suasana mendadak beku, malam ini menjadi sedingin es.
Xatho tidak sendirian, dia bersama dua Vocksar lainnya. Dengan setelan warna merah gelap, jubah panjang terjuntai hingga tanah, dan pedang panjang khas Vocksar terselip di pinggang kiri tertutupi jubahnya.
Xatho membuka tudung jubahnya, membiarkan tiga mahasiswa tingkat 1 ini melihat wajahnya.
Suasana malam kali ini bahkan menjadi seratus kali lipat lebih mengkhawatirkan dibandingkan isu kaburnya penjahat provinsi.
Bahaya yang ditimbulkan penjahat yang kabur tidak sama kelasnya dengan bahaya jika Vocksar yang muncul dihadapan mereka. ditambah lagi yang muncul adalah Xatho, salah satu pembesar di Vocksar.
Varro dan Nam berusaha melindungi Ara di belakang mereka, mereka berdua merasa bertanggung jawab karena ilmu bela diri mereka selama ini lebih baik dari Ara yang mereka kenal. Sekalipun tangan dan kaki mereka gemetar ketakutan, mereka tidak mundur satu langkah pun.
"Kau tenang saja Ara, kami akan melindungimu. Oke?" seru Nam.
Suaranya ikut bergetar sebab sebenarnya ia juga ketakutan. Baik Nam ataupun Varro tidak tahu siapa orang yang berdiri dihadapan mereka, mereka berdua mengira bahwa orang itu adalah penjahat yang kabur dari penjara. Mereka tidak tahu yang dihadapi adalah Vocksar.
Sementara Ara masih tidak bisa berkata apapun, bibirnya terkunci rapat dengan jantung yang berdetak super kuat.
"Ada apa Naviza? Kau tidak membalas sapaan ku?" seru Xatho lagi.
Ara mulai melangkah mundur tanpa ia sadar. Kakinya terlalu lemah hanya untuk sekedar berpindaah posisi.
Dia jatuh, dengan keterkejutan yang luar biasa. Terkejut yang bercampur bingung dan takut.
Kenapa Vocksar bisa menemukan keberadaannya setelah lima tahun ini ia berhasil bersembunyi dan merubah identitasnya.
Ara berusaha berusaha berdiri lagi. sekarang apa yang harus dia lakukan? Dia tidak membawa pedang atau senjata apapun baik untuk melawan atau bertahan dari mereka.
tujuan Xatho sudah sangat jelas dari sorotan matanya yang tajam, tidak ada yang lain selain membunuh dirinya. Menyelesaikan tugas yang tertunda selama lima tahun terakhir.
Sekarang Ara benar-benar mencapai puncak ketakutannya.
"Ara kau baik-baik saja?" teriak Varro dan Nam,
mereka berdua mengkhawatirkan Ara yang selama ini memang mereka kenal penakut dan sangat payah dalam pertarungan.
"teman-teman.. mundur.." akhirnya suara Ara terdengar.
Meskipun sangat lirih dengan gemetaran yang hebat. "Nam, Varro, kubilang kalian harus mundur sekarang" Ara mengulangi dengan lebih keras.
tapi Nam dan Varro tidak menggubrisnya, mereka berdua tidak berpindah selangkah pun.
Sekarang apa yang harus dilakukannya untuk bisa selamat dari situasi ini? haruskah ia lari? Tidak, itu tidak akan berhasil.
Haruskah ia melawan Xatho dan dua rekannya, jika begitu penyamarannya akan gagal. Tapi buat apa lagi penyamaran itu jika sekarang Xatho memegang nasib nyawanya.
Tidak ada pilihan lain kecuali bertarung.
Masalah penyamaran menjadi nomor kesekian. Sekarang masalah hidup dan mati. Dan yang lebih penting, dia tidak boleh membiarkan Nam dan Varro kehilangan nyawa mereka disini. Mereka berdua harus tetap hidup.
"Tidak Ara. Mereka ini penjahat yang baru saja kita bicarakan tadi!" seru Nam percaya diri.
"Penjahat?" Xatho tertawa lebar.
"Sejak kapan aku menjadi penjahat? Naviza.. kau tidak ingin mengenalkanku kepada anak-anak polos ini dengan benar.."
"Nam, mundur.. sebelum semuanya terlambat!" Ara akhirnya membentak diakhir kalimatnya.
Ketakutannya kini menjadi kemarahan. Karena kekhawatirannya yang terus memuncak.
"Siapa dia Ara? Kenapa memanggilmu Naviza?" sekarang Varro yang jadi penasaran. Dia sama- sama tidak mau melangkah sejengkal pun dari posisinya.
Xatho tidak sabar lagi, ekspresinya yang tadinya ramah sekarang mulai berubah beringas sedikit demi sedikit urat-urat wajahnya muncul.
Dia menahan amarahnya yang selama lima tahun ini tertahankan. Selama lima tahun ini dia menyusuri seluruh Zakaffa hanya untuk mencari naviza dan menyelesaikan tugasnya. Dan sekarang akhirnya dia menemukan wanita itu, Naviza.
Apa yang terjadi lima tahun silam pada mereka? bukankah Xatho berjuang bersama Naviza mengalahkan benang merah setahun sebelumnya?
Bukankah Naviza yang dulu membebaskan mereka dari segel abadi? Sesuatu yang mengerikan pasti telah terjadi lima tahun lalu. Sesuatu yang besar hingga memaksa Naviza membuang identitasnya.
Xatho bergerak! dalam kecepatan yang luar biasa dia menarik pedangnya dan maju menebas Varro dan Nam yang menghalangi dia lebih dekat pada Naviza.
Gerakan yang super cepat hingga Nam ataupun Varro tidak menyadari bagaimana dan kapan Naviza sudah berdiri di depan mereka menahan pedang Xatho dengan tangan kosong.
Naviza menahan mata pedang itu dengan membentuk piramid menggunakan kedua telapak tangannya. Semua terjadi hanya dalam hitungan detik.
Nam dan Varro hanya melongo terkagum-kagum dengan kejadian ini.
"MUNDUR!" teriak Naviza kepada Nam dan Varro yang sedari tadi tidak mendengarkan permintaannya sama sekali.
"Dia bukan penjahat yang kabur dari penjara, tapi.. "
Belum menyelesaikan kalimatnya, Xatho menarik pedangnya, dan membuat gerakan serangan. dia berputar dan menyerang dari arah yang lain. Serangan bertubi-tubi yang super cepat. Naviza hanya bisa menghindari serangan Xatho dengan berusaha mengimbangi kecepatan serangan itu. melompat, menunduk, kayang, lay up, meroda ke depan, semua gerakan menghindar yang perlu dilakukan, harus dilakukan dengan kecepatan yang sama seperti kecepatan serangan Xatho.
Nam dan Varro tidak bisa melihat dengan detail gerakan-gerakan pertarungan mereka berdua.
sedetik berikutnya, Xatho berhasil mengenai lengan kiri Naviza. Sayatan cukup dalam dan lebar membuat dia terpental jauh ke belakang menabrak Nam dan Varro. BRUKK ..
"Ara!" Nam terkejut.
Apalagi setelah melihat lengan kiri Naviza yang banjir darah.
Naviza lekas berdiri lagi, tidak ada waktu merasakan kesakitan ataupun sekedar mengeluh.
Naviza berlari menyerang lagi, masih dengan tangan kosong. Sekalipun ini gila, sangat gila, bertarung dengan Vocksar tanpa senjata apapun.
Kali ini dua pengaawal Xatho yang maju menghadang Naviza. Dua lawan satu. Pertarungan tidak kalah sengit. Naviza tidak boleh lengah sedikit pun.
"luar biasa! Kecepatan macam apa ini? aku bahkan tidak bisa melihat dengan jelas gerakan merekaa saat bertarung. Siapa orang-orang ini.. siapa Ara sebenarnya? Bagaimana dia bisa bertarung sehebat ini?" pikir Varro, kali ini dia benar-benar kagum pada kehebatan Ara.
Tidak ada waktu untuk kagum ataupun takut, ini soal hidup dan mati. Hanya boleh berpikir bagaimana untuk bisa bertahan tetap hidup.
"Bunuh dia!" teriak Xatho memberi perintah pada dua bawahannya yang sekarang sedang bertarung dengan Naviza.
Perintah itu sekaligus mengejutkan Nam dan Varro yang melihat pertarungan dari jauh. Setelah suara itu menghilang, Xatho sudah pergi.
"Kita harus lari Nam! Mereka terlalu hebat, kita bisa mati jika terus disini! Ara menyuruh kita mundur, artinya kita harus sembunyi! Dia tahu kali ini musuh terlalu kuat!" bisik Varro ketakutan.
"Kau tidak punya malu masih punya pikiran untuk kabur setelah Ara berusaha menyelamatkan kita? Dia sedang berjuang Varro! Demi kita!" bela Nam tegas.
"Tapi ini beda Nam! Dengan kita tetap disini, justru akan mempersulit Ara. Dia tidak bisa bertarung sekaligus melindungi kita!" bantah Varro dengan sangat yakin.
"Kau benar... " Nam sangat menyesal mengatakan itu.
Tapi, BRUKK...
Naviza kembali terlempar ke hadapan mereka berdua. kali ini luka sayatannya lebih banyak, darah membanjiri kedua tangan dan paha kirinya. Naviza langsung berusaha bangkit berdiri lagi dengan cepat.
"Hey, sudah hentikan Ara, lebih baik kita lari sekarang!" Nam menahan tangan Naviza yang sudah berlumuran darah.
"Kalian berdua larilah, sekalipun sulit mengalahkan dua orang ini sekaligus, setidaknya aku akan menahan mereka lebih lama lagi sampai kalian benar-benar aman. Cepat lari !" bentak Naviza sambil sempoyongan.
"Varro, kau bawa senjata? Pisau belati atau apapun?"
Varro segera mengecek tas nya secepat yang dia bisa, tapi hasilnya nihil, tidak ada senjata apapun di dalam tasnya.
"bagaimana denganmu Nam?" tanya Naviza.
"tidak pernah." Jawab Nam penuh penyesalan.
Dua orang Vocksar itu sudah bergerak mendekat semakin cepat ke arah Naviza. Pedang mereka terhunus siap menikam bahkan memenggal kepala Naviza.
"sial! Pedangku ada di rumah! Jika saja Son mengantarkannya kemari!" bentak Naviza pada dirinya sendiri.
"cepat lari!" bentak Naviza pada Nam dan Varro.
Sedetik berikutnya Naviza sudah bertarung kembali dengan dua orang Vocksar ini, dia hanya bisa menghindari serangan mereka dengan mengimbangi kecepatannya, tanpa bisa melakukan serangan balasan, sebab dia tidak memiliki senjata apapun.
Naviza harus tetap bertahan hidup, sekalipun ada puluhan luka di sekujur tubuhnya, dia tidak boleh mati. Sekalipun kedua tangannya saat ini bersimbah darah dan luka sayatan dimana-mana, baginya ini lebih baik daripada menyerah untuk mati.
Dia sangat sadar untuk menang melawan dua orang Vocksar ini mustahil dengan kondisinya sekarang. satu tebasan pedang lagi mengiris kulit paha kirinya. Naviza tersungkur ke tanah.
Tapi tidak ada waktu istirahat, sekalipun sekarang nafasnya tersengal-sengal.
Satu orang Vocksar mengangkat tinggi-tinggi pedangnya dan berniat menancapkan pedangnya menikam d**a Naviza dari punggung.
Naviza bergulung ke kiri menghindari pedang itu. lalu kembali berdiri. Dia tidak bisa lagi berdiri tegak, paha kirinya terluka parah, ada dua sayatan yang besar dengan luka yang dalam disana. Naviza tidak ada waktu menutup luka itu dengan telapak tangannya. Mereka saling berhadapan sekarang.
"mereka memang benar, kau cukup tangguh Naviza." Seru satu dari dua orang Vocksar ini.
Naviza tidak bisa mengidentifikasi identitasnya, sepertinya ini pertama kalinya dia melihat wajah Vocksar ini.
"tapi sebentar lagi kami pasti akan membawamu ke haadapan Xatho dalam keadaan tidak bernyawa. Kau tau kenapa aku tidak langsung saja menusuk jantungmu? Itu tidak akan seru. Aku akan memberimu kesempatan bertarung lebih lama Naviza, lihatlah luka disekujur tubuhmu. Darah terus mengalir. Karena aku sengaja menyayat bagian pembuluh darahmu."
Naviza kembali membeku.
"pembuluh darah? Pantas saja darah ini terus-terusan mengalir.. tidak mungkin.. jangan pembuluh darah.."
Dia baru menyadarinya ketika mulai merasakan tubuhnya perlahan lemas luar biasa. Dia sudah kehilangan terlalu banyak darah.
"jadi.. apa aku akan mati disini?"
pertanyaan itu datang lagi dalam kondisi kritis antara hidup dan mati ini.
Naviza benar-benar kehilangan banyak darah.
Dia kembali tersungkur setelah mencoba berdiri beberapa kali. Bayangan kematian mulai kembali memenuhi pikiranya. Sejak peristiwa lima tahun silam, tujuan dan keinginannya menemukan Angkasa belum terpenuhi sampai sekarang. dia tidak bisa mati sebelum itu. dia harus menemui Angkasa dan memberitahunya siapa yang membunuh putra mereka. jikapun dia harus mati, setidaknya dia harus menyapa Angkasa sebentar.
"bagaimana keadaanmu sekarang Angkasa? apa kau bahagia? Apa kau hidup dengan baik? Sepertinya jalanku akan berakhir disini. Tidak ada keajaiban disini.. maafkan aku yang terlalu lemah utuk bertahan. Angkasa, kau tahu, aku sedang ketakutan sekarang.. sangat ketakutan, aku akan benar-benar mati disini.. "
Naviza memandang penuh kepasrahan saat dua orang Vocksar itu mulai mendekat dengan langkah pelan kepadanya.
Ujung mata pedangnya menyeret tanah. Pandangannya sudah mulai kabur, saat ujung pedang Vocksar sudah melayang di udara tepat diatas kepalanya.
Pada posisi seperti ini, tidak ada lagi harapan hidup untuk Naviza. Dia menyerahkan nyawanya, membuka kepalan tinjunya. Nafasnya mulai tidak beraraturan dan pendek.
Keadaan ini memaksa dia kembali mengingat peristiwa yang sama lima tahun lalu, saat sekelompok pembunuh datang ke rumahnya dan mencoba membunuh dirinya.
"jadi.. aku akan mati sekarang?"
֎֎֎֎
Untuk kedua kalinya, Naviza diambang kematian!
apa yang terjadi 5 tahun lalu?
lets check the next part!
jangan lupa vote, thank you...