Jenazah Suamiku
Bab 9 : Pembicaraan Dua Orang
"Wulan, malam ini kamu dan Winka menginap di sini, ya? Besok pagi baru diantar Pak Jaja dan Restu pulang." Nyonya Hera menghampiriku.
"Aduh ... Nyonya ... Gimana, ya?" Aku jadi bimbang.
"Nurut saja, besok diantar pulang kok. Ayo!" Nyonya Hera menggandeng tanganku.
"Tapi ... Nyonya .... " Perasaanku jadi tak enak saja.
"Nggak usah tapi-tapian, malam ini nginap di sini dulu." Nyonya Hera mengantarku ke kamar istirahat tadi.
"Baiklah, Nyonya. Hmm ... Nyonya ... Sebenarnya ... Almarhum Bang Wawan ada hutang apa sih sama keluarga Nyonya? Hmm ... Maksud saya ... Hutangnya itu berapa banyak?" tanyaku sambil menarik tangan Nyonya Hera untuk duduk di atas tempat tidur.
"Hmm ... Masalah hutang itu .... "
"Ibu udah datang .... "
Belum sempat Nyonya Hera menjawab, Winka sudah berlari masuk ke dalam kamar dan memelukku.
"Nak, Ibu lagi bicara sama Nyonya Hera. Kamu udah wudhu belum? Sebentar lagi sudah waktunya sholat magrib loh, kita akan sholat bersama lalu kirim doa buat Ayah. Buruan wudhu dulu, Nak!" ujarku kepada Winka agar dia tak mengganggu dulu pembicaraan serius ini.
Winka mengangguk dan segera berlari menuju ke arah kamar mandi ruangan ini.
"Nanti saja kita bahas masalah ini, yang jelas ... Kamu harus tidur nyenyak malam ini biar besok nggak teler di jalan." Nyonya Hera menepuk pundakku sembari tertawa renyah
Aku hanya meringis, jadi tak enak hati untuk menolak ajakannya. Keluarga mereka juga baik sama Winka--putriku, jadi aku juga harus bersikap baik kepadanya.
"Nyonya--"
"Udah, Wulan, nanti lagi, ya, kita ngobrolnya. Sudah azan magrib, sholatlah dulu, saya juga mau sholat ini." Dia bangkit dari pinggir tempat tidur.
Aku hanya bisa menghembuskan napas letih, semua ini masih terlihat abu-abu. Nyonya Hera juga tak mau mengatakan tentang hutang Bang Wawan. Ya sudahlah, semoga saja mereka mau mengikhlaskannya biar nggak terus-terusan jadi beban pikiranku.
***
Hmm ... Aduh, tenggorokan mendadak seret begini, ya. Kubuka mata perlahan lalu bangun, hawa dingin semakin menusuk tulang saja. Aku tak bisa tidur dengan keadaan dingin begini. Ya Tuhan, apa semua kamar orang kaya begini? Aku tak betah di sini, ingin pulang.
Winka, syukurlah dia tertidur pulas. Kubenarkan selimutnya hingga leher, tapi sepertinya dia tak kedinginan sepertiku. Kuusap kepalanya dan lalu mendaratkan kecupan di dahinya.
Dengan menggigil, aku turun dari tempat tidur. Lalu menatap teko air yang sudah kosong di atas meja. Haduh ... Aku haus, mau tak mau harus mencari di mana dapur di rumah ini dan mengambil minum. Kuraih teko air minum yang sudah kosong itu lalu membawanya menuju pintu kamar.
Kuputar gagang pintu sambil menoleh ke arah Winka yang masih terlelap dengan pulasnya. Kulirik jam di dinding yang sudah mengarah ke angka 01.15, ternyata pagi masih cukup lama datangnya.
Kututup pintu kamar perlahan, agar Winka tak terbangun. Kuedarkan pandangan ke sekitar, rumah ini sangat luas, lalu dapurnya ada di mana? Aku mulai melangkah ke arah samping kamar kami lalu berbelok ke arah kanan.
"Restu, Mama harap kamu tak terus-terusan menagih hutang almarhum Wawan kepada Wulan. Kasihan, dia tak tahu apa-apa dalam masalah ini."
"Mama juga ... Jangan sampai keceplosan membeberkan hal yang sebenarnya!"
"Kamu juga jangan sampai ingkar janji! Janji adalah hutang, ingat itu!"
"Ma, kenapa harus, Restu?! Agghh ... kita ambil Winka ajalah, beres!"
"Nggak bisa seperti itu, Restu!"
'Prank'
Astaga, teko di tanganku terjatuh begitu saja saat mendengar pembicaraan dua orang di dalam sana, yang entah ruangan apakah ini? Aku bisa mengenal suara itu, suara Nyonya Hera dan putranya--Si Tuan Rentenir yang kejam.
Apa maksud pembicaraan mereka? Apa mereka akan mengambil Winka--putriku, sebagai penebus hutang almarhum Bang Wawan? Tidak! Aku tak mau seperti itu. Aku segera berlari kembali menuju kamar dan menutupnya kembali.
Kupegangi d**a yang kini berdebar sangat kencang, rasanya ingin segera pergi dari rumah ini. Pantas saja mereka baik dengan Winka, ternyata ... mereka menginginkan putriku.
Dada semakin sesak saja, air mata tak dapat kutahan untuk menerobos keluar. Aku sangat kesal dan tak ingin putriku diambil oleh mereka. Winka--dia adalah penyemangat hidupku dan aku takkan membiarkan para orang asing ini mengambilnya.
Besok pagi, mereka harus mau mengantar kami pulang dan aku takkan mau lagi ke sini. Ternyata mereka baik itu karena ada maunya.
Setelah puas menangis, aku kembali ke tempat tidur di mana Winka masih tertidur dengan sangat pulas. Kutatap wajah polosnya, aku semakin takut kehilangan dia.
***
Hingga azan subuh berkumandang, mataku tak terlelap sedikit pun pasca mendengarkan percakapan dua orang itu. Winka yang selalu terbangun jika waktunya sholat subuh telah tiba, langsung membuka mata dan tersenyum ke arahku.
"Ibu udah bangun?" tanyanya.
"Iya, Nak. Ayo kita wudhu, lalu sholat. Pagi nanti kita akan pulang ke rumah," ujarku sambil mengusap kepalanya.
"Iya, Bu, ayo!" Winka segera turun dari tempat tidur dan menarikku tanganku untuk ke kamar mandi.
Seperti biasanya, kami sholat bersama dan setelah itu membaca surat yasin untuk dikirimkan kepada almarhum Bang Wawan. Semoga beliau tenang di alam sana, tunggu aku, Bang, kelak aku juga akan menyusulmu.
***
Aku dan Winka sudah berkemas dan memakai pakaian kemarin, kami sudah bersiap untuk pulang saat Yani mengetuk pintu kamar dan membawakan sarapan untuk kami.
"Mbak Wulan, Dik Winka, ayo sarapan dulu!" ujarnya ramah sambil menata makanan di atas meja.
Aku menggandeng Winka mendekat lalu duduk di kursi, menu makanannya tetap menggugah selera tapi setelah apa yang kudengar tadi malam, yang kuinginkan sekarang hanya mau cepat pulang.
"Bu, ayo kita makan dulu!" Winka tersenyum ke arahku.
Aku mengangguk dan mengambilkan makanan untuknya lalu menyuapinya.
"Saya permisi keluar dulu, ya, Mbak Wulan, Dik Winka." Yani pamit keluar dan aku hanya mengangguk kepadanya.
Kulanjutkan menyuapi Winka, walau hati jadi ketang-ketir tak tenang begini. Hati ini seakan sudah ada di rumah sana, hanya ragaku saja yang masih di sini. Semoga saja mereka benaran akan mengantar kami pulang pagi ini.
Usai makan, kugandeng Winka keluar dari kamar. Keinginan untuk segera pulang ini harus disuarakan, jangan sampai Nyonya Hera menahan untuk tetap di sini sebab aku takkan mau lagi.
"Kalian sudah selesai sarapan?" Nyonya Hera bersama Oma menghampiri kami, dia tersenyum ramah seperti biasanya.
"Eyang .... " Winka langsung menyapa Omanya Si Tuan Rentenir itu.
"Hey ... Sayang .... " Si Oma langsung memeluk putriku, keduanya terlihat begitu akrab.
"Sudah, Nyonya, dan kami sudah siap untuk pulang," ujarku kepada Nyonya Hera.
"Iya, Pak Jaja sudah menyiapkan mobil untuk mengantar kalian pulang kok." Nyonya Hera menggandengku menuju pintu utama.
Kami melangkah keluar dari rumah dan aku lega Si Nyonya tak lagi menahan kami untuk pulang.
"Eyang bakalan kangen sama kamu, Winka." Si Oma memeluk putriku.
"Sama, Winka kayaknya bakalan kangen Eyang juga. Semoga kita bisa ketemu lagi, ya, Eyang. Winka pamit pulang, Winka senang di sini." Winka menyalami Omanya Si Tuan Rentenir.
Selagi Winka berpamitan dengan Nyonya Hera dan Si Oma, Yani menghampiriku dengan membawakan segelas air putih dan obat anti mabuk.
"Terima kasih, Bu Yani," ujarku sambil menerima obat itu dan air.
Dia tersenyum ramah seperti biasanya, Pak Jaja juga berdiri di sebelah sang istri. Segera kuminum obat itu dan bersiap akan melalui perjalanan melelahkan itu lagi.
"Restu, kamu tak ikut mengantar pulang Wulan dan Winka?" Nyonya Hera menghampiri sang putra yang baru saja keluar dari garasi dengan mobilnya.
Si Pria yang lagi-lagi berpakaian serba hitam itu keluar dari mobilnya.
"Restu ada rapat pagi ini, Ma, biar Pak Jaja saja yang antar mereka." Terdengar olehku pembicaraan keduanya.
Si Nyonya terlihat menatap kesal putranya.
"Pak Jaja, ayo! Kami sudah siap pulang, saya sudah kangen rumah ... Juga ... Makam almarhum .... " Aku segera memalingkan pandangan dari sosok mirip Bang Wawan, yang membuatku semakin merindukannya tapi aku kesal kenapa wajah suamiku ada padanya.
Masa iya mereka kembar? Ah, tidak mungkin. Jika keluarga Nyonya Hera ini adalah keluarga almarhum Bang Wawan, tapi mengapa mereka tak memberitahukan aku?
Pak Jaja menggiring kami ke mobil dan Winka sudah duluan masuk, sedangkan aku masih menatap ke arah Nyonya Hera dan Restu yang terlihat masih terlibat obrolan.
Bukannya masuk ke dalam mobil, aku malah melangkah mendekat ke arah ibu dan anak itu. Sebelum pulang, aku harus menanyakan mengapa wajah almarhum suamiku mirip sekali dengan pria kejam itu. Aku ini nggak bego-bego amat, walau selama ini berusaha memungkiri kemiripan mereka.
Bersambung ....