Identitas yang Terancam

2335 Kata
Hari berikutnya, Varro dan Nam terpaksa bermalam di rumah Naviza. Mereka tidak berani kembali ke rumah setelah kejadian mengejutkan yang mereka alami. Semalam penuh Son terjaga, dia berada di samping Naviza untuk memastikan dia aman. Kemampuan bertarung Son memang belum sebaik Angkasa, tapi dia cukup mampu untuk bertarung dengan kekuatan seimbang melawan Vocksar. Vocksar adalah prajurit terkuat di Zakaffa, musuh terberat yang wajib diperhitungkan sebelum bertarung melawan mereka. pendekar biasa yang tidak memiliki ilmu bela diri tinggi, lebih baik menghindari bertarung dengan Vocksar, karena kekalahan dan kematian sudah pasti terjadi pada mereka. didalam Vocksar sendiri, ada tingkatan kelas sosial didasarkan pada kemampuan fisik dan bela diri yang dimiliki.  Ada tiga strata,  1. yang paling bawah adalah prajurit,  2. tingkat tengah adalah ksatria,  3. tingkat tertinggi adalah pemimpin. Setiap orang punya kesempatan yang sama untuk naik strata atau kelas, mereka tinggal memenuhi persyaratannya saja lalu mengikuti ujian. Son berada di tingkat ksatria. Setidaknya kelas sosialnya sama dengan Vocksar lainnya yang bertugas menjadi agen intelejen ataupun pasukan khusus. Sementara kelas prajurit biasanya adalah generasi Vocksar muda pada usia remaja yang belum memiliki spesialisasi kemampuan khusus dan masih tahap pelatihan dan pematangan. Nam dan Varro sudah siap berangkat sekolah. Nam meminjam pakaian Naviza, sementara Varro memakai baju milik Son. Mereka duduk di meja makan sementara Son masih menyiapkan sarapan. "Ara masih tidur?" tanya Varro. "sepertinya begitu." Jawab Nam tidak semangat sama sekali. "dia tidak bisa sekolah hari ini dengan luka sebanyak itu.. aku akan kesepian." lanjut Nam. Son sudah selesai memasak, dia menghidangkan sarapan itu di depan Nam dan Varro sekarang. Bau sedap masakannya benar-benar membangkitkan selera makan! "Ara akan segera bangun, kalian tidak perlu terlalu khawatir.. dan .. apa kalian pernah bertemu laki-laki yang membawa Ara tadi malam sebelumnya?" tanya Son. "tidak.." Nam menggelengkan kepala. "apa dia akan datang lagi?" tiba-tiba dia jadi ingin bertemu sekali lagi dengan Angkasa. "dia sangat mencurigakan.." tiba-tiba Varro membuat Nam dan Son terdiam. "kak Son, apa kau tahu siapa orang-orang yang menyerang kami semalam?" "mereka jelas bukan penjahat yang kabur dari penjara!" seru Nam ikut penasaran. "mereka terlalu hebat.." imbuh Varro. Son masih diam, dia mengalihkan perhatiannya sambil menyantap sarapan. "kak Son, kau tahu siapa mereka?" tanya Nam lagi. Son menggeleng kepala segera, "tidak, saat aku datang mereka sudah tidak ada." Son sengaja menghindari topik ini, "woow berati Kak Nagha yang mengalahkan mereka semua !!" seru Nam kagum. "Nagha?" Son sedikit kaget, siapa lagi yang mereka bicarakan, "Nagha adalah orang yang menolong Ara tadi malam. Kak Son tidak mengenalnya?" jawab Nam. Son tersenyum sendiri, "ah ya.. Nagha.. dia memang hebat!" Son dengan cepat memahami kalau Angkasa menamakan dirinya Nagha, bukan Angkasa. jadi sekarang dia juga harus memanggilnya dengan sebutan Nagha. Apa alasannya? Entahlah. Son tidak mempermasalahkan itu. "dia temanmu kak Son?" kali ini Varro tertarik mengetahui Nagha lebih banyak. "yaa.. teman lama," Setelah sarapan selesai, Son segera menyuruh mereka berdua berangkat dan membawa surat izin Ara karena sakit. Son segera melihat keadaan Naviza lagi. dia masih memejamkan mata, dipegangnya dahi Naviza, terasa sangat panas, dia demam tinggi. Tangannya sampai menggigil. Son sedikit panik. Dia segera berlari mengambil air dingin dan kain untuk mengompres Naviza. Lalu dia melihat perban luka sayatan di tangan, perut dan kaki, perbannya sudah kotor, darah bercampur ramuan obatnya merembes ke kain perbannya. Son mengganti perbannya dengan yang baru, begitu juga obatnya. Saat mengganti perban itu, dia mendengar Naviza sedikit mengigau "Angkasa.. "  Nama itu terucap berulang kali sangat pelan. "sepertinya dia bermimpi.." sahut Son pelan. Lalu tiba-tiba Naviza bangun dan berteriak nama Angkasa sangat keras. Son sangat kaget. "Angkasa.. Angkasa.. dia dalam bahaya.. dia mati! Seseorang menjebaknya!" Naviza bangun dengan ketakutan yang luar biasa, matanya sudah berkaca-kaca, dia panik, dia bergegas turun dari tempat tidur, sebelum luka sayatan yang belum kering itu menghentikan gerakannya. Akhirnya dia kesakitan. "Naviza.. tenanglah.. tenang.. itu hanya mimpi.. oke?" Son mencoba menenangkan Naviza. "kalau kau sudah tenang, baru berceritalah.." Masih dengan nafas terengah-engah, Naviza tetap menceritakan apa yang dilihatnya, "Aku datang ke tempat itu, seluruh negeri menganggap Angkasa penghianat yang mencoba melukai mereka. seluruh negeri mengira Angkasa adalah pembunuh berdarah dingin, mereka beramai-ramai menangkapnya. Mereka mencari ke seluruh pelosok, dan akhirnya mereka menangkapnya! Mereka menangkap Angkasa Son..." Naviza mulai menangis, "mereka menangkapnya, lalu .. lalu Angkasa dibawa ke tempat eksekusi. Aku ada disana, aku melihat semuanya. Angkasa dibunuh! Dia mati Son.. dia mati.. mereka menusuk jantungnya..  aku ada disana, aku berlari tapi terlambat! Aku terlambat menyelamatkan dia!" sekarang Naviza benar-benar menangis dalam ketakutan dan kesedihan. Takut jika mimpi itu benar, takut jika Angkasa sebenarnya memang sudah mati, takut jika Angkasa berada dalam ancaman kematian. Son mendekapnya dengan hangat,  "tenanglah, semua hanya mimpi.. Angkasa pasti masih hidup dan dia bisa melindungi dirinya.. oke?" Beberapa saat setelah Naviza mulai tenang.. Son mengambilkan sarapan dan menyuapi Naviza. "Naviza, apa mereka orang yang sama?" Son membahas soal siapa yang menyerang Naviza tadi malam "Ya, orang yang sama." Jawab Naviza datar, "kau tidak ingin memberitahuku siapa dia?" Son selama ini tidak tau siapa penyerang itu, dia hanya tahu kalau mereka adalah orang Vocksar. Naviza menggeleng, "lupakan saja, terima kasih Son sudah datang menyelamatkanku." "sebenarnya bukan aku yang datang pertama kali." "aku tahu." Jawab Naviza dengan cepat. "tapi aku tidak cukup percaya diri untuk mempercayai bahwa orang itu adalah Angkasa. aku memang melihatnya, dia melucuti pedang mereka dan dengan sangat cepat memenggal kepala mereka. tapi, bukankah terlalu utopis kalau aku berharap yang datang adalah Angkasa? setelah lima tahun kami tidak bertemu, mungkin dia memang berada dalam keadaan yang sulit, bukankah terlalu egois jika aku berharap dia datang hanya untuk masalah seperti ini?" Naviza menyembunyikan kesedihannya dibalik kata-kata itu. dia berusaha menampilkan ekspresi tidak sedih.  Son tidak tahu harus memberikan komentar bagaimana, tapi memang kenyataannya Angkasa datang. Terlepas itu hanya kebetulan saja atau memang dia berniat untuk datang. "tadi pagi ada pesan untukmu." Son menyerahkan selembar kertas kosong pada Naviza. Itu adalah kode rahasia dari Naga putih. Naviza bekerja untuk mereka, sebagai pengawal keamanan untuk transaksi barang dagangan lintas provinsi. Sudah terhitung tiga tahun dia bekerja disana. Dia hanya mengambil shift malam saja, dengan bayaran yang cukup tinggi. selama tiga tahun itu secara bertahap Naviza berhasil mendapatkan posisi yang strategis dalam jajaran pasukan pengawal, sekarang dia memegang jabatan ketua tim 1, yang bertugas mengawal ketua markas pusat Naga putih. Terkadang secara khusus dia menjadi pengawal anak ketua ketika melakukan perjanjian dagang. Dengan posisi itu, Naviza berhasil mengakses banyak informasi rahasia mengenai arus bawah perdagangan dan informasi seputar pemerintahan di ibukota setidaknya dalam dua tahun terakhir ini. Naviza menyadari bahwa dia tidak bisa selamanya hidup damai dengan menutup diri dari informasi kerajaan. Dia membutuhkannya, untuk bertahan dan mengantisipasi jika ada kejadian tak terduga terjadi. Tapi sebenarnya tujuan utamanya bergabung ke kelompok dagang itu adalah untuk mencari informasi dimana Angkasa berada. Naga putih memiliki cabang dan akses hampir ke semua departemen pemerintahan di seluruh provinsi Zakaffa. mereka memiliki pelanggan hingga ke tingkat pegawai pemerintah pusat. Ini adalah organisasi dagang terbesar dan terkuat di Zakaffa. Naviza mendekatkan kertas itu ke atas nyala api, perlahan muncul tulisan dari atas kertas itu. "ada tugas malam ini?" tanya Son sedikit cemas. Karena jika memang iya, berati Naviza tetap harus berangkat bagaimana pun kondisi kesehatannya sekarang. Naviza mengangguk. Dia membenarkan pertanyaan Son. "kemana?" Son kembali bertanya. "pengawalan ke perbatasan ibukota. Hanya itu yang tertulis disini. Akan aku tanyakan bagaimana detailnya saat akku sampai di markas." Jawab Naviza tanpa beban. "kau akan pergi?" Son sangat berharap Naviza menggelengkan kepala. "tentu saja." Naviza membalasnya dengan tersenyum untuk menenangkan Son.  "semakin dekat dengan ibukota, semakin dekat untuk mencari Angkasa. benarkan?" imbuh Naviza dengan ekspresi semangat. "setidaknya aku ingin tahu sedikit informasi tentaangnya. Apakah dia masih hidup? Apakah dia hidup dengan baik? Apakah dia tahu kalau anak kami meninggal lima tahun lalu? Apakah.. dia tidak ingin tahu bagaimana hidupku sekarang?-" Naviza berhenti, matanya kembali berkaca-kaca. "baiklah, kalau begitu kau harus istirahat total sebelum pergi. Oke?" Son tidak bisa melarang Naviza untuk pergi, sekeras apapun dia mencoba melarangnya itu tidak akan berhasil.  ֎֎֎֎ Angkasa sudah pergi dari rumah Regha sebelum Regha bangun. Kebiasaan lama yang pernah dilupakan Regha, Angkasa akan selalu menghilang tanpa mengucap salam padanya.  Regha segera berangkat mengajar. Hari ini dia berencana menanyakan semuanya pada Naviza. Tapi dia kecewa besar, Naviza hari ini tidak masuk. Nam mengatakan padanya kalau Ara sedang sedang sakit parah sejak tadi malam, jadi dia tidak bisa pergi sekolah.  Saat istirahat, Nam dan Varro menemui Regha, mereka berdua terlalu penasaran soal penyerang semalam, dan cetusan Son tentang Vocksar. Mereka pikir dosen sejarah pasti tahu sesuatu soal Vocksar, ditambah Regha menanyakan soal Vocksar juga pada ujian kemarin.  Regha terdiam, dia bingung harus bersikap bagaimana. Angkasa sudah memperingatkannya untuk menghentikan pembahasan Vocksar, dia sendiri tidak mengira kalau mahasiswa yang lain justru akan tertarik mendalaminya. "Pak? Kenapa bapak diam saja?" gertak Nam sedikit kesal.  "sebenarnya bapak tidak bisa membahas soal ini pada kalian, ada beberapa mahasiswa yang belum ikut ujian." Hanya itu satu-satunya alasan yang bisa dibuat Regha untuk mengelak. "kami tidak bertanya karena ingin mendapat nilai bagus. Kami bertanya karena kami merasa telah bertemu mereka! mereka hampir saja membunuh kami pak, jadi tolong ceritakan pada kami bagaimana rupa mereka dan siapa Vocksar itu?" Nam terus mendesak dengan nada semakin kesal.  Regha tetap tenang menghadapi mereka. dia benar-benar bersikap dingin dan tidak peduli. Tapi dia juga penasaran dengan cerita Nam. "kalian belum pernah bertemu atau bahkan mengerti siapa Vocksar, bagaimana mungkin kalian begitu percaya diri mengklaim telah bertemu dengan mereka?" Regha mencoba membela diri.  "sebenarnya tadi malam kami sempat diserang dan hampir mati." Varro tiba-tiba angkat bicara dengan nada yang serius, tidak ada emosi kemarahan seperti Nam, dia cenderung lebih tenang.  "mereka sangat hebat, gerakan mereka benar-benar cepat, bahkan saya tidak bisa melihatnya. Mereka tinggi, kulitnya putih dengan mata berwarna biru terang. Kalau saja Ara tidak mencoba menahan mereka demi memberi waktu bagi kami untuk lari, sudah pasti kami mati sekarang. seseorang tidak sengaja mengatakan orang-orang itu adalah Vocksar. Maka dari itu Pak Regha, tolong beritau kami kebenarannya. Jika mereka benar-benar Vocksar, apakah mereka klan pembunuh? Kalau iya, lantas kenapa mereka menyerang kami?" Kali ini regha sangat antusias dengan cerita Varro. "Benarkah? Jadi Ara yang mengalahkan mereka? dia bertarung sendirian?"  Varro menggeleng, "Ara terluka parah, untungnya hanya goresan, meskipun cukup dalam lukanya. Dia bertarung cukup lama." "lalu siapa?" Regha semakin penasaran. "seseorang datang dan menyelematkan Ara. Dia terlihat lebih kuat dari para penyerang itu. dia datang sebelum Ara benar-benar mati." Jawab Varro. Bel masuk berbunyi, sekaligus menyelamatkan Regha dari pertanyaan mereka. Varro berhasil membuat dirinya penasaran berat pada insiden yang dia ceritakan.  "siapa yang lebih kuat dari Vocksar? Tidak ada. apakah kebetulan itu Angkasa? hanya dia satu-satunya manusia biasa yang bisa mengimbangi kekuatan Vocksar bahkan mengalahkannya. Jika melihat catatan waktunya masih memungkinkan. Angkasa berada di provinsi ini semalam. Tapi pertanyaan berikutnya, jika benar dia Angkasa lantas mengapa dia melawan Vocksar? Bukankah mereka berada di pihak yang sama?" ֎֎֎֎ Regha meninggalkan sekolah. Dia harus menyelidiki cerita ini. dia harus mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Dia menuju kandang kuda, memacu kuda hitam miliknya dan melesat memecah jalanan provinsi yang ramai karena kesibukan ekonomi. Dalam pikirannya hanya satu hal yang selalu terlintas, apa yang terjadi tadi malam? Setengah jam menunggang kuda, Regha akhirnya sampai di depan rumah Naviza.  "rumahnya cukup besar! Dia pasti dari keluarga kaya.." Regha mengetuk pintu depan, bayangannya mungkin yang akan keluar dari balik pintu itu adalah orang tua Ara. Dia mempersiapkan diri dengan baik.  "Ya? siapa?" ternyata yang keluar adalah Son, yang bahkan lebih muda dari dirinya. Regha sedikit kaget dan kecewa. "aku dengar Ara sedang sakit, dan kebetulan aku lewat jalan ini, jadi mungkin lebih baik jika sekalian mampir. Ah ya, kenalkan namaku Regha, aku gurunya di sekolah."  Mereka berjabat tangan. "ah ya,, pak Regha? Saya Son, ah silahkan masuk.."  Semakin dilihat, semakin jelas dimata Regha bahwa ada yang berbeda dari Son, matanya yang berwarna biru dan kulit cerah,, postur tubuh yang lebih tinggi dari orang normal. "tatapan mata yang tajam, nada bicara yang sedikit lebih cepat dan mata biru.. dia orang Vocksar?" pikir Regha dalam pikirannya.  Regha bisa mengenali dengan cepat ciri khas orang Vocksar dengan bukan. Dia banyak mempelajari sejarah sekalipun dia sebenarnya sangat jarang bertemu langsung dengan Vocksar. Son mempersilahkannya masuk dan mengambilkan dia segelas minum dan sepiring kue. Son melayaninya dengan ramah. Regha menelisik lebih detail, matanya berkeliling mengamati perabotan rumah, pajangan-pajangan di dinding dan terakhir memandangi Son yang duduk di hadapannya.  "jadi, kalian tinggal bersama?" Regha mencoba memecah keheningan diantara mereka. "Ya.. kami bersaudara. Kira-kira begitu.. " Son menutupnya dengan tersenyum. Jawaban yang cukup singkat.  "saudara?" Regha terkejut, dia reflek mengulangi jawaban Son. "saudara? Mereka bersaudara? Jadi Ara sebenarnya adalah orang Vocksar? Ah tidak tidak tidak.. itu tidak mungkin. Masih ada kemungkinan mereka hanya memiliki hubungan dekat saja, bukan saudara sedarah!" "bagaimana keadaan Ara? Nam banyak bercerita padaku, aku khawatir jadi kuputuskan untuk menjenguknya." Tanya Regha. "jadi anda sudah tahu banyak.. kondisi Ara belum stabil, dia masih demam tinggi. mungkin 1-2 hari istirahat total untuk kembali pulih." Jawab Son penuh ketenangan. "sejujurnya aku guru baru di sekolah, dan baru seminggu tinggal disini. Aku tidak banyak tahu mengenai keamanan provinsi disini, tapi beberapa hari terakhir aku dengar kaabar bahwa ada penjahat yang kabur dari penjara dan masih berkeliaran. Tadi pagi mereka baru saja ditangkap prajurit keamanan. Aku sedikit berpikir, jika benar ada penjahat yang menyerang mahasiswaku tentu saja aku tidak bisa tinggal diam. Tapi penjahat yang tertangkap kembali itu sangat payah dalam bertarung. Jadi aku simpulkan bukan dia pelaku tadi malam. Berdasarkan cerita Nam dan Varro yang menyaksikan sendiri kejadian semalam, pelakunya memiliki ilmu bertarung yang sangat hebat. Mereka berpostur tubuh tinggi, berkulit putih, dan bermata biru. Ciri-ciri itu hanya dimiliki oleh Bangsa Vocksar." Son tersentak, dia sama sekali tidak menyangka guru ini sampai pada kesimpulan itu. Son sedikit salah tingkah karena terlalu terkejut. "bangsa Vocksar? Ah ya.. Ara sempat bercerita bahwa ada guru sejarah baru di sekolahnya, saya rasa itu adalah anda Pak Regha. Jadi sepertinya anda tahu banyak soal Vocksar, tapi untuk apa mereka datang ke provinsi hanya untuk mencoba menyerang mahasiswa tingkat 1? Bukankah sedikit aneh? Mereka tentu punya banyak pekerjaan penting di ibukota.. " Son mencoba menyangkal pendapat Regha. "benar, sangat aneh memang. Justru keanehan itu yang ingin aku tanyakan padamu. Ada hubungan apa Ara dengan Vocksar? Siapa dia sebenarnya?" Regha sampai pada poin inti percakapannya.  Dia sampai pada kesimpulan pertanyaan itu. jika Ara tinggal bersama orang Vocksar, bahkan mengaku bersaudara, lalu dengan alasan yang tidak dia ketahui, Ara terlibat pertarungan dengan Vocksar, hanya ada satu pertanyaan yang tersisa, siapa Ara dan apa hubungan yang dia miliki dengan Vocksar hingga membuatnya begitu membenci mereka? Son kali ini benar-benar terbungkam atas pertanyaan Regha. Yang terlintas dalam pikirannya hanya satu yaitu siapa Regha? Dia tentu bukan guru biasa, apakah dia sengaja dikirim untuk menemukan Naviza? Apakah dia orang pemerintahan? Ataukah dia kaki tangan penyerang itu? bagaimana mungkin dia tahu begitu banyak soal Vocksar?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN