Sebelas

1568 Kata
Merlian menuju ruang dosen setelah sampai di kampusnya, sungguh dia tidak membawa apa pun selain tas kecilnya yang berisi USB dan dompet lusuh serta dua pulpen, yang satu pulpen bahkan telah habis tintanya, pernah disedotnya di rumah, namun tintanya beleber dan menghiasi bibirnya menjadi warna biru. Sejak saat itu dia kapok menyedot pulpen dan memilih menggetokkannya di meja. Berharap keluar warnanya. Dia mengetuk pintu ruang dosen yang sudah lama tak dikunjungi. Tampak seorang pria dengan kepala setengah plontos, setengah lagi beruban. Kaca matanya melorot sampai ke ujung hidungnya. Matanya mendelik melihat Merlian yang hanya cengengesan tanpa rasa bersalah. Dosen bernama Anthonius itu mengedikkan dagunya meminta Merlian duduk di hadapannya. Dia menutup laptop yang sejak tadi diketiknya dengan sebelas jari. Ya dua jari telunjuk kanan dan kiri. Usianya memang sudah cukup tua sehingga wajar jika dia tak sefasih dosen lain dalam mengetik. Namun untuk urusan hitung menghitung, tak ada yang bisa menandinginya di kampus ini. “Sudah sebulan kamu tidak ke kampus, ada sesuatu yang terjadi?” tanya dosen dengan bahasa agak baku itu. Merlian tak mungkin menjelaskan kisah yang dilalui satu bulan terakhir ini. Dari pemecatan kerja oleh baba Ahong, bertemu Gustave yang meminta jadi pacar palsunya, adiknya yang terlahir dengan kelainan bawaan yang membutuhkan biaya operasi besar, sampai pernikahannya. “Iya, Pak. Maaf,” ucap Merlian pada akhirnya. Tak mungkin dia mengucap semua cerita yang mungkin akan dinilai tak masuk diakal itu, bisa-bisa dosennya berkata bahwa dia adalah pengarang cerita hallu saja. “Tidak punya ongkos lagi kau?” tanya dosen itu. Merlian hanya tersenyum lebar, mengeluarkan tasnya dan uang seratus ribu, menyerahkan pada sang dosen. “Maaf pak baru bayar hutang sekarang,” ucap Merlian. “Ambillah, bapak tidak ada kembalinya,” tutur dosen itu membuat Merlian menggeleng. “Kembalinya anggap saja bunga pak,” kekehnya. Dosen itu tak mau beradu pendapat, hanya Merlian mahasiswi yang berani meminjam uang pada dosen pembimbing senilai lima puluh ribu karena tak ada ongkos pulang. Sedangkan dia kala itu sudah pulang sangat malam karena menunggunya selesai mengajar di kelas malam. Angkutan perkotaan jelas sudah tidak ada. “Mana ada bunga sampai lima puluh persen memangnya rentenir, ya sudah bapak ambil ya karena kau berkata hutang saat itu,” tukas dosen tersebut, meskipun terkenal galak, namun Merlian tak pernah takut padanya, dia tahu perbedaan antara galak dan tegas. “Iya Pak, terima kasih banyak, maaf baru bayar sekarang.” “Untuk bayar kuliah ada?” tanya dosen itu lagi, Kan merlian tahu bahwa dosen itu sebenarnya baik. Hanya saja memang sedikit judes. “Ada, pak,” ucapnya, tak mungkin dia cerita bahwa dia sekarang sudah menjadi menantu konglomerat, dia tak bisa membanggakan pernikahan di atas materai tersebut. “Kamu sudah baca internet? Baca koran?” Pertanyaan dosen itu jelas membuat Merlian menggelengkan kepalanya. “Kamu ini! Coba lihat ini,” tunjuk sang dosen pada surat kabar yang tergeletak di mejanya, dia membuka halaman di mana tertulis headline berita tentang daftar perusahaan start up yang gulung tikar. Merlian mengambil koran itu. “Petugas administrasi sudah mengirim email ke semua mahasiswa yang membuat skripsi dengan sampel perusahaan-perusahaan itu, semua dosen sudah melakukan rapat darurat dan dengan terpaksa kami semua menolak skripsi tersebut, bagaimana kalian bisa meneliti perusahaan yang gulung tikar? Bukankah hasilnya akan nihil? Salah satu perusahaan tersebut adalah perusahaan tempat kamu meneliti.” “Pak, serius?” ringis Merlian. Anthonius mengangguk. “Saya beri kamu waktu satu bulan dari sekarang untuk membuat ulang skripsi kamu, ganti perusahaan,” ujar Anthonius seraya membetulkan letak kaca matanya. “T-tapi Pak, di mana saya bisa mencari sampelnya?” ringis Merlian, padahal dia sudah selesai mengolah data hanya tinggal merapikan saja, salahnya dia harusnya dia lebih cepat mengerjakan skripsinya hingga lulus sebelum perusahaan start up itu gulung tikar. Merlian hanya mendesah kecewa. “Ya saya tak tahu, kamu cari lah sendiri. Kamu harus tahu kredibilitas saya sebagai dosen pembimbing diragukan karena ada mahasiswanya yang lambat lulus seperti kamu, padahal semua mahasiswa saya selalu menyelesaikan skripsi tepat waktu.” “Maaf, Pak.” “Sudah, sekarang jangan buang waktu, kamu revisi bab satu sampai tiga, kamu. Nih sudah saya periksa, banyak sekali yang salah,” tutur Dosen itu menyerahkan satu bundle skripsi Merlian yang telah diserahkannya bulan lalu. “Baik, Pak. Terima kasih.” “Jangan terima kasih saja, benar-benar dikerjakan, kamu hanya tinggal satu langkah menjadi Sarjana Ekonomi, cepat ke perpustakaan cari literasi lain, lalu kerjakan skripsi kamu.” “Iya, Pak.” Merlian mengiyakan dengan lemah tak gemulai. Sebenarnya dia masih sangat lelah karena resepsi pernikahan kemarin. Namun dia tak mau usahanya kuliah selama empat tahun ini menjadi sia-sia. Setelah berpamitan dia pun meninggalkan ruangan dosen itu. Dia kini duduk di tangga kampus. membuka skripsi miliknya yang nasibnya naas sepertinya. Apakah dosen ini memiliki pekerjaan sampingan jadi pelukis? Mengapa di skripsinya banyak sekali coretan abstrak? Setelah hampir setengah jam memperhatikan coretan abstrak tersebut, Merlian pun menuju perpustakaan, membaca skripsi lain yang sama dengan judulnya untuk literasi, dia menulis dengan singkat di skripsinya bagian yang harus direvisi. Hari ini dia harus bergerak jika ingin cepat lulus. *** Pukul sembilan malam, Merlian baru sampai rumah. Dia mendorong pintu dengan lelah, pintu itu tidak terkunci atau memang sudah dibuka oleh Gustave dari alat khusus ketika melihatnya berada di ambang pintu. Gustave yang tengah duduk bersantai seraya menonton televisi itu hanya menoleh ke arahnya. Merlian mencopot sepatu dan meletakkan asal. “Taruh rak sepatu!” protes Gustave, Merlian kembali ke sepatunya dan memindahkan ke rak sepatu, lalu dia duduk di sofa panjang, meletakkan skripsinya di meja. “Malam banget? Kuliah tadi?” tanya Gustave, yang dia tahu Merlian hanya tinggal menyusun skripsi sudah tak ada kelas lagi, dia pernah bertanya beberapa waktu lalu. “Habis dari warnet, revisi skripsi.” Merlian mengulurkan tangannya mengecup punggung tangan sang suami. Sejujurnya Gustave masih merasa risih namun dia harus terbiasa mulai sekarang kan? “Memang enggak punya laptop?” “Enggak.” “Astaga hari ini masih ada orang yang enggak punya laptop?” “Enggak usah menghina deh Mas, capek tahu!” “Aku punya yang enggak terpakai di rumah mama, besok kita ambil. Tadi mama telepon kita diminta sarapan bareng besok.” “Oke.” Merlian merasa sangat lelah, dinaikkan kakinya ke sofa dan dia berbaring dengan berbantalkan pegangan sofa. “Tidur di atas,” ujar Gustave. “Nanti deh, mau istirahat sebentar aja.” Gustave hanya menggeleng melihat kelakuan absurd Merlian. Sepertinya wanita itu benar-benar kelelahan. Sesaat Gustave berpikir, sekeras apa kehidupan istrinya selama ini? Bahkan untuk mengerjakan tugas kuliah saja dia harus seharian berada di warnet. Gustave memandang Merlian yang sudah mendengkur halus, benar-benar dia terlelap dalam tidurnya. Gustave mengambil selimut dari kamar di dekat tempat mereka berada, dia menutupi tubuh Merlian dengan selimut. Lalu dia melihat ponselnya, ada pesan masuk dari kontak yang hanya diberi nama “Dia.” “Mau cerita, boleh?” tulis pesan itu. Gustave tersenyum simpul dan membalas, “boleh,” lalu nomor itu meneleponnya. Dia pun meninggalkan ruang televisi setelah mematikan televisi dan duduk di ruang santai di ruang tengah. Menghadap tanaman hijau. “Istri kamu sudah tidur?” tanya suara di seberang sana. “Sudah. Ada apa?” tanya Gustave. Dia menyandarkan tubuh ke dinding. Melihat kamera pengawas, tempat ini tidak terjangkau kamera pengawas, sebenarnya dia bisa saja berontak atas perlakuan orang tuanya. Namun dia sangat menyayangi ibunya, dia tak mau perlakuannya membuat sang ibu sakit. Karena itu dia hanya menurutinya saja. “Dia cantik.” “Enggak usah mancing Diana, kamu mau cerita apa? Suami kamu ada di rumah?” “Enggak ada, dia pergi ke rumah selingkuhannya,” tutur Diana. “Oh.” “Kamu berubah, sekarang dingin.” “Enggak kok sama saja.” “Nada suara kamu berbeda.” “Maaf.” “Sepertinya aku akan benar-benar menggugat cerai, bukti-buktinya sudah lengkap,” tutur Diana. “Ya jika memang itu terbaik untuk kamu. Lakukanlah.” “Tapi sayangnya kita tetap enggak bisa bersama ya?” ujarnya lirih. Gustave menunduk, dia melihat seorang menaiki tangga dengan membawa selimut. Merlian, sepertinya dia terbangun. Berjalan lunglai menuju kamar. Lalu hilang di balik pintu kamar. meninggalkan Gustave yang masih mendengarkan celotehan Diana. *** Pagi sekali, Gustave sudah berpakaian rapih, sementara Merlian baru saja selesai mandi. Dia memakai kaos lainnya yang berwarna cream. Dengan jeans yang berwarna biru. Masih lebih baik dari jeans belelnya kemarin. “Kamu enggak make up?” tanya Gustave. Merlian yang sedang menyisir itu menggeleng. Selama ini bahkan dia tak memiliki budjet untuk membeli perlengkapan itu. Lebih baik uangnya disisihkan guna membeli beras untuk rumah sang bibi dibandingkan membeli bedak atau lipstik. “Ayo, nanti terlambat, aku ada meeting pagi di kantor,” tutur Gustave. Merlian mengangguk dan mengikuti Gustave ke luar dari kamar. Dia pun naik di mobil Gustave menuju rumah ibu mertuanya. *** Merlian berkeliling di salah satu toko barang branded di mall. Dia hanya seorang diri. Ketika dia memegang sandal rumahan yang cukup bagus, pegawai toko itu tampak risih. “Itu harganya lima ratus ribu,” ujarnya ketus. Merlian meletakkan sandal itu kembali. Sejujurnya dia pun risih karena selalu diikuti pegawai berwajah judes itu. Dia pun menuju stand baju santai. “Jangan dipegang, nanti rusak,” ujar pegawai itu ketika Merlian menyentuh bahan baju itu. Hingga tangannya dipegang oleh ibu mertuanya. “Ada apa, Nak?” tanya Nike. Merlian menggeleng dan tersenyum. Dia cukup tahu diri, penampilannya jelas menunjukkan hartanya. “Semua yang dia sentuh! Saya bayar!” ujar Nike membuat pegawai itu terperanjat!! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN