"Sayang, kamu kenapa, sih? Kamu sakit?" aku menepis punggung tangan suamiku dengan kasar.
"Jangan sentuh! Kamu melakukan ini dengan siapa? Jawab dulu! Jangan mengalihkan pembicaraan!" Bukannya terkejut, suamiku malah tertawa pendek.
"Sayang, kita bukannya baru satu bulan ini berhenti pakai kontrasepsi? Itu punya kita. Aku baru beresin lemari, mau nyari kunci lemari tempat simpan berkas kartu keluarga. Kamu gak percaya? Sana lihat di tempat sampah! Jangan suka suuzon sama suami. Apalagi sama Esti." Aku bergegas pergi untuk melihat tempat sampah yang ada di depan pintu kamar mandi. Ada empat bungkus alat kontrasepsi yang kosong dan juga satu box kecil warna biru.
"Maaf, Mas, aku lupa dan aku selalu kepikiran hal ini sejak lihat ada obat kuat pria di laci lemari Esti," kataku dengan wajah tegang yang mulai mengendur.
"Obat kuat? Untuk apa Esti punya obat kuat?" tanya suamiku heran. Aku menggeleng kepala.
"Aku juga gak tahu. Apa Esti pacaran sama sopir atau pembantu tetangga ya, Mas?"
"Gak mungkin."
"Loh, kenapa gak mungkin?" kali ini aku kembali terheran melihat ekspresi Mas Galih yang seperti tidak terima.
"Esti itu irit bicara. Emang ada pembantu di lingkungan sini yang jadi teman Esti? Kayaknya nggak ada kan? Udahlah, lagian kalau dia simpan obat itu, itu urusan dia, Sayang. Kita gak boleh ikut campur. Itu hak asasi Esti. Mau dipake sama sama siapa, kita gak boleh kepo karena selagi kerjaan Esti di rumah ini baik-baik saja." Aku menghela napas. Rasanya sangat janggal dan komentar suamiku sama sekali tidak menenangkan kegundahan hati ini. Aku harus mencari tahu sendiri.
Selesai aku mandi, kulihat suamiku sudah mendengkur. Aku bergegas keluar dari kamar sambil membawa ponsel.
"Esti," panggilku di depan pintu kamarnya.
"Ya, Bu." Pintu kamar terbuka.
"Ada apa, Bu?" tanyanya sambil menguap. Aku melirik jam dinding yang masih berada di jam delapan lebih tiga puluh menit.
"Belikan aku koyo cabe. Aku masuk angin." Aku memberikan uang lima puluh ribu pada Esti.
"Oh, baik, Bu. Di warung depan apa harus ke apotek, Bu?"
"Ke warung depan aja." Esti mengangguk paham. Ia menutup pintu kamarnya setelah menerima uang dari tanganku. Suara motor matic keluar dari pagar. Aku mengintip dari jendela ruang tamu untuk memastikan bahwa Esti sudah benar-benar pergi ke warung. Gegas aku masuk ke kamarnya, lalu membuka laci lemari yang kemarin, tetapi yang membuatku tercengang adalah obat yang kemarin aku temukan, sudah tidak ada.
Aku mencari ke seluruh ruangan, tetapi tetap tidak aku temukan. Esti pasti membuangnya atau mungkin sudah menyembunyikannya di lain tempat.
"Bu, ini koyoknya." Esti meletakkan koyo cabe pesananku dan uang kembalian di atas meja ruang makan karena aku sudah duduk di sana menunggunya.
"Makasih, Esti. Oh, iya, ini aku kayaknya lagi sakit pundak. Tanda-tanda kolesterol kayaknya. Aku minta obat kolesterol kamu yang kemarin, masih ada gak?" wajah Esti mendadak pias.
"Obat kolesterol ya, Bu? Oh, i-itu saya salah beli obat, Bu. Dosisnya terlalu tinggi, jadi sudah saya buang. Saya belum beli yang baru lagi. Maaf ya, Bu. Coba tadi Ibu bilang, saya jadi bisa sekalian belikan." Aku menggeram dalam hati. Kenapa selalu saja ia menemukan alasan masuk akal yang membuatku kesal?
"Obat itu bukannya ada beberapa jenis, kamu buang semua?" Esti mengangguk kaku. Ia terus memilin jarinya karena gugup. Aku sangat hapal reaksi orang gugup karena telah berbuat salah.
"Baik kalau begitu. Aku harap tidak ada hal lain yang kamu sembunyikan dariku ya, Es. Aku sudah percaya sama kamu dan aku harap, kamu menjaga kepercayaanku ini." Esti mengangguk. Aku kembali ke kamar dengan perasaan gondok. Aku masih belum bisa menemukan rahasia apa yang disembunyikan Esti. Haruskah aku pasang CCTV di rumah tanpa sepengetahuan Mas Galih?
"Kamu dari mana?" Mas Galih rupanya terbangun saat aku kembali ke kamar.
"Aku ke bawah pengan makan, tapi gak jadi. Tiba-tiba gak berselera."
"Jangan suka makan malam hari. Lemak di badan kamu semakin menumpuk nanti." Setelah mengatakan hal itu, suamiku kembali memejamkan mata. Aku pun menyusulnya. Aku berharap sakit kepala ini segera reda jika aku tidur dengan lelap.
Keesokan paginya, Esti pamit pergi ke pasar. Seperti biasa, hari Minggu ia memang ke pasar untuk berbelanja kebutuhan dapur selama satu Minggu. Aku dan suamiku jalan pagi di tamat komplek, lalu sarapan bubur ayam di sana.
"Halo, Mbak Kikan." Aku menoleh dan langsung tersenyum saat tahu siapa yang menegurku.
"Bu Citra, apa kabar?" kami bersalaman dan juga cipika-cipiki. Suamiku melanjutkan berlari-lari kecil mengelilingi taman komplek.
"Sehat, Mbak Kikan sehat?" aku mengangguk sambil tersenyum.
"Tumben kemarin laundry setrika pakai yang ekspres tiga jam rapi. Emangnya mau pergi ke mana, Mbak, bawa pakaian banyak? Keluar kota?" aku sontak mengerutkan kening.
"Laundry setrika?" Bu Citra mengangguk sambil tersenyum.
"Saya ada pembantu Bu, jadi dia yang setrika, mungkin Bu Citra salah orang."
"Nggak mungkin toh! Orang Pak Galih yang antar pakai mobil sama pembantunya sampean. Siapa namanya, Esti ya?"
"Apa, Bu? Suami saya yang antar laundry?"
Bukannya Esti bilang dia yang setrika, kenapa malah sekarang jadi begini? Apa yang sebenarnya terjadi di belakangku?