Bukan Takdir

3104 Kata
Usai pemakaman dan pengajian untuk ibunya di rumah Eyang, Papanya dan Vita kembali ke Inggris. Masing-masing dari mereka memang terpisah untuk masing-masing kesibukan. Untuk sampai di titik ini pun perlu perjuangan. Nathan sadar betul bagaimana keluarga mereka dulu yang sempat retak akhirnya bisa bertahan setelah badai yang kian ganas mengancam. Memang tidak akan ada hidup yang selalu mulus berjalan. Karena itu lah yang dinamakan dengan hidup. Nathan sibuk di halaman belakang rumah Eyangnya yang tadinya sempat terbengkalai. Ia juga terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan. Sampai lupa kalau mempunyai misi untuk mengurusinya. Ada banyak hal yang ingin ia perbaiki dari teman sederhana ini. Setidaknya bisa menjadi tempat untuk Eyangnya bersantai di atas kursi roda. Kalau Eyang kakungnya sih sudah biasa berjalan kaki. Meski kadang-kadang dibantu dengan tongkat. Maklum lah, penyakit orangtua memang begitu. Namanya juga lansia. Usai berbenah di halaman belakang, Nathan kembali ke dapur. Ada bibi di sana yang sedang memasak untuk makan siang. Eyangnya tampak mengobrol dengan pamannya di samping rumah. Sementara ia berjalan menuju halaman depan. Kali ini yang akan ia tata adalah bagian teras dari rumah Eyangnya. Sementara itu, di sisi lain, Azzura baru saja keluar dari kosannya. Mereka hendak kulineran di Jogja. Ada banyak makanan yang belum pernah dicoba. Terutama makanan-makanan yang baru. Perkembangan Jogja sebagai daerah wisata tentu saja sudah dikenal sejak dulu. Kulinerannya juga mulai bermacam-macam. Kali ini yang menjadi tujuan mereka adalah penjaja makanan Korea di pinggir jalan. Harganya tentu saja lebih murah dibandingkan dengan restoran. Mereka naik ojek online menuju ke sebuah daerah yang sebetulnya agak jauh dari kosan. Tapi demi makanan, apapun dikejar. Tiba di sana, langsung berkeliling mencari-cari makanan yang ingin dicicip. Ada banyak makanan. Mulai dari tteokbokki atau kue beras dengan tekstur kenyal dan saus merah yang pedas manis. Lalu ada odeng juga. Ada bungeoppang atau kue yang berbentuk ikan. Konon, katanya melambangkan keberuntungan. Ada pula hweori gamja atau yang berarti kentang tornado. Bentuknya unik, sangat menggugah selera. Kentang tersebut dipotong berbentuk spiral dan ditusuk seperti sate. Yang ini sudah biasa ditemui sebetulnya. Yang Azzura tahu, sebelum banyak orang yang heboh dengan Korea, kentang ini menang sudah banyak dikenal. Azzura juga melihat gimbap. Sudah biasa sebetulnya. Azzura bahkan bisa membuatnya. Ada pula sundae. Bukan sundae es krim yang sering kita temui di kedai-kedai makanan cepat saji lho. Sundae asal Korea ini bentuknya seperti sosis yang disajikan dengan cara dipotong-potong. Jajanan yang satu ini terbuat dari usus sapi atau babi yang berisi mie, darah babi, barley, scallion, dan dicampur dengan bumbu-bumbu lainnya. Adal pula gorengan khas Korea, yaitu twigim. Kalau Indonesia punya jajanan pinggir jalan gorengan, Korea juga punya gorengan, kok. Bedanya, gorengan ala Korea ini sangat sederhana, hanya sekadar dibalurkan ke tepung, lalu digoreng begitu saja. Biasanya terdiri dari telur, ubi, udang, cumi-cumi, bakso, paprika, hingga sayuran. Biasanya orang Korea memakan twigim dengan kecap asin atau dengan saus tteokbokki. Lalu ada dakkochi. Bukan cuma Indonesia saja yang punya sate ayam, ternyata Korea juga punya. Kalau sate ayam Indonesia dibumbui saus kacang, di Korea dibaluri dengan bumbu saus manis dan saus pedas. Ini yang disebut dakkochi. Terakhir yang Azzura tahu di sudut area jajanan ada yang berjualan hottoek. Jajanan yang satu ini sejenis pancake, tapi yang ini digoreng. Isinya kacang tanah, biji wijen, dan madu. Ada pula yang mengisinya dengan sayuran. "Kalau harus naik berat badannya, harus barengan," tutur Ridha. Azzura tertawa. Seharusnya ia yang berkomentar seperti itu. Karena badannya yang gampang melar. Tapi kalau kata Ridha, dagingnya tak banyak. Tulangnya yang besar. Usai membeli beberapa makanan, keduanya duduk-duduk di jalanan. Hanya beralaskan bekas koran sembari menikmati makanan yang mereka beli. Lalu menghabiskan waktu dengan obrolan hingga siang hari. Mereka sudah puas berkeliling Jogja. Sampai tak tahu tempat mana lagi yang harus disinggahi. Kenangan setahun terakhir di sini memang menyenangkan. Meski sekarang sudah berbeda kesibukan. Ridha masih sibuk kuliah. Karena aturan fakultas, semester tiganya hanya diisi oleh penelitian tesis. Sementara semester empatnya diisi mata kuliah yang masih tersisa. Sementara Azzura justru kebut-kebutan dengan banyaknya mata kuliah yang harus dihabiskan dalan dua semester saja. Tak heran kalau selesai lebih cepat. Semester ketiganya hanya diisi dengan tesis. Ia jadi lebih fokus dan tentunya hemat biaya. Usai makan, mereka akhirnya memutuskan untuk mampir ke restoran lain demi mencari nasi. Baru kemudian pulang. Tak ada hal menarik. Mencari jodoh di Jogja saja terasa begitu halusinasi bagi Ridha. Susah sekali. Alasannya? "Kebanyakan cowok-cowok di fakultas gue itu ya yang usianya jauh lebih muda. Mungkin karena tren S2 sekarang itu berubah." Tren S2 gak lagi didominasi sama yang bekerja tapi kebanyakan fresh graduate yang memiliki berbagai alasan untuk memutuskan melanjutkan kuliah lagi. Misalnya, kesulitan mendapat pekerjaan sehingga ya daripada menganggur di rumah lebih baik kuliah lagi saja. Toh orangtua juga mampu. Mereka ini yang menurut Ridha, populasinya paking banyak di kampus. Ada juga yang sudah bekerja tapi usianya yaaaa kebanyakan terlalu tua. Rata-rata pegawai negeri yang melanjutkan kuliah dengan beasiswa. Ya jelas tak bisa mencari jodoh dari sana karena kebanyakan dari mereka juga sudah menikah. Kalau yang seusianya dan Azzura tentu saja sudah banyak yang mungkin lulus S2. Karena ada kemungkinan mereka melanjutkan kuliah lebih dulu. Ada juga yang mumpuni dengan pekerjaan sehingga ruang lingkupnya jelas tidak bersangkut paut dengan Ridha. Tapi meskipun kemungkinan untuk bertemu itu seperti sebuah mustahil, Ridha maupun Azzura masih sama-sama yakin kalau kakak akan menemukan dia yang dicari. Akan ada seseorang yang membaut mereka tertarik dan akhirnya memutuskan untuk berumah tangga. Bukan kah itu bagai sebuah dongeng yang berakhir bahagia? "Bahkan dari survei terakhir itu, Zura. Gue baca ya. Yang duda aja pada nyarinya yang janda lagi alih-alih yang masih single. Gilak! Yang duda aja gak mau ngelirik gue!" Azzura tak bisa menahan tawanya. Keduanya sudah tiba di kosan. Sudah berbaring santai. Lelah juga berjalan-jalan ria padahal tempat yang dikunjungi juga tak begitu jauh. Mereka hanya pergi selama hampir empat jam saja. Jarang-narang bisa begini. Lumayan untuk melepas stres. Zura bahkan masih ingat ketika mereka tiba di Jogja dulu, mereka bahkan tak pernah jalan-jalan ke mana pun selama satu semester pertama. Saking sibuknya dengan berbagai tugas. Rasanya seperti hampir tewas. "Belum jodohnya kali. Dan lagi, kita kan gak butuh banyak lelaki, Dha. Dalam artian, kita hanya butuh satu. Pasti ada deh satu yang tertarik sama kita dari sekian banyak orang yang tidak tertarik itu." Ridha mengangguk-angguk. Ya sih. Sementara Azzura? Bukannya tak mau menggelisahkan jodoh. Ia lebih realistis saja. Bahwa tak ada sesuatu yang namanya abadi di dunia ini kan? Pasti ada akhirnya kan? Maka itu, ia lebih memilih untuk fokus pada kehidupan akhir saja. Urusan sisanya? Ia serahkan sepenuhnya pada Allah semata. @@@ "Nathan, beneran yo?" Teman-temannya baru tahu kalau ada gosip Nathan pindah sekolah. Ia hanya berdeham. Tak begitu mengurusi gosip-gosip itu lagi. Yang jelas, begitu acara kepindahannya pada semester depan disetujui pada guru, ia mendadak bersikap baik. Hahaha. Sudah jarang tawuran. Ya itu bukan karena ia ingin berubah melainkan memang sudah damai dengan pihak yang selama ini selalu mencari-cari masalah dengannya dan teman-temannya. pacar-pacar-pacarnya juga sudah ia putuskan. Alasannya? "Aku itu orangnya ndak bisa jauh dari kamu tho. Dari pada nanti putus juga karena ndak kuat LDR ya mending putus sejak awal." Titel cowok b******k pun tersemat di keningnya. Ada sepuluh perempuan yang sempat mengamuk di depan rumahnya. Hahaha. Gak sih. Gak di depan rumah. Hahaha. Ia bisa habis diomeli ibunya kalau sampai hal semacam itu terjadi. Teman-temannya geleng-geleng kepala saat mendengar banyak perempuan yang menjadi mantan Nathan protes karena diputuskan dengan alasan tak bisa LDR. Itu sesuatu yang masuk akal. Tapi mereka menduga kalau itu hanya alasan Nathan saja agar bisa putus. Dan itu memang benar. Tidak salah juga kan? Nathan memang sudah ingin mengakhiri. Bukan karena ia ingin mendadak berubah. Tapi memang sudah bosan. Kalau dipikir-pikir, untuk apa pula ia pacaran dengan mereka? Nah alasan ini yang tidak bisa Nathan pahami dari dulu sampai dengan sekarang. Dibilang mencari cinta? Tidak juga. Tapi ia cenderung menyalahkan mereka karena mereka sendiri yang datang padanya. Seolah menjual diri. Bahkan tak segan menawarkan ini-itu padanya. Seperti apa? Ya seperti yang kebanyakan orang tahu. Mengerikan ya? Nathan bukan sok alim. Tapi ia sadar kalau ia punya ibu yang ia hormati dan adik perempuan yang hendak ia jaga. Ia hanya tak mau sesuatu bernama karma menimpa keluarganya hanya karena kelakuannya yang b***t. "Nathan! Kok ndak dijawab?" Ia tersenyum kecil lantas menoleh ke arah kanan. Sedari tadi ia sibuk dengan buku. Bukan mendadak ingin belajar tapi ya sedang ingin mengerjakan tugas meski caranya adakah memalak anak paling pintar di kelas mereka tadi pagi. Hahaha. Yeah, Nathan mau mengerjakan tugas sendiri meski dengan menyontek itu adalah sebuah kemajuan. "Iya. Aku sama keluarga bakal pindah ke Jakarta." Mereka tampak kaget mendengarnya. Ini pertama kalinya mendengar dari mulut Nathan."Kenapa?" "Ayahku kan di sana." Aaaah. Teman-temannya mengangguk-angguk. Pantas saja. Mereka juga tahu kalau Ayah Nathan itu salah satu pejabat minyak di Jakarta. Ya maksudnya BUMN. Posisinga bahkan sangat strategis. Menjabat salah satu posisi direktur juga. Meski Nathan juga tak tahu persisnya apa. "Ndak balik lagi ke Jogja?" "Kalau liburan mungkin." "Yaaaah." Teman-temannya tampak bersedih. Nathan terkekeh. Ia juga sadar kalau akan merasa kehilangan nantinya. Tapi mau bagaimana lagi? Ini adalah pilihan yang ibunya ambil. Yang otomatis akan membuat mereka ikut dan tak bisa menolak karena memang tidak tersedia pilihan. Mana mungkin Nathan tetap menetap di sini bukan? Meski ada Eyangnya, rasanya tetap saja berbeda. Ia sudah terbiasa tinggal bersama kedua orangtuanya. Bukan hanya teman-temannya yang merasa kehilangan. Para perempuan di sekolahnya juga begitu. Ia mendadak sering mendapat banyak hadiah di hari-hari terakhir sekolah. Mereka menyayangkan kepindahan Nathan di akhir semester satu ini. Karena baru saja memulai masa SMA dan sudah harus terpisah. Menyedihkan bukan? Tapi mau bagaimana lagi? Kalau Nathan justru tak bersedih. Ia tahu kalau ia akan segera bertemu teman baru lagi. Bukan berarti akan melupakan mereka yang ada di sini. Mereka mungkin akan menjadi kenangan. Tapi kenangan tak akan pernah dilupakan. @@@ "Nathaaan!" Suara eyangnya menggelegar meski sudah tua. Ia terkekeh-kekeh sebelum menyahut. "Iya, Eyaaaaang!" Ia segera berjalan turun menuruni tangga lalu berjalan menuju dapur. Eyang putrinya sudah duduk di kursi makan bersama eyang kakungnya. "Cepat duduk dan segera lah untuk makan." Ucapan itu terdengar setengah jengkel. Walau ia tersenyum kecil melihat cucunya yang sudah sangat dewasa. Usia yang sudah mencapai 28 tahun. Rasanya seperti lama tak melihat cucunya ini Padahal setiap tahun Nathan dan keluarga selalu datang ke Yogyakarta, yaaa setidaknya sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Menantunya atau ayah Nathan itu orang melayu. Lelaki melayu Penang dari Malaysia yang kuliah di UGM dan bertemu dengan ibunya di sana. Yaa pasangan kampus. Lalu menikah dan hidup terpisah. Ayah Nathan tinggal di luar kota untuk bekerja sementara ibu Nathan masih menyelesaikan studi S2 di UGM. Lalu malah asyik dengan hubungan jarak jauh. Karena ibunya malah mendapatkan pekerjaan sebagai dosen di UII (Universitas Islam Indonesia) yang ada di Yogyakarta. Lalu ibu Nathan mengalah dengan berhenti bekerja dan menyusul ayah Nathan yang waktu itu pejabat BUMN. Hanya 1,5 tahun, Nathan dan keluarganya tinggal di Jakarta. Kemudian pindah ke Inggris karena ayah Nathan memutuskan untuk pindah ke British Petroleum yang bermarkas di Aberdeen, Inggris. Lembaran hidup Nathan yang baru dimulai di sana. Ia bahkan menyelesaikan S2 kemudian bekerja lama sebagai arsitek di konsultan terbesar di Inggris. Lalu? Ia akhirnya berpikir untuk kembali ke Indonesia setelah melihat kembali wajah Azzura yang masih ada di dompetnya. Meski dompetnya sudah berkali-kali diganti namun foto Azzura masih di sana. Yang bahkan kalau sekarang dompetnya dibuka pun, masih ada foto Zura yang tersenyum bersamanya malu-malu di depan kelas. Manis dan romantis? Merema terpisah selama dua belas tahun lalu. Tanpa kabar berita apapun. Tak pernah berhubungan apapun lagi sejak terakhir putus ditambah kepergian Nathan ke Inggris. Ya begitulah kisah singkatnya. "Orang yang punya pacar itu harus sabar sama pasangan yang dimilikinya. Apa lagi yang nggak punya. Itu lebih pahit." Ia baru tiba di teras dan om-nya sudah meledeknya dengan bahasa jawa. Lebih tepatnya dengan kata-kata lelucon. Ia hanya bisa tertawa kecil. Yaaa diledek karena tak punya pasangan dibandingkan beberapa sepupu Nathan yang seumuran lainnya. Tapu ia malah terlihat santai. Ia mengambil duduk lantas ikut mengobrol sampai tengah malam sembari ditemani kopi bersama para lelaki. Yeah obrolan mereka tak jauh, masih seputar bola dan perempuan. Orang yang berstatus sebagai om-nya itu hanya berbeda tiga tahun lebih tua dibandingkan dengannya. Bahkan lebih tua kakak Nathan dibandingkan om-nya itu. Ya itu karena orangtua Nathan dulu menikah muda. Menikah semasa masih sama-sama kuliah. Memang keputusan yang cukup gila. Tapi hebat, ayahnya sangat bertanggung jawab. "Gak nyari pacar lagi, Nath?" Nathan hanya tersenyum kecil. Niatnya sih begitu tapi sekalian mau dijadikan istri saja. Cuma yaaa tidak mudah kan ya? Ia juga enggan mencari perempuan yang baru. Ia lebih suka seseorang yang sudah lama dikenalnya dan mungkin menjadi bagian dari masa lalunya? Rencananya begitu. Karena menurutnya akan lebih muda pendekatannya karena ia sudah cukup tahu banyak kepribadiannya. Lalu ia mengingat bagaimana pertemuan lalu. Ya tak bisa disebut sebuah pertemuan juga. Tapi sebut saja ia melihat gadis iru kembali. Ia ingat cara berjalan Azzura, dari gaya pakaiannya, dari caranya menjaga jarak dengan laki-laki, Nathan sudah tak menemukan Azzura yang dulu lagi. Selain itu, auranya jelas berbeda. Aura perempuan solehah yang yaaah tak pernah ia temukan lagi. Jadi sekarang Nathan mencoba untuk memutar arah. Ia mengganti cara pendekatan yang bisa memikat hatinya kembali. Mungkin tak akan pernah bisa seperti dulu ketika ia pernah melakukannya dengan cara mendekati dan mengusili dalam waktu yang sama. @@@ "Rame banget," gumamnya. Ia agak bingung dengan keramaian. "Ada pertemuan dengan vendor baru, mbak." Keningnya mengerut lalu sebelah alisnya terangkat. "Vendor? Vendor apaan, mas?" "Itu loh, Mbak. Yang gedung baru di fakultas kan mau dibuat." Aaaah oke. Ia mengangguk-angguk. Setahunya memang ada yang mau dibangun. "Ooh udah dapat ya?" "Iya katanya itu yang lolos masih perusahaan baru." Sebelah alisnya terangkat. "Tapi yang punya perusahaan sudah punya banyak pengalaman di luar negeri. Ganteng lagi, mbak." Azzura terkekeh-kekeh. Harus banget ya wajah ganteng dibawa-bawa? "Sampe jam berapa pertemuannya?" "Meeting katanya sampe jam sebelas siang nanti." Lalu ia melihat jam di dinding. "Harusnya bentar lagi selesai sih, mbak. Tapi kayaknya mau keliling dulu ngeliatin lokasi sekitar gedung yang mau dibangun itu." "Kalau gitu, berarti saya nanti siangan aja ke sini lagi ya, mas." Si administrator departemen itu mengangguk sementara Azzura balik badan. Akhirnya ia malah berbelok ke arah kantin yang sudah diisi banyak mahasiswa. Kemudian berjalan menuju bangku di pojok kantin yang masih kosong. Ia memesan makanan berat untuk makan siang hari ini. Apa ya? Ia malah masih berpikir. Lalu ponselnya berdering. "Iya, kenapa, Dha?" Gadis itu katanya mau ke sini. "Lo di mana sekarang?" Ridha bertanya-tanya. "Gue di gedung fakultas gue sih tapi gabut banget. Mau pulang tapi entar kudu balik lagi. Kalo pulang, gue pasti mager. Mana dosen gue juga batalin tiba-tiba jadwal bimbingannya. Sumpaah! Katanya ada meeting gitu di fakultas elo." Aaaaaah. Sepertinya ia tahu kenapa meeting itu tiba-tiba dibatalkan. "Teknik ya cuy?" Terdengar deheman dari Ridha. "Fakultas gue mau bangun gedung baru gitu. Jadi mungkin dilibatin sama fakultas gue jadi sekarang pada meeting. Gue juga tadi mau ketemu dosen senior sekalian. Gimana kalo lo mampir aja ke fakultas gue? Gue di kantin nih, makan siang." "Wokeee. Kebetulan banget gue belum makan apapun dari pagi," tuturnya yang membuat Azzura terkekeh. Yeah namanya juga anak kosan. "Ya udah, nyusul aja buruan." Lalu ia mengirim lokasi keberadaannya dan kembali pada menu makanan. Kemudian ia segera memesannya. "Eh di sini ternyata, Zura!" Azzura menoleh. Lalu melihat Nata. Dosen yang lebih senior dibandingkan dengannya. Dulu sih sempat menaruh hati. Sayangnya, lelaki ini telah menikah beberapa bulan lalu dengan mahasiswi yang ada di kampus ini juga. Azzura sempat patah hati sedikit sih. Ya kan namanya juga lelaki idaman. Sayangnya bukan jodoh dan lelaki itu tampaknya tak tertarik padanya ya? Hahaha. "Istrinya mana?" "Lagi ada kelas," tuturnya lantas menarik kursi, ikut bergabung dengan Zura. "Belom makan juga ya?" "Sekalian lah. Entar padat jadwalnya jadi susah makan." Azzura mengangguk-angguk. Mereka berbeda program studi. Azzura di mana dan Nata di mana. Tapi sering bertemu karena sering terlibat satu penelitian dan lagi, mereka kan berada dalam satu fakultas yang sama. "Omong-omong," Nata berdeham. Mumpung ada orangnya di depan mata, kenapa tak ia tanya kan saja ya? Hihihi. Memang ada hal yang ingin ia tahu. "Kenapa, mas?" Azzura sibuk membalas pesan dari Ridha yang bawel sekali. Padahal hanya perlu berjalan kaki dari gedung sekolah pascasarjana ke fakultasnya. Ya lumayan sih kalau jalan kaki. Tapi kalau naik ojek akan lebih nanggung. Nata berdeham. "Udah ada yang melamar belum?" Azzura langsung terkekeh mendengar itu. Pertanyaan yang sudah bosan ia dengar. "Emangnya, Mas punya calon buat saya?" ledeknya yang tentu saja bercanda. Nata tertawa. "Seriusan gak ada nih calonnya?" Azzura menyipitkan mata. Tak menganggap serius omongan Nata. Baru hensak bicara tiba-tiba teleponnya berdering. Ia memberi kode pada Zura kalau harus mengangkat telepon. "Gue ada di kantin. Tanya aja lokasinya. Pasti pada tahu." Zura tentu saja tak bisa mendengar suara yang menelepon Nata. "Udah selesai meeting-nya? Oooh. Oke-oke. Tak tunggu di sini yo? Makan aja lah dulu. Kapan lagi makan di sini kan?" Azzura tampak menghabiskan makanannya. Ia benar-benar kelaparan. Sebenarnya ia juga masih menunggu Ridha. Namun karena perjalanan dilakukan dengan jalan kaki, kayaknya agak jauh. Mungkin sudah di depan RSUP dr Sardjito? "Eh iya, Mas. Jadi keinget soal Bacillus thuringensis waktu itu deh. Yang juga bisa menginfeksi manusia lewat makanan transgenik kayak jagung waktu itu." "Ooh yang penelitian waktu itu ya?" "Aku kan baca tuh jurnalnya Mas, yang mengatakan kalau ada gangguan kesehatan dari petani dan keluarganya setelah mengonsumsi makanan itu dalam jangka waktu yang cukup lama." "Oooh yang jagung Bt itu kan?" "Iya. "Azzura mengangguk lagi. Jagung Bt alias Bacillus thuringiensis. Nata maaih ingat persis penelitiannya waktu itu. Sempat masuk surat kabar juga. "Itu dari wawancara singkat sih. Cuma gak begitu banyak respondennya kan. Jadi harus ada penelitian lanjutan yang lebih memadai. Kamu berminat buat ngelanjutin?" Azzura mengangguk-angguk. Itu juga yang rencananya hendak ia ajukan ke dosen senior, atasannya Nata lalu dihimpun untuk dana hibah kampus. "Kemarin ngambil di daerah mana sih mas?" "Di daerah--woi Nath!" Ia malah teralihkan lalu mengangkat tangannya. Azzura mengambil minum. Sepertinya Nata hendak menemui seseorang. Awalnya Azzura tak melihat siapa yang baru hendak datang karena orang itu berjalan dari arah belakangnya. "Gue sempat muter-muter tadi, Nat," tutur orang itu kemudian bertoss ria sementara Azzura baru saja mendongak lalu menoleh dan terpaku sesaat. Hanya tiga detik kemudian ia menormalkan kembali wajahnya. Apa yang ia lihat? "Ridha!" Kebetulan sekali. Ridha muncul di ambang pintu masuk kantin. Gadis itu segera melambaikan tangan dengan senyuman kecil. Ka segera beranjak. "Mas, aku sama temenku dulu ya," pamitnya pada Nata. Ia terburu-buru pindah ke bangku yang lain. Disaat itu lah, Nathan baru sadar siapa perempuan yang bersama Nata. Nata menyenggol bahunya sambil menahan senyum. Hahaha. Bukan takdir ternyata. @@@ Catatan: BUMN : Badan Usaha Milik Negara
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN