Seperti Malaikat
Setiba di puri Ardhana, Dinni langsung bergegas mengganti seragamnya. Dia begitu terburu-buru dan membiarkan sanggulnya terlihat berantakan. Setelah selesai berganti pakaian, Dinni pun melesat menuju bangunan utama. Mbak Rieta tiba-tiba saja menyuruhnya untuk kembali, karena semua keluarga besar Ardhana akan berkumpul. Dinni pun langsung bergabung bersama para pekerja lainnya yang kini sudah berbaris rapi.
“Kak Dinni dari mana?” tanya Asti di sebelahnya.
“A-aku... a-ku....” Dinni masih kesulitan berbicara karena napasnya yang sesak.
Sedetik kemudian suara deru mobil terdengar memasuki halaman. Para pakerja yang bertugas di luar rumah pun langsung menyambut kedatangan tuan rumah.Sementara, Dinni dan yang lainnya bersiap untuk menyajikan minuman dan makanan nantinya.
“Kalian semua siap-siap mengerti!” mbak Rieta mengingatkan semua bawahannya.
Suasana mendadak menjadi tegang. Para pekerja langsung membungkuk hormat ketika tuan Marcell dan nyonya Ani memasuki rumah. Dibelakangnya terlihat seorang pemuda yang tersenyum ramah pada semua orang yang ditemuinya.
Dinni pun sibuk mencuri-curi pandang masih dalam posisi membungkuk. “Ali...?” bisiknya dalam hati.
Ali terus berjalan masuk, tapi tiba-tiba langkahnya berhenti di depan Dinni. Pemuda berkulit putih bersih itu menatap Dinni sambil mengusap-usap dagunya. “New face... siapa nama kamu?”
Dinni terkejut. Dia tidak menyangka Ali akan berbicara padanya.
“S-saya Dinni,” jawabnya tergagap.
Ali tersenyum. “Kamu baru kerja di sini?”
Dinni mengangguk.
“Semoga kamu betah ya, kerja di sini.” Ali menepuk pundak Dinni pelan, kemudian melangkah pergi.
Dinni terpana dan berhenti menghela napas. Dia baru saja terpukau dengan setiap ucapan yang terlontar dari bibir Ali. Dia pun mulai berhalusinasi melihat sepasang sayap yang mencuat di punggung Ali. Seulas senyum malu-malu pun kini terbit di wajahnya.
“Dia benar-benar seperti malaikat. Bahkan aroma farfumnya begitu wangi.” ucapnya dalam hati.
Dinni sibuk mengendus-endus sambil memejamkan mata, tapi kemudian wajahnya mengernyit. Wangi yang tercium kini terasa berbeda. Dinni kembali menajamkan penciumannya. Dia merasa tidak asing dengan aroma itu. Sampai akhirnya dia tersentak dan langsung membuka matanya. Benar saja, itu adalah aroma farfumnya Reyhan.
Reyhan langsung menatap tajam. Dinni pun langsung mengalihkan pandangannya. Dinni menelan ludah, lalu menunduk hormat pada Reyhan. Tatapan Reyhan tertuju pada butiran peluh yang mengalir di leher Dinni. Dia merasa heran kenapa gadis itu terus saja berkeringat.
“Hei... kalian semua geser ke sana!” Reyhan menyuruh barisan itu untuk bergeser.
Dinni pun ikut menggeser langkahnya. Setelah lima langkah menggeser ke kiri, Reyhan pun mangangkat tangannya.
“Oke, stop!”
Reyhan segera duduk di meja makan mengikuti yang lainnya. Sementara, Dinni masih menatap bingung kenapa Reyhan menyuruh mereka bergeser. Lama kelamaan Dinni merasa sejuk, bahkan mulai kedinginan. Dia menoleh ke belakangnya dan ternyata ada sebuah AC yang menempel tepat di atas kepalanya. Dinni pun berpikir sejenak. Apa mungkin Rehan sengaja menyuruhnay pindah agar Dinni bisa mendinginkan tubuhnya. Dinni menggeleng cepat. Dia memaki dirinya sendiri yang sudah berpikiran bodoh seperti itu. Sosok manusia yang tidak mempunyai hati seperti Reyhan tidak akan mungkin melakukan hal seperti itu.
_
Ali, tuan Marcell, dan nyonya Ani terlihat asyik bercerita sembari menyantap makan malam mereka. Sedangkan, Reyhan hanya diam dan fokus pada makanan di piringnya. Diam-diam Dinni pun memerhatikan pemandangan yang terlihat ganjil itu. Dari raut wajahnya jelas terlihat kalau Reyhan enggan berada di sana. Reyhan satu-satunya orang yang tidak berbicara sama sekali. Dia juga satu-satunya orang yang terlihat tergesa-gesa menghabiskan makananya. Dugaan Dinni pun tepat, tidak lama kemudian Reyhan bangun dari duduknya.
“Mau ke mana kamu?” suara sang papa terdengar menggema.
“Aku masih punya kerjaan yang harus diselesaikan.” Reyhan menjawab singkat, kemudian melangkah pergi dari sana.
Ali menatap kepergian Reyhan dengan sendok yang masih menggantung di udara. Raut ceria diwajahnya berganti suram. Suasana meja makan itu pun terasa canggung. Tidak ada lagi yang bersuara. Hanya suara dentingan sendok dan piring yang terdengar.
Dinni beralih menatap semua pekerja yang memasang wajah datar. Sepertinya mereka sudah terbiasa melihat pemandangan seperti itu. “Penghuni rumah ini tidak seharmonis seperti kelihatannya,” batinnya.
Tiba-tiba Dinni terkejut karena handphone-nya bergetar. Ternyata itu adalah pesan dari Reyhan yang menyuruhnya untuk segera datang ke ruangan kerjanya.
“Mbak... saya disuruh Pak Reyhan untuk menghadap.” Dinni menunjukkan pesan itu pada mbak Rieta.
“Ya sudah, kamu pergi sana.”
_
Dinni membuka pintu ruangan itu sepelan mungkin. Dia masuk perlahan dengan membawa segelas air jahe hangat sesuai permintaan Reyhan. Diletakkannya minuman itu di atas meja dengan hati-hati, lalu Dinni melirik Reyhan yang saat ini sedang menatap keluar jendela sambil mematik rokok di jarinya.
“I-ini minuman anda,” ucap Dinni.
Tidak ada jawaban. Dinni pun beranjak sambil memeluk nampan di dadanya.
“Tunggu!” Reyhan memanggilnya kembali.
Dinni berbalik pelan dengan perasaan ngeri. Dia takut kalau Reyhan akan memintanya untuk melakukan pekerjaan yang melelahkan lagi.
“I-iya. Ada apa?”
“Bukannya kamu itu lulusan sarjana? kenapa kamu malah bekerja sebagai ART di sini?” Reyhan menatapnya tajam.
“S-saya—”
“Apa kamu sudah kehilangan akal sehat?”
Pertanyaan itu membuat Dinni tersentak.
“Lalu apa gunanya kamu menghabiskan waktu, biaya dan tenaga untuk kuliah selama ini?” Reyhan melangkah pelan mendekati Dinni.
“Apa maksud anda berbicara seperti itu?” tanya Dinni.
“Maksud saya adalah—”
“Apa anda sedang berusaha untuk membuat saya berhenti lagi?” Dinni lekas memotong pembicaraan.
Reyhan terdiam.
“Apa saya begitu mengganggu di mata anda?”
Hening.
“Saya memang lulusan sarjana, tapi saya punya alasan tersendiri untuk mengambil pekerjaan ini. Karena saya sangat membutuhkannya.” Dinni berkata dengan jemari mengepal kuat.
“Jadi kamu sadar kalau saya ingin memecat kamu? kamu lebih cerdik dari yang saya duga.” Reyhan tersenyum sinis.
“Kalau anda masih berpikir untuk menyingkirkan saya dengan cara-cara rendahan seperti itu, anda salah besar,” ucap Dinni.
Reyhan tersulut emosi. Dia mendekati Dinni dan langsung menyentak lengannya dengan kasar. “Kenapa bisa ada manusia keras kepala dan nggak tahu diri seperti kamu ini, ha?”
Dinni tersenyum getir, lalu menatap Reyhan lekat-lekat. “Justru karena saya tahu diri, makanya saya mau bekerja seperti ini. Lagipula orang seperti anda nggak akan mengerti.”
Reyhan menatap garang. Dia hendak bersuara kembali, tapi tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka.
“Hei... ada apa ini?” Ali menatap heran.
Reyhan melepaskan tangan Dinni dan langsung berjalan menuju meja kerjanya. Dinni pun segera menundukkan wajah. Gadis itu juga terkejut karena kemunculan Ali yang tiba-tiba.
“Ngapain kamu ke sini?” tanya Reyhan.
Ali hanya tersenyum. “Apa aku nggak boleh datang ke sini?”
Dinni menatap dua pemuda itu bergantian. Dia merasa bingung harus berbuat apa. Dinni merasa terjebak di antara dua kubu yang kini tengah berseteru.
Tatapan Ali pun beralih menatap Dinni. “Apa benar kamu itu lulusan sarjana? saya nggak sengaja mendengar keributan kalian,” ucap Ali.
Reyhan pun mengangkat wajahnya mendengar kalimat itu.
“I-iya. Saya lulusan sarjana,” jawab Dinni.
“Oh, ya... terus kenapa kamu bekerja sebagai ART di sini?” Ali menatap tak percaya.
Dinni terdiam.
Ali menatap Dinni perlahan. “Apa kamu mau bekerja di kantor saya?”
Pertanyaan itu membuat Dinni melongo. Reyhan pun menatap tajam dari balik kursinya.
“S-saya....” Dinni mendadak bingung.
“Sebaiknya kita bicarakan di luar oke. Ayo ikut dengan saya.” Ali pun melangkah keluar, tapi begitu sampai di ambang pintu dia kembali berbalik. “Nggak apa-apa kan, kalau aku bawa dia?” Ali tersenyum menatap Reyhan.
Reyhan bersikap acuh. Dinni pun segera pergi mengikuti Ali. Tapi begitu pintu itu tertutup, Reyhan mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Deru napasnya bahkan memburu. Tatapannya lalu beralih pada tumpukan berkas lamaran pekerjaan milik Dinni di atas meja. Di samping berkas itu juga ada sebuah kertas yang bertuliskan; Formulir Perekrutan Posisi Sekretaris Gelombang Kedua.
_
Dinni dan Ali berjalan berdampingan menuju taman yang terletak di belakang rumah. Ali melangkah pelan dengan kedua tangan masuk ke dalam kantong celana. Sesekali dia menghirup aroma bunga yang wangi sambil tersenyum senang. Dinni yang berjalan di sampingnya kini merasa bingung karena Ali tidak kunjung juga bersuara. Dinni menelan ludah jemarinya terangkat hendak menyentuh pundak Ali yang kini berjalan selangkah di depannya, tapi baru saja jarinya itu terangkat, Dinni terkejut karena tiba-tiba saja Ali berbalik menatapnya.
“Siapa nama kamu tadi?” tanya Ali.
“S-saya Dinni.”
Ali menatap Dinni perlahan. Sebenarnya dia merasa cukup heran bagaimana perempuan seperti Dinni bisa bekerja sebagai pelayan pribadi Reyhan. Karena sepengetahuan Ali, Reyhan pasti akan mencari sosok yang sempurna walaupun hanya untuk sebagai pelayannya di rumah. Sedari awal sosok Dinni memang sudah menarik perhatian Ali. Bahkan sebelumnya dia tidak pernah melihat Reyhan berdebat dengan pelayannya seperti itu. Jangankan berdebat, mengobrol saja adalah hal yang haram dilakukan Reyhan pada para pekerja di rumah itu. Satu-satunya orang yang selalu berbicara dengan Reyhan hanyalah mbak Rieta. Jadi bisa disimpulkan bahwa sosok Dinni termasuk istimewa. Ali pun sudah mengendus aroma-aroma ganjil di antara saudara tirinya dengan perempuan yang kini terlihat salah tingkah itu.
“Jadi bagaimana Dinni? Apa kamu berminat bekerja di kantor aku?” Ali menghentikan langkahnya.
“S-saya ....” Dinni terlihat sangat kebingungan.
“Hmm ... sepertinya kamu masih perlu waktu untuk mempertimbangkannya. Begini saja, kalau kamu memang sudah berubah pikiran atau menetapkan pilihan ... kamu bisa menghubungi aku!” ali berkata sambil menengadahkan tangannya.
Dinni mengangguk pelan, tapi dia tidak mengerti kenapa Ali menengadahkan tangannya seperti itu. Dinni pun kembali menatap Ali dan sosok pria beraroma surgawi itu kembali menggoyangkan telapak tangannya. Dinni semakin bingung, tapi kemudian dia memilih menjabat tangan itu dan menggoyang-goyangkannya pelan.
“Hahahaha ....” Ali tidak bisa menahan tawanya.
Deg.
Dinni pun terkesiap dan cepat-cepat menarik tangannya. “Kenapa anda tertawa?”
Ali masih tidak bisa menghentikan tawanya. Dia bahkan tertawa hingga ujung matanya berair. Setelah sedikit tenang, barulah Ali emnatap Dinni kembali. “Aku minta handphone kamu untuk menuliskan nomor handphone aku.”
Dinni meringis menahan malu.
“Mana handphone-nya?” pinta Ali lagi.
Dinni pun mengeluarkan handphone-nya dengan ragu-ragu, lalu menyerahkannya kepada Ali. Sosok pria bertubuh atletis dengan kulit wajah yang lembut seperti bayi itu pun terlihat sibuk mengetikkan nomor handphone-nya dan kemudian memberikan handphone itu kembali kepada Dinni.
“Jangan lupa, hubungi aku ya! kalau kamu sudah memutuskannya.”
Dinni hanya mengangguk. Ali pun sudah melenggang pergi. Tatapan Dinni pun kini beralih pada nomor handphone yang baru saja ditinggalkan oleh Ali di layar ponselnya. Dinni pun cepat-cepat menyimpan nomor handphone Ali itu seraya bersenandung pelan. Dinni benar-benar merasa bertemu dengan seorang pangeran berhati malaikat.
“Hah ... dia benar-benar baik sekali dan sangat berbeda deng—”
Ucapan Dinni terputus saat dia berbalik ke belakang. Entah kapan datangnya, tiba tiba saja sosok Reyhan sudah berdiri di belakang Dinni dengan sorot mata yang ganas. Dinni pun meneguk ludah. Handphone yang ada di genggamannya pun bahkan nyaris terjatuh karena terkejut. Cukup lama Dinni mengelus-elus dadanya sendiri, hingga kemudian dia sudah merasa sedikir tenang dan beralih menatap Reyhan.
“A-ada apa?” tanya Dinni.
Reyhan mengangkat gelas kosong di tangannya. “Ini ambilkan saya air putih!”
Deg.
Dinni menatap heran. Padahal dia bisa mengambilnya sendiri di dapur yang jarak dari kamarnya lebih dekat daripada harus menyusul hingga ke luar rumah seperti ini. Tunggu, bukannya di ruang kerjanya juga terdapar kulkas dan dispenser? Dinni menggaruk-garuk kepalanya sendiri karena merasa pusing dengan tingkah majikannya itu.
“A-anda ingin segelas air putih?” tanya Dinni.
“Iya.”
“Dan anda mencari saya ke sini untuk mengambilkannya, alih-alih mengambilnya sendiri?”
“Iya.”
Dinni meringis pelan. “Kenapa ...? kenapa anda mempersulit diri anda sendiri dengan jauh-jauh datang ke sini?”
Reyhan meneguk ludah, tapi kemudian dia kembali memasang raut wajah sangarnya.
“Saya hanya ingin melakukannya.”
Dinni semakin merasa heran. “Jadi anda hanya ingin melakukannya?”
“Iya.”
“Baiklah ... kalau begitu tunggu di sini dan saya akan membawakan airnya,” ucap Dinni menutup pembicaraan.
_
Bersambung...
Jangan lupa juga untuk mampir di cerita Author lainnya ya...
1. Istri Satu Semester (kisah tentang perjodohan)
2. Alia (kisah cinta terhalang restu)
3. (Series bos lainnya ada) The housemates with the boss.
4 Too Young To Marry (kisah tentang nikah muda)
5. Dosa Terindah (kisah tentang pelarian cinta, perselingkuhan)
6. The Wo(Man) yaitu kisah seorang perempuan yang lari dari rumah dan hidup menyamar sebagai laki²
silakan dipilih dan mampir ya