My Ice Boss – 13

1715 Kata
New Stage Hari-hari terus berlalu. Waktu seakan terasa seperti berlari kencang. Siang di kejar malam. Malam pun diburu pagi. Sang waktu tiada pernah berhenti. Dia terus melaju dan meninggalkan segala di belakangnya tanpa peduli. Dan waktu juga bisa menghapus luka. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Dinni belakangan ini. Keadaan Dinni pun sudah semakin membaik. Meski masih sering menangisi kepergian Juan di malam hari, setidaknya Dinni sudah kembali bergerak melanjutkan hidupnya. Dia kembali bekerja dengan giat. Tanpa terasa sudah satu bulan dia bekerja di Puri Ardhana. Segala penat yang dia rasakan selama bekerja di sana langsung menguap begitu Dinni menerima gaji pertamanya. Setelah mengarungi badai dan drama pelik, akhirnya Dinni menuntaskan bullan pertamanya bekerja di puri Ardhana. Dinni masih menghitung lembaran uang kertas di atas kasurnya. Gadis itu kemudian mulai memilah-milah uang itu dan memasukkannya ke dalam sebuah amplop. Masing-masing amplop diberi keterangan seperti: untuk Ibuk, tabungan, dan biaya hidup sehari-hari. Sebagai seorang sarjana manajemen, sepertinya Dinni sudah mengatur gaji pertamanya itu sebaik mungkin. “Wah... jadi begini ya, rasanya gajian?” Dinni tersenyum senang. Dinni memeluk amplop-amplop itu di dadanya dengan mata berbinar. Sedetik kemudian dia melompat-lompat girang dan hampir mematahkan ranjangnya itu. Gadis itu terus bergoyang-goyang mengekpresikan kebahagiaannya. Dinni tersenyum puas. Dia merasa termotivasi untuk bekerja lebih rajin lagi. Gaji yang diterima bahkan tidak kalah dari gaji pegawai kantoran. Dinni sendiri tidak menyangka bahwa dia akan digaji sebanyak itu. Namun mengingat semua cucuran keringatnya selama bekerja, Dinni pun bisa memakluminya. Dia merasa panas menerima semua gaji itu. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh Mbak Rieta di masa lalu. Dinni memang pekerja sebagai ART elit dengan tugas yang tak kalah pelik. Penat yang dia rasakan setiap hari bahkan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Namun segala rasa letih itu kini sudah terbayar lunas. Setelah puas bergoyang, Dinni beranjak ke depan cermin. Dia menatap bayangannya sendiri, lalu mengepalkan tinjunya. “Oke Dinni... nggak ada lagi waktu untuk bersedih. Untuk urusan jodoh, percaya saja... kalau emang dia jodoh kamu, maka dia akan segera kembali nanti. Untuk sekarang... mari kita fokus bekerja.” Dinni pun beranjak untuk merapikan kamarnya. Dia merombak ulang semua tatanan kamarnya itu untuk membuat suasana baru. Dinni memindahkan letak ranjang dan lemari pakaiannya. Dia juga sibuk memindahkan rak berisik koleksi boneka miliknya. Hingga kemudian Dinni tertegun emnatap deretan foto dia dan Juan yang masih menempel sempurna di dinding kamar itu. Tatapan mata Dinni pun berubah sayu. Sampai detik ini Juan masih saja belum menghubunginya lagi. Dinni pun kadang larut dalam pertanyaan yang masih tiada menemui jawab. Sebenarnya dosa apa yang sudah dia lakukan? Kesalahan apa yang sudah dia perbuat hingga Juan tega pergi meninggalkannya seperti itu? Dinni mendesah pelan. “Sebenarnya kamu di mana?” Dinni pun beralih melepaskan foto itu satu persatu dan memasukkannya ke dalam sebuah kotak kecil. Untuk saat ini menatap deretan foto itu saja terasa sangat menyiksa baginya. Dinni butuh waktu untuk menenangkan dirinya terlebih dahulu. Bukan berarti dia ingin melupakan Juan, hanya saja dia ingin menjeda sejenak dari rindu yang selalu menyapa. Dari harap yang menemaninya setiap malam dan juga dari segala tanya yang memenuhi isi kepala. _ Pagi ini Dinni datang lebih awal ke puri Ardhana. Hari ini dia siap untuk memulai bulan keduanya dengan energi yang lebih prima. Dia tersenyum senang melihat bangunan puri Ardhana yang megah itu. Hari ini bangunan itu terlihat lebih indah daripada sebelumnya di mata Dinni. Sebelumnya dia bahkan melihat rumah itu seperti rumah hantu yang menakutkan. Sebelumnya setiap pagi Dinni selalu bergidik ngeri saat harus menginjakkan kaki di sana. Biasanya pundaknya selalu terasa berat saat akan memulai hari untuk bekerja di sana. “Dinni ... kebetulan kamu sudah datang, saya minta tolong antarkan ini ke kantornya Reyhan.” Mbak Rieta menyerahkan sebuah dokumen kepada Dinni. Dinni mengambil dokumen itu dengan wajah ragu. “Ke kantornya Pak Reyhan, Mbak?” “Tenang aja, Pak Maman yang bakalan nganterin kamu ke sana.” Mbak Rieta seakan bisa membaca pikiran Dinni. “Baik Mbak, kalau begitu saya berangkat dulu.” Dinni segera berlari menyusul Pak Maman yang sudah menunggu di dalam mobil, tapi begitu akan memasuki mobil itu, seseorang menyentuh pundaknya pelan. “Hei, mau ke mana?” Dinni menoleh ke sumber suara. “Pak Ali?” Ali tersenyum. “Saya ngerasa tua sekali kamu panggil Bapak.” Dinni tersenyum canggung. “Habis saya nggak tahu harus manggil apa.” “Panggil nama saya aja!” Dinni terdiam, kemudian langsung menggeleng. “Sepertinya itu agak sedikit....” Ali melipat tangannya di d**a “Kenapa? kamu ngerasa nggak enak sama saya? toh, saya bukan Bos kamu seperti Reyhan. Jadi sebagai teman nggak ada salahnya bersikap santai satu sama lain.” “Teman?” Dinni lebih terkejut lagi mendengar ucapan itu. Teman? Apa orang seperti dia bisa berteman dengan sosok yang sempurna itu? Dinni masih terpana dan tidak juga menjawab. Sementara, Ali kini tertawa menampilkan deretan giginya yang rapi dan putih bersih. “Oh iya, kamu belum jawab pertanyaan saya,” ucap Ali. “Pertanyaan?” “Kamu mau ke mana?” Dinni mengangkat dokumen di tangannya. “Aku mau nganter ini ke kantornya Pak Reyhan.” “Kalau gitu bareng saya aja.” ajak Ali. Dinni melotot mendengar ajakan itu. Dia belum sempat menjawab, tapi Ali langsung mendorong kedua pundaknya dari belakang menuju mobilnya. “Ayo kita pergi!” ucapnya girang. Pak Maman pun menggeleng pelan. Beberapa waktu belakangan ini sosok Dinni mulai mengusik pikirannya. Dia berdecak pelan sambil terus menatap Dinni yang sudah jauh di depan sana. “Tuan-tuan muda di rumah ini pasti sudah kena pelet... atau gadis itu pasti menggunakan susuk untuk merayu mereka,” ucapnya dengan wajah prihatin. _ Mobil Ali mulai melaju pelan. Mulanya Dinni ingin duduk di bangku belakang, tapi Ali segera menghardiknya dengan nada bercanda dan menyuruh Dinni duduk di depan bersamanya. Sosok Ali ternyata benar-benar tipikal pria yang bersih dan rapi. Interior dalam mobilnya bahkan sangat bersih dan wangi. Dinni tak henti-henti mengendus aroma wangi yang semerbak itu. “Gimana sekarang? apa akhir-akhir ini kamu mulai enjoy sama pekerjaan kamu?” tanya Ali. Dinni mengangguk pelan. “Sepertinya begitu.” “Sampai detik ini aku masih bingung kenapa kamu menolak tawaran aku saat itu.” Ali tersenyum pelan. Dinni meneguk ludah. Dia juga tidak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan itu. Dinni yang merasa canggung itu pun kini mulai menyeka keringat di keningnya. Melihat hal itu Ali pun segera memberikan tisu dan langsung mengatur AC di mobil itu agar lebih dingin lagi. “Kamu kepanasan, ya?” tanya Ali lagi. Dinni malah merasa semakin gugup dan tersenyum canggung. Ali pun tersenyum tipis. Dia menganggap sikap Dinni itu sedikit lucu dan menggemaskan. “Kamu nggak perlu canggung seperti itu, Din. Aku nggak makan orang kok!” Dinni hanya menyeringai pelan. Sepanjang perjalanan pun Ali terlihat berusaha keras untuk mencairkan suasana. Dia bercerita panjang lebar dengan topik yang silih berganti untuk memancing Dinni bersuara. Namun semua usahanya itu tidak membuahkan hasil. Dinni masih saja menatap bingung dan menutup bibirnya rapat-rapat. Akan tetapi meskipun begitu Ali tetap merasa senang karena bisa menghabiskan waktu bersama Dinni. “Nah itu kantornya! Kamu hati-hati ya!” pesan Ali saat Dinni turun dari mobilnya. Dinni hanya mengangguk pela, tapi ketika melangkahkan kaki turun tiba-tiba dia terkejut karena cardigan yang dia kenakan tersangkut di kursi. Dinni pun membelalak kaget dan hampir terjatuh. Sedangkan Ali tidak bisa menahan tawa dan segera membantu Dinni untuk melepaskan bajunya yang tersangkut itu. “M-maafin aku dan terimakasih,” ucap Dinni dengan pipi yang sudah memerah. “Nggak apa-apa kok. Santai aja,” jaawab Ali kemudian. Mobil Ali pun sudah melaju pergi dan Dinni segera bergegas memasuki gedung perkantoran yang mewah itu. Dinni langsung bergegas menuju ruangan Reyhan setelah sebelumnya bertanya ke bagian informasi. Dinni ternyata harus mengantarkan dokumen itu ke lantai tujuh. Dia segera berlari ketika pintu lift hendak menutup. Dengan segenap tenaganya Dinni pun akhirnya berhasil masuk dan langsung memegangi lututnya dengan napas tersengal-sengal. TING Pintu lift terbuka. Dinni baru saja hendak melangkahkan kakinya keluar, tapi dia terkejut begitu melihat seorang gadis yang sedang berdiri di depannya. “Dinni...!” gadis itu berteriak histeris. “M-Mona?” Mona langsung memeluk Dinni dengan sikap sok akrab. Di belakang Mona juga ada tiga orang gadis lain yang kini menatap heran. “Oh iya... ini Dinni, temen aku. Kami kenal saat ngelamar kerja di kantor kita,” ucap Mona pada teman-temannya. Dinni tersenyum tipis, sementara ketiga wanita itu hanya menatap sinis. “Kamu kerja di sini?” Mona kembali menatap Dinni. “A-aku....” Dinni kesulitan menjawab. Mona dan teman-temannya menatap Dinni dari ujung kaki hingga kepala. Tatapan itu membuat Dinni merasa risih. Dia tiba-tiba saja merasa gerah dan ingin segera lepas dari situasi itu. “Kenapa, Din?” Mona menatap bingung. Dinni menelan ludah dan segera menundukkan wajahnya. “Mana mungkin gadis seperti itu kerja di kantor elit seperti ini... lihat aja penampilannya.” “Dari penampilannya, kayaknya dia itu sales obat deh!” “Palingan sales bisnis MLM.” Teman-teman Mona terus berbisik merendahkan Dinni dan dia pun bisa mendengar semua cemoohan itu. “Kalian ini ngomong apa, sih,” sergah Mona. “Dinni itu anaknya pintar, dia nggak mungkin mengambil profesi yang rendah seperti itu. iya kan, Din?” Dinni semakin kelabakan. “Jadi sekarang kamu kerja di bagian apa?” Mona kembali bertanya. Dinni mengepalkan tangannya kuat-kuat. Lidahnya kini terasa kelu. Butiran keringat mulai mengalir di lehernya. Sementara, Mona dan teman-temannya masih menunggu jawaban. “A-aku—” “Dinni...!” sebuah suara membuat Mona dan teman-temannya berbalik. Dinni pun juga terkejut. Dia menatap nanar pada Reyhan yang berjalan ke arahnya. “Di sini kamu rupanya,” ucap Reyhan. “I-iya,” jawab Dinni. Mona dan teman-temannya kini terbelalak dan saling berbisik sambil menyebut-nyebut nama Reyhan yang memang sangat terkenal. Reyhan mengambil dokumen yang dipegang Dinni. “Jadi kamu udah menyelesaikan laporannya?” Dinni menatap heran. “Kalau semuanya sudah siap, kita harus segera membahas perencanaan selanjutnya,” ucap Reyhan. Dinni semakin bingung. “Kenapa? apa kamu tidak tahu kalau sebagai sekretaris kamu juga bisa berkontribusi dalam sebuah proyek?” tanya Reyhan. Mona dan teman-temannya kompak menutup mulut mereka yang menganga lebar. “S-sekretaris...?” “Gadis itu jadi sekretarisnya Reyhan?” Dinni tercengang dan tidak bisa berkata-kata. Dia benar-benar bingung dengan situasi itu dan juga tidak mengerti kenapa Reyhan tiba-tiba berkata seperti itu. “Kita udah nggak punya waktu lagi,  jadi sekarang ayo ikuti saya!” Reyhan segera melangkah pergi. Dinni pun mengangguk dan segera mengikutinya Reyhan pergi dari sana. Kehebohan pun pecah begitu Reyhan dan Dinni menghilang di ujung lorong. “Gila...! ini benar-benar gila. Sosok perfeksionis seperti Reyhan mempekerjakan gadis seperti itu jadi sekretarisnya?” “Apa kemampuan gadis itu luar biasa sampai dia bisa menembus kantor ini?” “Itulah makanya kita nggak boleh menilai seseorang dari sampulnya!” “Aaah... aku malu banget tahu nggak, karena tadi udah ngejelek-jelekin dia. Ke empat gadis itu pun masih asyik bergosip. Sementara, Dinni dan Reyhan ternyata bersembunyi di balik dinding. Reyhan masih menempelkan telunjuknya dibibir menyuruh Dinni untuk diam. Reyhan tersenyum mendengar ucapan para gadis itu, sedangkan Dinni menatap nanar. Dinni masih terpaku menatap senyuman itu. Dinni mengucek-ngucek matanya mengira ada yang salah dengan penglihatannya, tapi tidak. Reyhan benar-benar tersenyum. “Katanya dia tidak pernah tersenyum. Katanya dia tidak bisa tersenyum. Tapi, sekarang... dia tersenyum. Apakah ini benar-benar nyata?” tanya Dinni dalam hatinya. _ Bersambung HALO SEMUA! BARU KESAMPAIAN UNTUK MENYAPA. GIMANA? APA KALIAN SUKA DENGAN CERITA INI? JANGAN LUPA KOMENTAR YA BIAR AUTHOR SEMAKIN SEMANGAT UNTUK UPDATE. TENGKIU
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN