Pulang

1585 Kata
Jenazah Suamiku Bab 10 : Pulang "Ma, Restu berangkat dulu, udah mepet ini waktunya." Pria arrogant itu segera masuk ke dalam mobil saat melihatku mendekat ke arah mereka. Mobil hitam itu melaju pergi, meninggalkan perkarangan rumah mewah milik Nyonya Hera yang tak pernah terlihat suaminya itu. Mungkinkah dia janda sama sepertiku? Ah, kembali ke inti permasalahan. "Wulan, kamu dan Winka pulang diantar Pak Jaja. Restu--putra saya tak bisa ikut mengantar, dia ada rapat penting pagi ini di kantornya," ujar Nyonya Hera. "Hmm ... Iya, Nyonya, nggak apa-apa," jawabku. "Ayo, saya antar ke mobil!" Dia hendak menggandeng tangan ini tapi aku sudah terlebih dahulu menarik tangannya. "Nyonya ... ada hal penting yang ingin saya tanyakan kepada anda .... " ujarku dengan debaran keras di d**a, tangan ini mendadak dingin. Aku orangnya mudah gugup dan agak sulit bicara, walau terkadang agak bawel. Aku juga tak mengerti tentang sifatku ini yang terkadang cepat berubah-ubah. Aku ini aneh dan tak terduga, begitu kata Ibu sering mengomeliku. "Hmm ... Wulan, ada apa? Kalian akan segera pulang, kamu senang 'kan?" Dia terlihat agak gugup karena aku menatapnya penuh tanya. "Nyonya Hera ... maaf ... sebenarnya ... apa hubungan keluarga Nyonya dengan almarhum suami saya--Bang Wawan? Mengapa wajah putra Nyonya--Tuan Restu ... mirip sekali dengan suami saya, walau sifatnya sangat jauh berbeda?" tanyaku tanpa basa-basi lagi, aku tak dapat menahan diri lagi. Air mata pun tak dapat untuk kutahan lagi. "Wulan .... " Nyonya Hera menyeka mata, buliran bening pun berjatuhan pula di wajahnya. "Katakan, Nyonya? Kalian ini siapa sebenarnya? Lalu ... Hutang almarhum pada kalian itu berapa? Saya ... Mendengar pembicaraan Nyonya dengan Tuan Restu tadi malam. Katanya, dia mau mengambil Winka--putri saya. Ada apa sebenarnya? Saya ini memang orang kampung yang cara berpikirnya memang agak lambat, tapi saya menyimak sedikit demi sedikit." Aku menatap sedih wanita berhijab itu, berharap ia mau berterus terang. "Wulan, maafkan saya .... " Nyonya Hera tiba-tiba memelukku sambil menangis. "Maafkan saya .... " "Nyonya ... Maaf untuk apa?" tanyaku sambil menyeka air mata, kami sama-sama menangis. Nyonya Hera tak menjawab, hanya isak tangisnya saja yang terdengar. Aku masih menanti kejujuran dan sasaran kata maaf darinya itu. Dia melepaskan pelukan dariku sambil menghapus air mata di wajahnya, kemudian menarikku untuk duduk di kursi teras rumahnya. "Wulan ... Sebelum saya mengatakan semuanya, kamu harus memaafkan almarhum Wawan karena pengakuannya kepadamu ... Dia ... Sebenarnya ... Tidaklah sebatang kara .... " Nyonya Hera terlihat menarik napas panjang. Aku masih menunggu kelajutan dari perkataannya Si Nyonya. Memang benar, dulu Bang Wawan memang mengaku sebatang kara. Waktu akad nikah kami saja, dia hanya datang bersama Pak RT yang akan menjadi saksi dari pihaknya dulu. Setelah acara sederhana di rumah orangtuaku, keesokan harinya dia membopongku ke rumah yang kami tempati sekarang. Aku sudah senang waktu itu, walaupun rumahnya kecil, yang penting rumah sendiri. Perkenalan kami cukup singkat waktu itu, Bang Wawan pendatang di Kampung kami. Sering bertemu ketika sholat magrib di musola, Bang Wawan suka azan dan suaranya sangat merdu menurutku. Aku yang sebenarnya malas sholat ke musola, mendadak rajin, bahkan lima waktu selalu berlari ke musola karena saking senang melihat dia. Waktu dapat salam dari dia lewat adiknya temanku, aku makin berbunga-bunga dan memberanikan diri menyapanya. Kami mengobrol di teras musola usai melaksanakan sholat ashar sore itu. "Abang asli mana?" tanyaku basa-basi waktu itu, yang putus sekolah di kelas XI SMA karena kata Bang Wahyu--abang tertuaku, sekolah hanya menghabiskan uang saja karena wanita tugasnya hanya di dapur. Dia menghasut Ayah dan Ibu sehingga seragam dan buku-buku sekolahku dibakar. Aku merasa sangat tertindas karena tak ada satu orang pun yang membelaku di rumah dan aku hanya dijadikan pembantu bertahun-tahun. Sebulan berkenalan, aku yang menyatakan perasaan duluan kepadanya, bukan karena aku terlalu murahan dan pengen dinikahi cepat-cepat, tapi karena aku merasa dia pria sholeh terbaik yang tak boleh disia-siakan. "Saya menyukai Abang dan berharap kita bisa berjodoh," ucapku waktu itu. Dia tersenyum dan menatapku sekilas, lalu menghela napas berat. "Maaf ... Kalau saya lancang." Aku menggigit bibir bimbang dengan jantung yang rasanya mau meledak karena saking kencangnya debaran di d**a. "Memangnya kamu punya suami penyakitan yang takkan berumur panjang?" tanyanya dengan memalingkan pandangan dariku. "Umur itu kuasa Allah, Bang, takkan ada satu pun manusia yang tahu." Aku menjawab pertanyaannya. "Abang tak punya apa-apa dan bukan orang berada," katanya lagi. "Saya tak memandang Abang dari harta, tapi keimanan. Saya yakin Abang bisa menuntun saya ke surga Allah," ujarku mantap. "Saya sebatang kara dan sudah tak mempunyai keluarga lagi," ujarnya lagi. "Kita akan membina rumah tangga bersama dan membentuk keluarga kecil yang bahagia." Aku masih berusaha meyakinkannya. "Baiklah, besok saya akan langsung melamarmu. Terima kasih untuk keyakinan kamu." Dia menatapku sekilas dan tersenyum tipis. Aku menundukkan kepala, dengan hati yang bersorak girang atas jawaban ungkapan isi hati ini. Dia menyambut baik perasaanku dan membuat keputusan yang sejuk hati mendengarnya. Aku yakin takkan salah memilih calon imam, dialah jodoh pilihan Allah untukku. "Sampai bertemu besok, pukul 10.00 esok pagi." Dia kembali berkata sambil beranjak pergi. Setelah dia melangkah pulang, aku pun juga pulang dan langsung mengabarkan kepada Ayah dan Ibu kalau besok pukul 10.00 akan ada pemuda yang mau datang melamarku. Tentu saja mereka senang mendengarnya, karena kebahagiaan para orangtua di kampung ini jika putrinya dilamar dan menikah. Akan tetapi, acara lamaran tak berjalan mulus karena Ayah dan Bang Wahyu meminta uang hantaran yang amat besar waktu itu yaitu sejumlah 25juta. Sedangan almarhum Bang Wawan hanya menyanggupi 10juta. Aku sempat menangis semalaman karena terancam batal menikahi pria yang memang kuidamkan itu. Drama mau bunuh diri pun sempat kulakukan, sampai-sampai Ibu dan Bang Wahyu menuduh diriku sudah pernah diperawani Bang Wawan karena saking ngebetnya. Hingga akhirnya mereka menikahkan kami juga, walau dengan berat hati dan ancaman kalau ada apa-apa dengan pernikahan kami, aku takkan boleh meminta bantuan mereka. "Wulan!" Suara Nyonya Hera juga usapan di bahu ini mengejutkan lamunan panjang tentang awal pertemuanku dengan almarhum Bang Wawan. "Eh, iya, Nyonya .... " Aku segera tersadar. "Almarhum Wawan dan Restu itu kembar, mereka adalah saudara kembar, Wulan. Itulah jawaban atas wajah mereka yang amat mirip," ujar Nyonya Hera. Aku tertegun, seakan ada petir sambar-menyambar di sekeliling saat mendengar jawaban dari wanita yang ternyata adalah orangtua almarhum Bang Wawan, yang artinya dia itu adalah mertuaku--omanya Winka. "Wulan, saya adalah mertuamu dan kamu itu ... Menantu saya. Maaf ... Karena tak langsung memberitahukanmu," ujarnya lagi sambil menggenggam tanganku. Aku mengerjap beberapa kali lalu mencubit pipi, untuk memastikan semua ini mimpi atau nyata karena semenjak ditinggal suami yang amat kucinta, aku jadi susah membedakan antara mimpi dan kejadian nyata. "Maafkan almarhum putra saya karena dia telah berbohong kepadamu, Wulan, atas jati dirinya. Tapi berkat kehadiran kamu di hidupnya, dia bisa bertahan hidup jauh lebih lama dari vonis dokter." Nyonya Hera menutup mulutnya, ia kembali menangis. "Vonis dokter? Emangnya almarhum Bang Wawan sakit apa?" tanyaku dengan suara yang terasa tercekat di tenggorokan. "Leukemia, atau yang biasa disebut kangker darah. Karena vonis dokter yang mengatakan ia hanya bisa bertahan 10 bulan lagi saja, Wawan memutuskan pergi dari rumah dan mengasingkan diri di desa. Ia meninggalkan tunangannya yang ia ketahui mau menikahinya hanya karena menginginkan warisan saat dia tiada nanti. Ia juga meninggalkan perusahaan yang ia pimpin begitu saja. Sehingga Restu--saudara kembarnya yang waktu itu sedang melanjutkan study S.2 di Jerman harus pulang untuk menggantikannya mengelola perusahaan karena Papanya anak-anak juga meninggal muda dan karena penyakit yang sama." Nyonya Hera menjelaskan semuanya. "Jadi begitu .... " Aku mengelap air mata yang terus berjatuhan. "Begitulah dan ceritanya masih sangat panjang, nanti lagi kita lanjutkan. Yang penting, sekarang kamu sudah tahu ... Kalau kamu dan Winka masih punya saya, Restu, Oma, dan Tante Rani (adiknya almarhum papanya Restu) walau Wawan sudah tak lagi bersama kalian." Nyonya Hera terlihat memaksakan senyum. Aku terdiam, semua ini sungguh membuatku terkejut. "Hmm ... Kalau kamu bersedia, saya ingin mengajak kamu dan Winka untuk tinggal di sini ... Di rumah ini ... Kita akan hidup bersama," ujarnya lagi. Untuk beberapa saat, suasana menjadi hening, kami sama-sama dia. Terus terang saja, aku masih kaget atas kenyataan tak terduga ini. "Hmm ... Nyonya, terima kasih atas penjelasannya. Saya butuh waktu untuk berpikir dan mencerna semua kenyataan ini sebab ... Bang Wawan tak pernah sekali pun cerita tentang kalian. Maaf ... Bukannya saya tak percaya ... Tapi ... Saya butuh waktu untuk berpikir. Saya pamit, Nyonya." Aku segera bangkit dari kursi teras tempat kami bercerita panjang lebar tadi. "Iya, saya mengerti, Wulan. Besok atau lusa, saya akan datang ke rumah kamu dan melanjutkan cerita kita juga bukti ... Kalau saya ini memang Mama kandung dari Wawan--suamimu," ujarnya lagi. Aku mengangguk, Nyonya Hera lantas menggandengku menuju mobil di mana Winka sudah menantiku. "Pak Jaja, hati-hati bawa mobilnya!" ujar Nyonya Hera saat mengantarku masuk ke dalam mobil. "Nyonya, terima kasih," ujarku. "Wulan, saya mohon ... Jangan panggil saya Nyonya, panggil saya Mama! Kamu menantu saya." Dia tersenyum. Aku hanya mengangguk dan berusaha memaksakan senyum sebab lidah masih terasa kelu untuk memanggilnya Mama. "Oma, kami pulang dulu. Dadaaaa ... Assalamualaikum." Winka melambaikan tangan. "Waalaikumsalam. Hati-hati!" Nyonya Hera ikut melambaikan tangan pulang. Mobil mulai melaju, sedangkan perasaanku saat ini semakin tak menentu saja, otak terasa penuh dan sesak. Semua informasi dadakan ini sungguh membuat pikiranku runyam. Aku bingung dan semakin kangen Bang Wawan karena dialah tempat berceritaku selama ini. "Bang, aku harus apa? Mengapa kamu pergi tanpa sempat bercerita tentang keluargamu yang ternyata kaya raya itu? Tenang saja, Bang, aku takkan meminta harta bagianmu, karena aku sudah sangat bahagia bisa mendampingimu 10 tahun pernikahan kita." Aku membatin sambil mengusap air mata yang terjun tanpa komando. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN