu kemudian duduk sebentar di sana untuk mengecek lacinya yang super bersih dan itu membuatnya tersenyum kecil. Setelah itu, ia mengeluarkan kotak yang sudah dibungkus cantik semalam oleh adiknya di laci gadis itu. Untung adiknya bisa diajak kompromi kalau soal cewek. Hahaha. "Titip ya," tuturnya pada kedua teman sekelas Azzura yang sampai lupa berkedip melihat wajah gantengnya pagi-pagi. Hal yang membaut dua perempuan itu nyaris pingsan. Nathan dan pesonanya memang dahsyat. Dua puluh menit kemudian, Azzura muncul. Gadis itu turun dari angkot. Matanya sudah risih melihat beberapa kakak kelas berdiri di dekat gerbang untuk menggoda-goda anak cewek yang lewat. Untung saja, tak lama kemudian mereka dibubarkan oleh guru piket. Azzura tak tahu ini jam berapa karena ia tak memakai jam tangan. Tapi seharusnya tidak telat. Karena ia berangkat seperti biasa dari rumah tantenya. Jam enam pagi biar gak terjebak macet parah di jalan. Namanya juga Jakarta ya. Tapi laju angkot yang ia tumpangi memang lebih lamban karena sepi penumpang. Hanya angkot yang ia tumpangi seperti itu karena yang lain itu malah penuh. Ia berjalan seperti biasanya menuju koridor kelas X. Tapi dari kejauhan saja, teman-teman sekelasnya sudah heboh. Mereka berseru-seru menyebutkan nama Azzura. Kening Azzura mengerut. Saat ia tiba di pintu kelas, mejanya sudah dipenuhi teman-temannya. Ada apakah? "Kado kaliii!" "Buka! Buka! Buka!" "Hape baru tuh kayaknya!" seru Aldo. Cowok itu baru saja selesai menyiram tanaman di depan kelas tapi langsung berlari menuju bangkunya. Lalu Azzura didorong-dorong yang lain agar segera ke bangkunya. Ada apa sih? Ia jadi semakin bingung namun juga penasaran. "Zuraa! Zuraaa buruaaan!" Tiga sahabatnya lebih heboh memanggilnya. "Apaan.....," ia kehilangan kata-katanya begitu mendekat dan melihat sebuah kotak yang dibungkus kertas kado warna pink. Tampak manis sekali tapi bukan itu yang menjadi fokus utamanya. Matanya justru tertuju pada apa yang ada di dalamnya. "Katanya si Randu itu dari Nathan!" "Iya! Iya! Tuh cowok datang pagi banget!" "Pasti gantiin hape lo yang dijatuhin sama dia kemarin tuh, Zur." Azzura menghela nafas. Kemudian ia melepas tasnya dan bergerak duduk di bangkunya. Ia membuka kertas kado itu dengan perlahan. Kenapa banyak yang menyaksikan begini? Diusir pun tak akan mempan. Teman-temannya memang begitu penasaran dengan isinya. Ketika membuka...apakah benar tebakan Aldo? "Apa gue bilang tadi?! Hape baru tuh udah pasti!" Zura menghela nafas melihat kotak ponsel itu. Tampak mahal tapi itu memang sama dengan ponselnya dulu. Masalahnya..... Matanya justru menangkap kertas yang terselip di dalam kotak itu. Ia sadar kalau ia masih menjadi pusat perhatian. Jadi ia langsung menyimpan kertas itu ke dalam laci. Akhirnya ya tentu saja mengundang seruan teman-temannya. "Huuuuuuuuuu!" "Gak asyik lu, Zuuuur!" "Mau lihat kali, Zuur, iih!" "Paraah iih! Si Zura gak mau bagi-bagi coba!" Zura menghela nafas. "Bubar! Bubar!" Tentu saja ia langsung disorak. Hahaha. Tapi ia sebodo amat. Alih-alih senang, dengan hadiah ini, ia malah jengkel. Bukan ini yang ia mau sebenarnya. Ia hanya ingin ponsel lamanya kembali. Ia tak merasa perlu diganti dengan yang baru. Untuk apa coba sampai diganti yang baru? "Tuh anak baru di mana sih?" Ia jadi bertanya-tanya. "Jangan dikembaliin loh, Zur." Ia mendengus. "Tauk ih! Lo kenapa sih, Zur? Udah diganti gitu kok malah gak seneng," celetuk Ani yang kini duduk di sebelahnya. "Bukan gitu," ia menarik nafas dalam. "Menurut gue, ini berlebihan banget. Gue gak enak lah." Ia jelas merasa keberatan. Ya Ana agak-agak setuju sih. Tapi menurutnya wajar kalau diganti kalau memang rusak parah. Ya kan? "Ntar mau gue balikin aja deh. Terus minta hape lama gue. Temenin gue ya, Ni?" Ani menggeleng-gelengkan kepalanya. Jelas bingung dengan pikiran sahabatnya ini. "Harusnya lo tuh berterima kasih tahu sama dia, Zur. Udah diganti gitu terus dikasih yang baru pula." "Tauuuk! Udaaaaah terima aja!" Ana yang duduk di depannya ikut menyeletuk dan berubah pikiran dalam sekejab. Hahaha. "Kapan lagi coba dapat hape baru, Zuuur? Gratis lagiiii ditambaaah," ia sengaja memberi jeda. Mata Zura langsung memincing curiga. "Yang ngasih juga ganteng bangeeet. Ye gak, Niii?" Kedua orang itu malah bertos ria. Kepala Zura pusing seketika. @@@ Kisah awal ia melihat wajah Azzura ada di salah satu postingan Nata. Ia yakin kalau itu adalah Azzura meski tak ada akun atas nama Azzura yang ditandai di sana. Ia tak mungkin lupa dengan wajah Azzura meski penampilan ya sudah jauh berbeda. Ia langsung mengirimi Nata pesan kala itu. Hanya sekedar ingin memastikan kalau itu adalah orang yang sama yang pernah ia kenal. Nat, itu Azzura bukan? Yang pakek kerudung merah? Marun maksud lo? Terserah lah. Ia tak peduli dengan nama-nama warna. Nata usil sekali. Kok bisa kenal? Kenal dari mana? Nata jelas heran. Karena setahunya Azzura bahkan bukan salah satu mahasiswa Inggris. Gadis itu tak pernah kuliah atau tinggal di luar negeri. Bagaimana Nathan bisa tahu? Gue ke rumah deh. Ia hanya menjawab begitu. Begitu tahu bagaimana kisah yang pernah terjadi, Nata jelas tertawa lah. "Dunia sempit sekali." Begitu komentarnya kemudian dilanjut lagi dengan tawa. Karena ia benar-benar tak menyangka. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN