My Ice Boss – 12

1699 Kata
Brokent heart Dinni menatap bayangannya di cermin dengan mata sau. Kedua matanya masih terlihat bengkak karena terus menerus menangis setiap hari. Sudah beberapa hari ini juga dia hanya tergplek dikamarnya dan tidak beranjak keluar rumah sama sekali. Ketika malam itu mengunjungi kost an Juan, Dinni pingsan di sana dan tidak sadarkan diri. Begitu membuka mata, tau-tau dia sudah berada di rumahnya kembali dan melihat sang ibu yang sedang duduk di sampingnya. Dinni menghela napas dengan lesu. Sekujur tubuhnya terasa begitu lemah. Wajar saja, dia tidak pernah menyentuh semua makanan yang diantarkan oleh sang ibu. Terakhir kali Dinni malah memasukkan makanan itu ke dalam kanting kresek, lalu membuangnya. Selera makan Dinni patah, sama seeprti hatinya. Kepergian Juan bagai sebuah mimpi buruk yang menjadi nyata. Kepergian tanpa alasan itu benar-benar membuat Dinni tergonjang. Karena seingatnya Juan bukanlah tipikal orang yang akan melakukan hal kejam seperti itu. Juan bukanlah sosok lelaki b******k. Namun kenapa dia melakukannya? Dinni mengambil ­handphone­-nya dari bawah bantal, lalu memeriksanya. Ada tujug panggilan tidak terjawab dari mbak Rieta, tetapi tidak ada panggilan ataupun pesan dari sosok yang diharapkannya, Juan. Dadanya kembali terasa sesak seiring air mata yang menetes pelan. Dinni benar-benar tidak menyangka Juan tega meninggalkannya seperti itu. Drrrt... drrrtt Handphone-nya bergetar. Dinni menatap nama yang tertera di layar itu sambil menelan ludah, dia kemudian menjawab panggilan itu. “Kamu ke mana aja nggak masuk kerja, ha?” bentak Reyhan. Dinni hanya menghela napas. Dia benar-benar merasa tidak berdaya untuk sekedar menjawab. “Apa kamu nggak dengar omongan saya?” bentak Reyhan lagi. “Aaaaa ...! Huaaaaaaa ....” Dinni malah menangis histeris. Deg. “K-kenapa kamu tiba-tiba menangis?” Reyhan terdengar terkejut di seberang sana. “Anda kenapa selalu membentak saya. sih? bisa nggak sekali-kali anda bersikap baik kepada saya? padahal saya selalu bekerja dengan baik, tapi kenapa anda masih saja jahat kepada saya?” pekik Dinni di sela suara tangisnya. Hening. Reyhan sepertinya tidak bisa berkata-kata, hingga kemudian dia kembali berteriak. “Ya ...! saya juga tidak akan berteriak kalau kamu masuk bekerja! Kamu bahkan menghilang tanpa kabar! Bagaimana bisa saya tidak marah? Beberapa hari ini saya menjadi sangat kesulitan gara-gara kamu. Saya kesulitan mencari pakaian. Saya tidak bisa menemukan dasi kesekaan saya. Bahkan sudah dua malam ini saya tidak meminum kopi sebelum tidur seperti biasanya. Kamu yang kejam! Bukan saya!” pekik Reyhan. “M-maafkan saya....” Dinni akhirnya bersuara lemah. Hening. Dinni masih menempelkan handphone itu ditelinganya, tetapi Reyhan tidak lagi berbicara. “H-halo,” ucap Dinni. “Apa kamu tidak berniat untuk bekerja lagi?” tanya Reyhan dengan suara yang sudah melunak. Pertanyaan itu membuat Dinni tertegun. Sejenak dia merasa bimbang. Dinni beralih menatap keluar jendela. Terlihat sang ibu duduk bermenung karena pelanggannya yang sepi. Dinni menelan ludah. Bagaimanapun pahit patah hati yang dialaminya, dia tidak bisa terus-terusan seperti ini. Hidup nyatanya harus tetap berlanjut. “Kalau kamu masih berniat untuk bekerja... kamu harus datang sekarang juga!” ucap Reyhan lagi. “S-seka—” Reyhan sudah memutus teleponnya. Dinni pun menghela napas panjang, dan kemudian memaksa tubuhnya untuk bangun dan segera bersiap. _ “Kamu mau ke mana, Din?” sang ibu terkejut melihat Dinni yang sudah rapi. “Aku mau pergi kerja, Buk,” jawab Dinni. Sang ibu menatap heran. “K-kamu sudah dapat pekerjaan?” Dinni mengangguk lemah. Sang ibu pun hanya tersenyum canggung. Ada raut penyesalan tergurat di wajah sang ibu. Dinni pun menatap wajah renta itu, lalu memeluknya perlahan. “Maafin Dinni, ya, Buk.” Air mata sang ibu menetes. Dia balas memeluk Dinni lebih erat. “Ibuk juga minta maaf sama kamu. Karena selama ini....” sang ibu terisak dan tidak bisa meneruskan kalimatnya karena berusaha keras menahan tangis. Dinni melepas pelukannya, lalu menatap lembut. “Udahlah, Buk... nggak perlu dibahas lagi. Aku berangkat dulu, ya, Buk.” “Kamu yakin mau bekerja dengan kondisi seperti ini?” sang ibu menatap khawatir. Dinni tersenyum dengan bibir pucatnya. “Aku nggak apa-apa kok, Buk. Jadi Ibuk nggak usah khawatir, ” jawabnya.” _ Dinni tertunduk dengan penuh rasa bersalah. Sudah 20 menit lamanya mbak Rieta menceramahinya. Kesalahan terbesar Dinni adalah karena dia tidak mengabari alasan kenapa dia tidak masuk bekerja. Telinga Dinni mulai terasa panas, tetapi dia harus menerima resiko atas kesalahannya itu. Salahnya memang, dia tidak memberi kabar sama sekali dan larut dalam patah hatinya sendiri. Dinni hanya terpekur diam dipenuhi rasa bersalah yang membuatnya tidak mampu bersuara, bahkan untuk sekedar menatap wajah mbak Rieta saja dia tak sanggup melakukannya. “Apa kamu ingin berhenti bekerja di sini?” Dinni lekas menggeleng. Mbak Rieta menghela napas. Diam-diam sebenarnya dia juga tidak tega memarahi Dinni yang terlihat begitu lesu. “Ini kesempatan terakhir kamu... mengerti! Saya heran kenapa kamu terus saja membuat masalah dari awal hingga sekarang.” “M-maafkan saya, Mbak.”   Prosesi penghakiman itu pun berhenti karena kedatangan Reyhan. Dia baru saja pulang dari kantornya. Dinni pun semakin takut. Dia bahkan tidak berani menatap Reyhan untuk saat ini. Suara derap langkah kaki Reyhan yang berjalan mendekat bahkan terdengar sangat menakutkan bagi Dinni. “Siapkan air panas untuk mandi dong, Mbak.” Reyhan berkata pada mbak Rieta. Mbak Rieta terlihat bingung. “T-tapi kenapa harus sa—” Reyhan langsung  menggerakkan dagunya ke arah pintu mengisyaratkan mbak Rieta untuk pergi dari sana. “B-baik, saya akan siapkan.” mbak Rieta pun melangkah pergi. Dinni semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Semantara, Reyhan memerhatikan gadis itu lekat-lekat. Reyhan cukup kaget melihat kondisi Dinni yang terlihat mengenaskan di matanya. Bibirnya bergerak ingin menanyakan kenapa dia bisa seperti itu, namun Reyhan mengurungkan niatnya dan kembali memasang wajah garang. “Jadi kamu masih mau bekerja di sini, ha!?” bentaknya. Dinni mengangguk dengan lutut menggigil ketakutan. Reyhan memiringkan wajahnya menatap Dinni. “Atau jangan-jangan kamu menerima tawaran Ali waktu itu?”  “Nggak! saya nggak menerima tawaran itu,” jawab Dinni. Reyhan tersenyum, tapi kemudian dia kembali mengkondisikan mimik wajahnya dan kembali memasang wajah dingin dengan tatapan yang sengit. “Sekarang kamu temani saya ke suatu tempat,” ucap Reyhan kemudian. Dinni mendongakkan wajahnya menatap Reyhan. “K-kemana?” Reyhan tidak menjawab dan langsung bergegas pergi dari sana dengan langkah gusar. _ Reyhan ternyata membawa Dinni ke rumah sakit. Katanya dia ingin melakukan check up rutin yang biasa di lakukannya. Dinni pun menunggu di koridor sambil mengintip Reyhan yang sedang berbicara dengan Dokter yang tak lain adalah teman Reyhan sendiri. Selang beberapa lama kemudian, Reyhan pun keluar dari ruangan itu dan menatap Dinni yang terlihat kebingungan duduk di kursi tunggu yang ada di depan ruangan itu. “Masuk sana!” perintah Reyhan. Dinni menatap bingung. “M-maksudnya?” Reyhan berbicara sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Karena sudah ada di sini, lebih baik kamu juga check kesehatan kamu.” Dinni tertegun. “Apa dia mengkhawatirkan aku?” bisiknya dalam hati. “Saya harus memastikan kalau kamu tidak membawa virus yang bisa menular pada saya.” Reyhan melanjutkan kalimatnya. “Dasar manusia laknat....” umpat Dinni dalam hatinya. Dinni akhirnya menjalani pemeriksaan dan juga mendapatkan beberapa obat-obatan yang harus di konsumsi secara rutin. Selain itu dokter juga menyarankannya untuk banyak beristirahat. Setelah selesai dengan urusan di rumah sakit, mereka pun segera pergi. Tatapan Dinni beralih pada Reyhan yang duduk di sebelahnya, lalu tertuju lagi pada kantong obat yang ada di tangannya. “A-apa gaji saya akan dipotong untuk biaya rumah sakit?” Pertanyaan itu membuat Reyhan tersedak. Pak Maman yang sedang menyetir pun langsung mengulurkan sebotol air mineral kepada majikannya itu. “Itu termasuk ke dalam salah satu hak pekerja, kok. Apa kamu nggak tahu kalau semua pekerja di puri Ardhana mendapatkan akses kesehatan?” jawab Reyhan. Pak Maman yang sedang menyetir pun langsung mengeryit. Sudah 15 tahun dia bekerja di sana, tapi baru sekarang dia mendengar hal yang seperti itu. “Pak, kita berhenti di restoran itu dulu, ya,” ucap Reyhan begitu melihat sebuah restoran di depan sana. “B-baik, Pak.” Mobil pun berbelok memasuki area parkir restoran itu. Pak Maman segera keluar dan membukakan pintu mobil. Reyhan pun segera turun sambil memasang kancing jasnya. Sementara, Dinni masih duduk di mobil dan mulai memejamkan mata. Sepertinya ini kesempatan baginya untuk beristirahat selagi menunggu Reyhan kembali. Dinni menyandarkan punggungnya untuk mencari posisi yang nyaman dan mulai memejamkan mata seiring dengan suara napasnya yang mulai melambat. “Hei... ayo turun!” Hardikan itu membuat mata Dinni kembali terbuka. “S-saya?” dia menunjuk dirinya sendiri. “Ya, siapa lagi.” Reyhan menatap gusar. “T-tapi kenapa saya harus ikut turun?” Reyhan tidak menjawab, tapi tatapan sadisnya membuat Dinni segera turun dan langsung mengikutinya memasuki restoran itu.  Kedatangan Reyhan langsung di sambut sang manager dan beberapa pelayan restoran di belakangnya. Setelah sedikit berbasa-basi, Reyhan dan Dinni pun digiring untuk menaiki lift. Rupanya Reyhan memilih makan di ruangan VVIP yang lebih terjaga keamanannya. Lift itu terus naik dan Dinni pun hanya menungu dengan raut wajah kebingungan. “Silakan masuk!”  Dinni melongo saat memasuki sebuah ruangan yang dipenuhi aksen kemewahan yang super elit itu. Tapi, yang paling mengejutkan adalah tidak ada seorang pun di ruangan itu selain mereka. Ruangan itu dipenuhi oleh tirai beludru warna merah dengan hiasan berwarna emas. Kursi dan meja yang ada di sana juga berwarna emas dengan alas meja berwarna merah meyala. Penerangan di ruangan itu sedikit redup sehingga cahaya lilin yang ada di atas meja-meja itu terlihat lebih terang. Suasananya sunggu sangat romantis. Bahkan sesekali Dinni mendengar lantunan bunyi biola yang terdengar pelan. Dinni pun mencari asal suara itu. Benar saja, di pojokan sana terlihat beberapa orang pria berpakaian necis yang sedang menggesek biolanya. Reyhan segera duduk di tempat yang sudah di sediakan, sementara Dinni berdiri di belakangnya sambil melipat tangan. Tak lama kemudian, para pelayan masuk silih berganti membawa berbagai hidangan yang terlihat lezat. Dalam waktu singkat, meja di depan Reyhan pun langsung dipenuhi oleh banyak makanan. Dinni menelan ludah. Jiwa laparnya meronta-ronta. Aroma lezat itu mulai menyiksa indera penciumannya. Air liurnya menetes melihat sajian yang menggoda itu. “Astaga... kenapa tiba-tiba aku jadi lapar begini.” pekiknya dalam hati. Mata Dinni pun kian berbinar saat melihat daging bebek panggang yang terlihat empuk dengan bumbu barbeque yang menggugah selera. Dinni kembali mengendus aroma kelezatan itu seraya memejamkan matanya. Cacing di perutnya mulai berdemo. Reyhan pun mulai mencicipi makanan itu, tapi kemudian dia langsung mengernyit dan menyeka mulutnya. “K-kenapa?” tanya Dinni pelan. “Keasinan,” jawab Reyhan ketus. Tangannya beralih mencicipi menu yang lain, namun hal itu terus saja berulang. Reyhan terus saja melepehkan makanan yang baru saja menyentuh lidahnya. Dinni menatap bingung. “Kenapa lagi?” “Dagingnya alot!”  Dinni mengernyit bingung. Padahal daging itu terlihat sangat empuk saat Reyhan memotongnya. Sekilas melihat pun Dinni yakin bahwa daging itu tidak alot sama sekali. Sebenarnya. Apa ada masalah dengan rasanya? Sepertinya tidak ada makanan yang cocok dilidah Reyhan. Dinni pun menatap heran. Sepengetahuannya Reyhan memang tidak pernah memakan menu seperti ini sebelumnya. Reyhan biasanya selalu memastikan makanannya harus sehat dan seimbang. “Kenapa dia tiba-tiba jadi makan menu seperti ini?” Dinni menggeleng bingung. Reyhan pun meletakkan sendok di jarinya, lalu beralih menatap Dinni. “Kamu aja deh, yang makan!” Dinni membatu. Dia tidak memercayai pendengarannya. “A-apa?” Reyhan menatapnya lekat-lekat. “Rasa makanan ini tidak sesuai di lidah saya. Jadi kamu yang harus makan... semuanya!” _ Bersambung...  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN