Vocksar!

3136 Kata
Jam berikutnya, kelas bela diri. Sementara Regha kembali ke ruang kelas sejarah.  Setumpuk jawaban ujian di mejanya, dia penasaran dengan lembar milik Ara, pertanyaannya di kantin seolah anak itu tau betul bagaimana kejadiannya, padahal mengenai Vocksar dan benang merah, itu adalah informasi rahasia. Dia bahkan berani meragukan Raja sebagai orang yang paling berjasa dalam menumpas Benang Merah. Dia yakin sekali, bahkan tidak mungkin ada mahasiswa tingkat 1 yang pernah mendengar kata Vocksar sebelumnya. Mereka pasti akan kebingungan begitu membaca soal miliknya, bertanya istilah apa itu, apakah sebuah nama kota, makanan atau orang? Sekalipun dirinya sendiri, dia sangat menjaga informasi kebenaran mengenai Vocksar dan Benang Merah, juga siapa saja yang turut andil mengalahkan mereka. Kali ini, seseorang yang tidak pernah ia duga, mahasiswa baru tingkat 1 di provinsi pula, menanyakan dengan berani seolah dia juga sangat mengenal Vocksar dan Benang Merah, bahkan lebih dari dirinya. Regha mendadak benar-benar ingin tahu siapa Ara sebenarnya dan bagaimana dia bisa tahu sebanyak itu.  Regha menemukan lembar jawaban Ara. Dan? Dia kembali tercengang. Kali ini bukan karena kagum tapi karena terkejut, lembar jawabannya hanya berisi jawaban-jawaban umum sama seperti teman-teman lainnya. Bahkan pertanyaan tentang Vocksar tidak ada jawabannya. "Apa ini?" bisik Regha kecewa berat. "Dia menceramahiku panjang lebar tentang kebengisan Vocksar seolah-seolah dia pernah bertemu mereka, tapi disini tulisannya hanya 'tidak tahu' ?" Dia meninggalkan ruangannya, menggebrak pintu dengan keras lalu melangkah cepat ke ruang kelas bela diri. Terhitung sepuluh langkah dia berjalan, Regha berhenti mendadak. Dia berpikir lagi. "Kenapa aku bersikap begini? Memalukan! Aaiisshh.. " Dia berputar arah kembali ke kantor dosen. "Tunggu saja, aku pasti akan segera tahu darimana kau dapatkan keberanian menceramahiku seperti itu, Ara. Akan aku cari tahu," dengusnya. Dia sampai di pintu ruang dosen, ruangan itu sepi, semua fokus di meja masing-masing. Regha berhenti di depan pintu. Dia mengamati ruangan itu, tidak ada seorang pun yang tidak sibuk, semuanya tertunduk di meja masing-masing. Ruangan itu besar, cukup untuk 20 meja dosen. Setengah ruangannya digunakan ruang tamu. Dan di sisi lain ruangan berjajar rapi lemari kayu besar, Regha menduga itu lemari arsip siswa disini. Dia tersenyum simpul. "Eh'hem.." Regha berdehem. Niat hati dia ingin meminta perhatian seseorang di ruang itu. "Oh pak Regha?" seru Aston, dia dosen juga, tentunya dosen senior di sekolah ini. Pak Aston kepala ruangan dosen 1, dia juga wakil direktur. Badannya besar tapi tidak terlalu tinggi.  "Anda sudah datang lebih awal pak Regha?" seru Aston menyapa Regha dengan hangat. Dosen wanita yang lain mulai berbisik-bisik dengan sebelah mereka sedetik setelah mereka terpesona melihat tampang Regha yang menyenangkan hati. Regha hanya melirik mereka dengan senyum tipis, perhatiannya tetap terfokus pada Pak Aston. "Jadi benarkah dia dosen baru untuk sejarah itu?" "Wow, bahkan dia masih terlihat seperti mahasiswa.. berapa usianya?" "Dia masih sangat muda dan tampan.." "Kudengar dia sudah bergelar profesor? Dan sering mengadakan perjalanan ke Guldora!" "Ada rumor katanya dia adalah bangsawan dari Ibukota.." "Woooowww.." Regha berdehem, mereka langsung berhenti. Dan menatap Regha dengan tersipu malu. Regha membalas sapaan mereka dengan senyuman ramah. "Hmm pak Regha, saya sudah siapkan satu meja kosong untuk anda, mari saya antar." Regha hanya mengangguk tipis lalu mengikuti pak Aston menunjukan meja kerjanya.  ֎֎֎֎ Kelas Bela Diri tingkat 1 Sekarang hampir pertengahan semester, artinya sebentar lagi ada ujian pertengahan semester. Mahasiswa tingkat 1 harus menguasai teknik dasar bertahan dan menghindar untuk ujian tengah semester ini. Sekolah tinggi umum disini bukan sekolah tinggi bela diri seperti halnya sekolah tinggi Naviza di ibukota beberapa tahun lalu. Sekolah tinggi umum tidak memfokuskan siswanya mahir dan menjadi ahli dalam bela diri, kemampuan utama yang diajarkan adalah wawasan umum, sementara kelas bela diri ini hanya sebagai bekal dasar bagi mahasiswa. Karena posisinya bukan fokus utama, kelas bela diri sering diremehkan oleh mahasiswa. Walaupun begitu, siapa yang terbaik atau terburuk di kelas ini mendapat tempat tersendiri untuk dikenang sebagai memori berharga di kelas. Mahasiswa paling buruk itu adalah Ara. Dia benar-benar buruk dalam hal apapun di kelas ini. baik itu bertahan dengan kaki ataupun tangan, entah itu gerakan menyerang atau menghindar. Jadi wajar jika setiap kelas berakhir Ara selalu menderita lebam di sekujur tubuhnya. Melawan Ara mungkin kesempatan besar bagi mahasiswa lain untuk mendapatkan nilai sebesaar-besarnya, karena mereka akan menang dengan mudah tentunya. Siang ini dosen pelatih kembali membuat latihan man to man, satu lawan satu. Satu lainnya sebagai penyerang, satu lainnya sebagai bertahan. Tiga puluh mahasiswa duduk melingkar diatas lantai kayu ruang kelas bela diri. Kelas bela diri dua kali lebih besar dari kelas biasa. Tidak ada bangku ataupun meja. Hanya ruangan besar berbentuk persegi panjang. "Selanjutnya, Ara melawan Varro!" suara Pak Gaga melengking dari ujung lingkaran. Sementara mahasiswa lain bersorak kegirangan. Ini jelas pertunjukan hiburan untuk mereka. kali ini tidak akan ada bedanya, Ara akan kembali dengan babak belur disana-sini. "Kali ini Ara akan mencapai puncak penderitaannya!" "Pak Gaga betul-betul tega membiarkan Ara melawan Varro. Padahal beliau sudah tahu bagaimana selisih kemampuan mereka yang seperti bumi dan langit!" "Varro pasti menang lagi. dia yang terbaik di kelas ini, tidak, dia terbaik di sekolah ini!" Semua mahasiswa punya opini mereka masing-masing. Sementara Ara gemetaran melangkah ke arena lingkaran di tengah-tengah mahasiswa yang lain. Dia berkali-kali akan mundur ke tempatnya semula jika Nam tidak menahan dan mendorongnya untuk tetap maju. "Ayoo Ara kau bisa!! Maju!" semangat Nam membisiki Ara yang terlihat putus asa dan takut melawan Varro. "Kau tidak tertarik menggantikanku, Nam? Kumohon..." bisik Ara merintih pada Nam. Disisi yang lain Varro sudah siap, dia berdiri dengan gagah dan d**a yang tegak. Perawakannya yang putih tinggi dengan otot yang kokoh melengkapi julukan masternya di sekolah ini. bicara soal level sesungguhnya, apakah Varro lebih baik dari Ara? Ataukah hanya Ara yang sengaja mengalah? Tentunya Varro punya sesuatu yang lain dengan Ara. Mereka berdua sudah saling berhadapan. Tubuh Ara meringkuk sedikit membungkuk, dengan tangan gemetar dan kuda-kuda yang tidak siap. Tapi Varro melihat mata Ara mengatakan hal yang berbeda. Sama sekali tidak ada rasa takut di mata itu, sekalipun sikap tubuhnya berkata lain. Sedetik merasakan sensasi rasa tegang di atas arena ini mendadak memaksa Ara mengingat kembali memori lamanya. Pertandingan kelulusan memperebutkan gelar "Migliore" di sekolah tinggi ilmu pedang Zakaffa. bayangan itu  kembali muncul sangat jelas di hadapannya. Bagaimana ia sekarang seolah berdiri di arena pertandingan, ratusan penonton di tribun menyoraki namanya untuk semangat kemenangan. Dan dia dengan bangga mengangkat pedangnya menantang pendekar terakhir demi gelar Migliore. Dia merasakan udara ketegangan dan kehangatan di arena itu. sekarang dihadapannya ada Ktalana, lawan terakhir untuk kelulusannya. Mereka berdua saling melempar senyum tantangan. Kedua pedang sudah terhunus dan kuda-kuda siap menyerang. Semuanya baik-baik saja sebelum Benang merah ikut campur dan menculiknya. Sekarang dia tidak bisa dengan bangga mengangkat pedangnya, menyebut namanya dan yang terburuk adalah dia sudah kehilangan semua yang berharga yang ia miliki. Sebuah keluarga kecil yang baru ia bangun sudah hancur tanpa menyisakan apapun kecuali kepedihan. Ara memejamkan matanya, kelopaknya basah dan jatuh ke pipinya. "Ketika semua yang berharga telah direnggut dariku, setidaknya aku hanya membutuhkan satu orang untuk tetap disisiku. Angkasa, Bagaimana kabarmu?" "Ara! Aku mulai !" seru Varro.  Ara segera tersentak dari memorinya, suara Varro mengejutkannya. Tapi Ara terlambat sadar, dia lebih dulu terpental ke pinggir arena setelah tinju Varro menghantam wajahnya. Dia mimisan, hidungnya merah. Teman-teman lainnya berteriak histeris.  Beberapa detik Ara kehilangan kefokusan, matanya buram dan kepalanya sedikit berputar. Sementara hidugnya terus mengeluarkan darah. "Hei aku belum siap!" teriak Ara, suaranya meninggi tapi dia tidak marah. "Kenapa dia meninju wajahku? Berani sekali anak ini ? aahh sial! Dia berhasil mempermalukanku.. haruskah aku melawannya? Aah tidak jangan, dia akan mengenaliku jika aku kelepasan. Hati-hati Ara.. hati-hati" Ara sudah berdiri lagi. kepalanya masih berputar, kakinya belum kokoh. "Ara, maafkan aku.. kali ini aku akan pelan-pelan saja.. oke?" seru varro. "Kau meremehkanku ?" balas Ara jengkel. "Ara! Kali ini kau harus menghentikan serangan Varro! Kau harus berhasil setidaknya bertahan dari serangannya kalau ingin mengikuti ujian bulan depan! Ingat itu baik-baik!" teriak pak Gaga dari sisi arena. "Baiklah.. hanya menahan kan? Tidak masalah.. kemarilah varro aku pasti akan menahan seranganmu!" seru Ara. Varro berlari menyerang Ara, dia segera melayangkan tinjunya lagi. kali ini Ara tidak bisa sepenuhnya membiarkan dirinya kalah, tiket ujian ditentukan dari hasil pertandingan hari ini, tapi dia juga tidak boleh terlalu hebat. Varro membidik perut bagian kanan, Ara cepat menyadarinya, dia melangkah sedikit ke kiri, gerakannya terlalu cepat untuk dilihat yang lain jadi kesannya Ara sama sekali tidak membuat gerakan tapi Varro yang meleset serangannya. Karena kekuatan Varro yang terlalu besar tidak mengenai sasaran, dia meninju udara dan terpeleset ke sisi kanan Ara. Mahasiswa lainnya terkejut dan mereka tentu saja bingung dengan pemandangan ini. "Heii.. kau sengaja mempermalukanku Ara?" bisik Varro massih ditempat posisinya tersungkur. "Aku tidak akan main-main lagi sekarang." Ara hanya meliriknya tanpa memberikan respon apapun. "Aku tidak melakukan apa-apa. Kau yang meleset Varro," balas Ara dengan suara datar, dengan senyum simpul tipis. Dari posisi itu Varro langsung membalas ucapan Ara dengan tinju baru, dia menyerang sisi belakang, tentu saja Ara bisa membaca gerakannya dengan cepat. tapi kali ini dia harus menerima serangan itu, butuh gerakan besar untuk menghindari serangan Varro, jika dia lakukan itu maka gerakannya akan terlihat hebat. Ara tersungkur keras. tinju besar itu menghantam punggungnya. Dia tengkurap di lantai arena, Varro tersenyum licik melihat kemenangannya. Dia berdiri dengan percaya diri. Beberapa menit, Ara belum bangkit, pipi kirinya masih menempel di lantai arena. Teman-teman yang lain mulai panik, apa yang terjadi pada Ara. Apakah dia pingsan? Apakah cedera? Ternyata Regha mengawasi pertandingan satu lawan satu ini sejak awal. Dia berdiri di dekat pintu kelas sambil menyilangkan kedua tangan di d**a, dia menikmati pertunjukan Ara. "Jadi , apakah dia benar-benar siswa paling bodoh di kelas bela diri?" bisik Regha kepada dirinya sendiri. Dia tersenyum. Kembali pada Ara.  Teman-teman mulai menghampiri Ara yang sudah babak belur. Kejadian seperti ini sudah biasa untuk mereka. Varro lawan yang terlalu berat untuk Ara, mereka semua sadar hal itu. jadi sebagian teman memohon pada dosen pelatih untuk mengakhiri saja pertandingan ini. mereka terlalu kasihan dengan kondisi Ara. "Tidak, kita lanjutkan saja. Aku masih sanggup berdiri." Ara kembali siap menghadapi Varro. "Kali ini aku akan serius, Varro. Jadi bersiaplah." Varro kembali berlari mengawali serangan. Tangannya sudah mengepal siap melayangkan tinju. Ara tetap berdiri di tempatnya. Pada jarak 1 m, Varro melepaskan tinjunya, Ara melompat, lay up ke atas kepala Varro dengan bertumpu pada pundak Varro. Sekarang dia berdiri tepat di belakang Varro dan mengunci tangan kanan Varro ke belakang. Tanpa menunggu, Ara melepaskan serangan bertubi-tubi dengan meninju punggung Varro tanpa henti. Lalu serangan di tutup dengan menendang lutut kaki dan menjegal dari belakang. Varro tersungkur ke lantai tanpa perlawanan. Semua hanya terjadi selama satu menit. Suasana yang awalnya gaduh, tersulap jadi senyap seketika. Mereka semua tertegun dengan pemandangan yang baru saja terjadi. Tidak terkecuali dengan pak Gaga. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Ara bisa melakukan gerakan yang super cepat begitu, terlebih lagi berhasil mengalahkan Varro yang sudah didaulat peraih nilai tertinggi di kelas ini hanya dalam satu menit. Sementara Regha hanya memasang wajah biasa saja, tidak terkagum ataupun terkejut. "dia melakukan gerakan bertahan lay up, menyerang dari belakang dengan tinju bertubi-tubi. Jika bukan orang yang sangat terampil, tidak mungkin bisa mengantisipasi serangan semacam itu. hmm itu serangan biasa. Kenapa semua orang terkagum berlebihan begitu? Gerakan semacam itu adalah serangan paling-paling dasar yang wajib dikuasai. Bahkan itu serangan dasar untuk level pertama di sekolah tinggi ilmu pedang Zakaffa. Kalau aku perhitungkan secara kecepatan waktu, dia bisa menyelesaikan dalam waktu 1 menit. Kalau tidak salah, 1 menit adalah level serangan ketrampilan enam, kalian tentu bisa mencapainya setelah latihan 1 bulan penuh, dikalikan lima level dibawahnya. Wow! Sekolah tinggi ilmu pedang memang luar biasa! Apakah mereka tidak mengajarkannya disini?" lagi-lagi Regha berbicara dengan dirinya sendiri mengomentari pemandangan yang ia nikmati. Tiba – tiba dia terdiam membeku lagi, "Tunggu! Ara bisa melakukan rangkaian gerakan bertahan lay up dalam 1 menit ?! bagaimana mungkin? Mahasiswa sekolah pedang ibukota saja tidak mudah untuk menguasai gerakan itu, ditambah sekolah ini tidak mengajarkannya. Lantas, bagaimana bisa? .. " Regha kali ini benar-benar tertegun. Kembali ke Ara.  Dia tidak terengah-engah sama sekali nafasnya, tetap stabil. Mungkin karena hal seperti ini sudah biasa dia lakukan. Ara melangkah mendekat ke varro lalu mengulurkan tangan membantunya berdiri. Teman-teman yang lainnya masih tidak bersuara sama sekali. Wajah mereka masih melongo. "Pak, apa saya boleh ikut ujian?" seru Ara. Akhirnya kelas kembali sadar. Mereka langsung bersorak atas kemenangan Ara. Sementara Varro  memasang wajah jengkel atas kekalahannya. Ara kembali ke tempat duduknya, sementara pertandingan lain dilanjutkan. Nam langsung menyambutnya dengan senyum dan keceriaan. "Hei, apakah itu sulit? Badanmu tidak papa?" tanya Nam khawatir. "Tak kusangka kau mengalahkan Varro! Mahasiswa terbaik dalam bela diri di tingkat 1!" "aaahh sekarang kau mengakui Nam? Perlukah aku kalahkan juga mahasiswa bela diri terkuat di sekolah ini? atau bahkan di negeri ini? ahahaha" mereka tertawa bersama. "tentu saja aku bisa, Nam. Mengalahkan mereka, para pendekar terbaik negeri ini." tambah Ara dalam hatinya. ֎֎֎֎ Sekolah hari ini telah berakhir, bersamaan dengan selesainya kelas bela diri. Seperti biasa, Ara harus mampir dulu ke ruang kesehatan sekolah untuk mengobati luka-luka ringannya akibat tinjuan Varro. Dan Nam selalu ada disisinya kapan pun. Sementara mahasiswa lain sudah mengosongkan gedung itu, mereka lebih cepat menghilang daripada datang ketika pagi. Gedung sekolah sepi dengan cepat. "kau lebam lagi Ara.. ckckck.." kata dokter penjaga ruang kesehatan sambil menempel perban di dahi Ara. "yaa beginilah hidupku, mau bagaimana lagi?" jawab Ara dengan ringan seperti tanpa beban ataupun kesakitan. "tapi hari ini dia luar biasa, Dok ! Ara melompat tinggi, lalu lay up, kemudian meninju Varro bertubi-tubi tanpa ampun, dan terakhir, booom! Varro kalah." Nam menceritakannya dengan sangat bersemangat sambil mempraktekan gerakan Ara melawan Varro persis. "kau senang, Nam ?" Varro mengagetkan mereka dari pintu. Dia datang untuk meminta obat ke dokter penjaga ruang kesehatan juga. sepertinya lukanya tidak ringan, Varro berjalan setengah membungkuk. "duduklah disana, sebentar lagi akan aku periksa." Jawab penjaga ruang kesehatan. Mengetahui Varro datang, Nam tidak lagi bersuara ataupun menirukan pertarungan mereka lagi. dia sungguh merasa tidak enak pada mahasiswa terbaik dalam kelas bela diri ini. Varro dikenal bukan orang yang hangat apalagi ramah. Sikapnya selalu dingin pada siapapun. Dia terkenal tapi tidak terlalu akrab dengan banyak teman. Dan juga, ekspresi wajahnya selalu datar bagaimanapun situasinya. "kau baik-baik saja, Varro ?" tanya Ara sedikit ragu. "tentu saja iya. Aku tidak akan tumbang hanya karena pukulan tidak bertenagamu barusan." Jawab varro ketus, tentu saja dia membela diri dan menjaga harga dirinya yang baru saja dikalahkan oleh lawan tak terduga. Dia pasti sangat malu sekarang. "ah syukurlah. Tentu saja kau harus begitu Varro." Balas Ara menyemangati.  "aku hanya melakukannya karena terpaksa. Kau tahu kan pak Gaga mengancamku kalau sampai kalah lagi. " tambah Ara dengan nada putus asa "kau tenang saja Ara, aku baik-baik saja. Aku sengaja mengalah untukmu hari ini." balas varro. "tidak, aku tidak mengalah, tapi kau benar-benar menang. Sial! Bagaimana mungkin aku kalah dari anak paling bodoh di kelas bela diri?" tambah Varro dalam hatinya. "ahh.. jadi kau sengaja mengalah.. pantas saja aku bisa menang. Kalau begitu terima kasih banyak varro, berkatmu aku bisa mengikuti ujian nanti." jawab Ara dengan wajah berseri, "kau mengalah? Yang benar saja, hahaha.. kau harus lebih kuat dariku Varro, sebelum kau berkata soal mengalah." Ara tersenyum diakhir pikirannya. "kalau begitu kami pulang dulu." Ara dan Nam pamitan kepada Varro dan penjaga kesehatan. "tunggu!" seru Varro. "sepertinya lebih baik kalau kita pulang bersama. Bukankah rumah kita searah?" imbuh Varro sedikit malu-malu. "kenapa?" Ara heran pada sikap varro yang aneh ini. dia tidak pernah barang sedikit pun mau dekat atau pun mencoba berteman dengan dirinya ataupun Nam, sekalipun rumah mereka satu arah. "kenapa?" Varro sama terkejutnya, dia tidak tau harus menjawab apa pertanyaan itu. "ah sudahlah Ara. Biarkan saja kalau dia mau pulang bersama kita." Jawaban Nam mengakhiri perseteruan Ara dan Varro. Akhirnya mereka pulang bertiga ke arah rumah yang sama. Hari baru saja gelap, obor-obor sudah dinyalakan di pinggiran jalan besar sepanjang sekolah hingga depan desa rumah mereka. jalanannya sudah sepi, jarang sekali ada orang yang masih berjalan di suasana segelap ini. daerah ini bukan ibukota yang sekalipun malam aktivitas pusat kota tetap ramai. Daerah ini adalah provinsi, berada jauh diluar dinding ibukota. Aktivitas disini tidak sepadat ibukota. Jadi wajar sekalipun masih petang, seluruh jalanan sudah sepi. Di daerah ini tingkat kriminalitasnya juga tinggi, beberapa waktu lalu ada kasus pencurian disertai pembunuhan tepat di jalanan provinsi yang saat ini sedang mereka lewati. Dan terkadang ada orang-orang serba hitam yang bergerak cepat di atas genteng rumah-rumah.  Lalu tiba-tiba anak panah melesat dan saat itulah nyawa kita pasti berakhir. Status kita akan berakhir dengan orang hilang yang tidak akan pernah ditemukan karena sudah jadi mayat dan dibuang ke laut. Tingginya kasus kejahatan di provinsi ini yang menjadi faktor terkuat tidak banyak orang yang mau keluar saat malam hari, kecuali dia menguasai bela diri untuk bertahan hidup. "sebaiknya kita cepat teman-teman. Tidak aman berlama-lama di jalan ini." seru Varro, dia melangkah lebih cepat mendahului Ara dan Nam di belakangnya. Ara memperhatikan gelagat tubuhnya yang jelas seperti orang ketakutan dan penuh waspada. Kepalanya tertunduk dengan keringat dingin dimana-mana. Kedua tangannya menggenggam tasnya. "ya, kita harus cepat." tambah Nam. "tapi kenapa kita harus khawatir Nam? Bukankah hari ini ada Varro bersama kita?" seru Ara bersemangat, dia sengaja menggoda Varro yang sejak tadi berjalan lebih cepat didepannya. "ah benar. hei Nam tapi, kau dengar kabar burung tadi pagi?" balas Nam, "tidak. Aku buru-buru berangkat. Son juga tidak membahas apapun kepadaku. Ada apa?" jawab Ara bingung, kenapa ekspresi Nam jadi terlihat serius dan ikut-ikutan ketakutan seperti Varro "kau benar-benar tidak tahu?" kali ini Varro ikut menjawab. Dia memelankan langkahnya. "ada penjahat berhasil kabur kemarin malam. Dia dihukum atas kejahatan pencurian dan pembunuhan. Dan sekarang belum tertangkap!" "jadi karena itukah kita bertiga harus segera sampai di rumah?" sahut Ara dengan suara yang ringan, dia sudah berusaha keras menampilkan wajah ketakutan sama hal nya dengan Nam dan Varro, tapi tetap tidak berhasil kali ini. jujur saja berita itu tidak membuatnya takut sama sekali. "tentu saja!" Nam dan Varro kompak menjawab Ara. "baiklah, ayo segera ke rumah." Seru Ara. "baiklah kita harus cepat sampai. Walau bagaimana pun aku harus menjaga kalian berdua, benarkan?" Mereka bertiga mempercepat langkah hingga setengah berlari. Bukan karena takut kegelapan, tapi takut jika orang jahat akan tiba-tiba muncul dari kegelapan itu dan melukai mereka. sekalipun ini sesungguhnya baru petang, belum benar-benar malam. Ara berjalan paling belakang, dia sengaja membiarkan Nam dan Varro berjalan lebih cepat di depannya, ini memudahkan Ara untuk memastikan mereka tetap aman. Sekalipun Varro adalah anak terbaik di kelas bela diri, tetap saja dia masih mahasiswa tingkat 1 sekolah tinggi umum, tingkat 1 sekolah umum dengan sekolah ilmu pedang jelas sangat berbeda. Sekolah ilmu pedang memang mengkhususkan diri mendidik mahasiswanya untuk ahli bertarung. Tapi tidak dengan sekolah umum. Jadi biarpun Varro yang terbaik di kelas bela diri, kemampuannya tidak banyak berguna jika sewaktu-waktu ada pembunuh handal yang benar-benar menyerang mereka. bagaimana jika pembunuh itu sekaliber Bangsa Vocksar yang cukup satu tebasan super cepat sudah bisa memotong kepala orang tanpa terlihat? Pembunuh senyap. "aahhh tidak mungkin mereka muncul ditempat seperti ini tanpa alasan! Tidak mungkin.. tidak mungkin.. " Ara berusaha membuang kemungkinan itu dari pikirannya. Hanya memikirkannya saja membuat dia ketakutan setengah mati. Ara kembali berjalan mempercepat langkahnya menyusul Nam dan Varro yang sudah lebih cepat di depannya. Tapi.. baru tiga langkah dia sudah menubruk punggung Varro. Varro berhenti. Begitu juga dengan Nam. Mereka dalam posisi kuda-kuda siap dan tangan yang meninju. Sekalipun gemetarnya terlalu besar untuk disembunyikan. Ara tersentak melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Apa kabar Naviza ? lama tidak berjumpa.. " sapa Xatho ramah, tapi dingin. Ara berdiri membeku. Kedua matanya terbuka dan alis mengangkat naik. Vocksar benar-benar datang. Bagaimana mereka bisa benar-benar datang? Dia hanya memikirkan kemungkinan terburuk, bukan berarti dia menginginkan kemungkinan terburuk itu. tapi kenapa kemungkinan terburuk itu yang harus terjadi?     ֎֎֎֎ Vocksar..  Bangsa terkuat di Zakaffa, Pembunuh senyap dalam kecepatan, Musuh yang paling diperhitungkan! Vocksar, datang menyelesaikan tugas yang tertunda 5 tahun silam..  Naviza mati2an menyembunyikan diri dari mereka, dan sekarang Vocksar menemukannya!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN