Mari kita pulang
Jam sudah menunjukan sebelas pagi. perjalanan akan ditempuh selama 3 jam. Kami sedang menunggu konfirmasi dari Jmabu manis apakah dia mau pulang atau tidak.
Setelah duhur, Jambu Manis berkonfirmasi menerangkan bahwa dia tidak bisa pulang hari ini. Masih banyak hal yang akan dikerjakan disini. Di kampung halamannya. Akhirnya hanya mereka berempat yang pulang.
Mereka berboncengan, kali ini JP berboncengan dengan Jati.
Jati terdiam, menunggu kata-kata. Jeruk Purut terdiam menunggu kata-kata. Semua menunggu kata-kata dalam diam. Diam memberikan arti dalam duka yang mereka kepang sejak tahun lalu. Peristiwa yang sulit untuk diterima dari sahabat sendiri. Yah, angin laut itu yang menjadikan harapan-harapan yang tidak nyata menjadi nyata.
Angin laut menjadi semilir, menerpa wajah-wajah yang menghadap ke matahari. wajah-wajah dengan beragam ekspresi yang membuat semua menjadi lebih baik seiring dengan waktu.
Rasa kehilangan, kehilangan dari hati yang membuat susah untuk move on. Susah untuk melangkah dengan segenap jiwa dan raga. Rasanya semua ikut mati.
Hati ini menjadi tawanan. Antara hidup dan mati, antara bahagia dan senang. Semua bercampur tidak jelas. Semua menyatu menjadi kebingungan dalam merasakan kehidupan.
Adakah yang merasakan sakit, saat langit tidak lagi ingin bersama mereka. Hanya bumi menjadi selimut tubuh berkafan. Semua terdiam dan tidak mampu berkata-kata.
Hanya para malaikat mendampingi, mendampingi perjalanan abadi.