Aku Ingin Mengatakan Sesuatu
Aku hanya ingin hidup seperti perempuan lainnya. Aku juga ingin menghela napas lega di keramaian tanpa merasa risih saat orang lain menatap ke arahku. Aku lelah dengan tatapan aneh saat ada oang lain yang memandangku. Aku jengah dengan julukan-julukan yang sejatinya menyakiti perasaanku. Jujur aku memang merasa insecure. Aku selalu merasa rendah diri. Aku hanya bisa menelan ludah saat melihat berbagai mode pakaian wanita yang bermunculan. Karena aku tidak akan bisa terlihat seperti itu saat memakainya. Apakah aku harus menjadi kurus dan cantik dulu agar bisa menjalani kehidupan seperti mereka?
-Dinni
----------------------
Masa-masa tenang akhirnya datang.
Selama tiga hari belakangan ini, Dinni bisa bekerja dengan sedikit tenang. Pasalnya Reyhan sedang pergi melakukan perjalanan bisnis keluar negeri. Bukan hanya dia yang bernapas lega, tetapi hampir semua yang bertugas di rumah itu merasakan hal sang sama. Para pekerja yang biasanya berwajah tegang kini tersenyum dan tertawa pada sesama mereka. Mbak Rieta yang biasanya selalu sibuk hilir mudik pun kini bisa bersantai membaca sebuah n****+ di pinggir kolam renang. Sepertinya ketiadaan Reyhan menjadi suatu anugerah bagi para pekerja di rumah itu. Setidaknya mereka bisa beristirahat sejenk. Mereka bisa santai untuk sementara waktu.
“Ah... akhirnya semua selesai juga.” Dinni menatap deretan pakaian Reyhan yang baru saja dijemurnya. “Kenapa semua pakaiannya berwarna hitam? cih, orang seperti dia memang nggak akan paham mode dan pilihan warna. Gelap, sama kayak hidupnya,” bisik Dinni.
Dinni pun beralih mengambil handphone-nya. Tidak ada notifikasi sama sekali. Wajahnya seketika berubah murung. Sejak mendatangi rumah Ishaya waktu itu, Juan belum menghubunginya lagi sampai sekarang. Mereka lost contact dan tidak lagi berkomunikasi. Juan sepertinya masih marah. Dinni pun juga terlalu sibuk dengan profesi barunya yang memang menguras waktu dan tenaga. Selain itu Dinni juga masih belum kembali ke rumahnya. Dia masih bertahan tinggal di rumah Ishaya karena masih merasa kesal kepada sang ibu.
“Kak Dinni...,” sebuah suara mengejutkan Dinni yang sedang melamun.
“Apa, Ti?” itu adalah Asti salah satu rekan kerjanya.
“Kakak bisa bantuin aku mengangkat lemari nggak?” tanya Asti.
Dinni menatap bingung. “Lemari?”
“Nggak gede kok, Kak. Tapi aku nggak bisa ngangkatnya sendirian.”
“Di mana lemarinya?” tanya Dinni.
“Di bangunan utama.”
Dinni pun bergegas mengikuti Asti. Ini adalah pertama kalinya Dinni memasuki bangunan utama rumah itu. Karena dia memang ditugaskan secara khusus di kediamannya Reyhan. Matanya langsung terkesima begitu masuk ke sana. Gaya klasik di rumah itu terasa kental, berbeda dengan kediaman Reyhan yang sangat modern. Pandangan Dinni pun beralih pada potret berukuran raksasa yang berisi potret keluarga Ardhana.
“Jadi wanita itu adalah Nyonya Ani? aku belum pernah melihatnya,” bisik Dinni pada Asti.
Asti mengangguk mengiyakan. “Itu Tuan Marcell Ardhana, ayahnya Pak Reyhan.” Asti menunjuk sosok di sebelah nyonya Ani.
“Itu siapa?” Dinni menunjuk potret seorang pria yang berdiri di sebelah nyonya Ani. Sosok itu terlihat sebaya dengan Reyhan.
“Dia itu Ali... anaknya Nyonya Ani,” jawab Asti.
Dinni mengernyit bingung.
“Jadi Ali dan Reyhan bersaudara kandung?” tanya Dinni.
Asti lekas menggeleng, Dinni pun kini mengerti dan langsung mengangguk sambil menutup mulutnya yang menganga lebar.
“Jadi Nyonya Ani—”
“Iya. Nyonya Ani adalah istri kedua Tuan, dan Ali adalah anak Nyonya Ani bersama suaminya yang terdahulu.” Asti langsung menjelaskan panjang lebar.
Dinni pun kembali menatap potret Ali. Dari senyuman dan tatapan teduhnya, sosok itu terlihat lembut dan baik hati. Sosok Ali berkulit putih bersih dengan mata sedikit sipit dan hidung yang manjung. Dia benar-benar tampan dan terlihat sangat ramah.Dinni terpaku menatap wajah itu untuk waktu yang lama. Hingga kemudian, matanya mengarah pada potret Reyhan yang berdiri di sebelah ayahnya. Seketika itu juga Dinni bergidik, kemudian segera pergi dengan perasaan ngeri.
_
“Memangnya kamu mau pergi ke mana?” tanya mbak Rieta.
“Anu, Mbak....”
Mbak Rieta menghela napas. “Pekerjaan kamu udah selesai, kan?”
“Sudah, Mbak.”
“Kalau begitu pergilah.”
Dinni tersenyum senang. “Makasih, Mbak.”
Sesudah mengantongi izin dari mbak Rieta, Dinni pun melesat pergi sambil kembali membaca pesan dari Juan yang mengajaknya untuk bertemu. Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga, Dinni sudah tidak sabar untuk bertemu dan melepas rindu. Dinni awalnya tidak percaya jika akhirnya Juan menghubunginya. Itu pertanda bahwa Juan sekarang sudah tidak marah lagi.
Setelah sekitar 15 menit menaiki metro mini, Dinni pun turun di taman kota yang ramai dipadati pengunjung. Dinni mengeluarkan handphone-nya, lalu segera menghubungi Juan.
“Aku udah sampai, nih. Kamu di mana?” tanya Dinni sambil sibuk celingak-celinguk mencari keberadaan Juan.
“Aku di sini,” jawab Juan.
Dinni tertegun. Suara itu bukan berasal dari handphone-nya, tetapi dari belakangnya. Dinni pun berbalik pelan dan mendapati Juan yang kini tersenyum padanya.
“Hah... apa kabar?” tanya Juan dengan nada canggung.
Dinni hanya menekur. Dia masih diselimuti rasa bersalah.
Juan pun merunduk agar bisa melihat wajahnya. “Hei... apa kamu nggak kangen sama aku?”
Dinni mengangguk, tetapi tetap tidak mengangkat wajahnya.
Juan mendesah pelan, kemudian langsung menarik Dinni ke dalam pelukannya. Dia mengusap kepala Dinni dengan lembut, semantara gadis itu kini sudah menangis dalam dekapan Juan.
“Maafin aku...,” ucap Dinni di sela suara tangisnya.
“Aku juga minta maaf sama kamu.” Juan melepas pelukannya, kemudian meremas kedua pundak Dinni dengan lembut. “I miss you... so much,” ucapnya.
Dinni pun tersenyum malu. “Me too,” jawabnya lirih.
_
Senyum Dinni dan Juan pun kembali merekah. Pasangan sejoli itu sedang asyik melepas rindu. Mereka sedang menikmati pemandangan sore hari sambil menyeruput es cendol yang dibungkus plastik. Dalam sekejap Dinni sudah mengosongkan plastik cendolnya. Tangan jahilnya kemudian beralih hendak merebut es cendol milik Juan.
“Ini punya aku, tau!” Juan berusaha melindungi es cendolnya.
“Pelit banget, sih.” Dinni mulai merajuk.
Juan tertawa pelan. “Makanya... kan, udah aku bilang harusnya tadi itu beli 3 bungkus aja.”
Dinni mendengkus. “Huh, tetep aja aku maunya yang punya kamu.”
“Kenapa?” Juan menatap usil sambil mendekatkan wajahnya.
Dinni pun mendadak grogi. Dia menjadi salah tingkah dan langsung mendorong Juan untuk menjauh darinya.
“K-kamu ngapain, sih? udah habisin aja cendolnya,” sergah Dinni dengan wajah yang sudah memerah.
Juan terkikik menahan tawa.
“Din... sebenernya kamu kerja di mana?” tanya Juan.
Dinni meneguk ludah. “C-cuma di CV yang kecil gitu, kamu juga nggak akan tahu meskipun aku kasih tahu namanya.”
Juan menatap Dinni lekat-lekat. “Daerahnya di mana? Alamat kantor kamu di mana? Jadi sewaktu-waktu aku bisa datang mengunjungi kamu.”
“N-nanti aku akan kirim alamatnya.” Dinni sudah semakin gelisah.
Juan menatap lembut. “Terus apa kamu betah kerja di sana? aku perhatikan kamu sedikit lesu.”
Deg.
Dinni menelan ludah. Dia tentu tidak bisa menceritakan kesengsaraannya bekerja sebagai pelayan seorang manusia b******k seperti Reyhan. Dinni pun memaksakan bibirnya tersenyum, kemudian beralih menatap Juan.
“Aku betah kok. Pokoknya kamu nggak perlu khawatir.
Juan mengangguk pelan. “Lalu bagaimana dengan Ibuk? Kamu nggak kasihan ninggalin Ibuk dirumah. Dia pasti akan sangat sedih karena kamu nggak pulang-pulang seperti ini.”
Dinni menatap Juan lekat-lekat. “Please.... untuk saat ini aku nggak mau membahas tentang hal itu.
Juan akhirnya mengalah dan tidak lagi membicarakan hal-hal yang sensitif. Mereka kini asyik mengobrol dan ringan dan sesekali juga bercanda. Sorot mata keduanya benar-benar menyiratkan kerinduan yang sudah lama terpendam. Waktu pun terus berlalu, tapi mereka masih betah duduk di sana walau kini keduanya sudah sama-sama diam membisu.
Suasana berubah hening. Juan kini menatap Dinni lekat-lekat. Dinni pun menyadari hal itu, namun berpura-pura tidak mengetahuinya. Lama kelamaan tatapan Juan mulai membuatnya gelisah. Dinni menelan ludah, kemudian memberanikan diri balas menatap mata itu.
“A-ada apa?” tanya Dinni.
“A-aku....” Juan terlihat ragu.
Dinni menatap heran. “Apa ada sesuatu yang pengen kamu katakan?”
Juan menelan ludah. Pemuda itu mendadak gugup dan berkeringat. Dia terus mengatur napas dan menyeka peluh yang menembus pori-pori kulitnya.
“Kamu kenapa?” tanya Dinni.
“A-aku—”
Handphone Dinni tiba-tiba berdering.
“Bentar-bentar... aku angkat telepon ini dulu.”
Juan memejamkan matanya sejenak, padahal tadi dia sudah mantap untuk mengatakannya. Juan meninju pahanya sendiri sambil menghela napas. Pokoknya dia bertekad untuk mengatakannya sekarang juga.
“I-iya, Mbak... saya sudah meletakkan di tempat biasanya.” Dinni sibuk berbicara di telepon.
Juan pun menunggu dengan gelisah. Setelah cukup lama, Dinni kembali duduk di sampingnya. Saat Juan hendak berbicara kembali, handphone itu kembali berdering. Kejadian itu pun terus terjadi berulang-ulang. Dinni terus saja sibuk berbicara di telepon dan tidak memberi kesempatan pada Juan untuk berbicara.
“Maaf ya, tapi ini penting banget,” ucap Dinni.
Juan hanya menatap sayu. Kesabarannya mulai habis. Juan bangun dari duduknya, merebut handphone itu dari tangan Dinni, kemudian memutus panggilan itu.
“K-kamu kenapa?” tanya Dinni dengan tatapan bingung.
“Kamu yang kenapa...?” suara Juan sedikit meninggi.
Dinni menelan ludah. “Kenapa kamu tiba-tiba jadi sensitif gitu, sih?”
Juan tidak menjawab. Wajahnya masih merah padam berusaha menahan amarah. “Aku udah bilang kalau ada sesuatu yang mau aku omongin sama kamu.”
“Aku ngerti... tapi ini juga penting” jawab Dinni.
Handphone itu kembali berdering. Juan dan Dinni pun saling pandang untuk waktu yang cukup lama.
“Aku harus jawab panggilan itu!” Dinni menengadahkan tangannya meminta handphone itu dari Juan.
“Kamu lebih milih mengangkat panggilan ini daripada nge-dengerin aku?”
Dinni terdiam, tapi kemudian, dia mengambil handphone itu kemudian pergi dari sana.
Juan tersenyum getir. Setetes bening kini jatuh di pipinya. Dia menatap kepergian Dinni dengan bibir bergetar. Lama Juan terpaku berdiri di tempatnya. Hingga kemudian, dia mengeluarkan sebuah kotak perhiasan berwarna warna merah. Juan menatap kotak perhiasan itu lekat-lekat. Deru napasnya terdengar sesak, bersamaan dengan kotak perhiasan yang menggelinding jatuh ke tanah.
_
Bersambung...