Keesokan harinya Camilla bangun begitu pagi, ia merasakan mual yang luar biasa menyiksa, lalu dengan cepat Camilla beranjak dari ranjangnya dan masuk ke kamar mandinya. Wanita itu memuntahkan semua isi perutnya, dan sialnya setelah muntah, ia masih tak berhenti.
Camilla merasakan tubuhnya begitu lemas, apalagi saat ia memuntahkan sesuatu yang agak kekuningan dari dalam tubuhnya. Rasanya begitu pahit, memancingnya untuk muntah lagi dan lagi.
Camilla meletakkan tangannya di dinding. Mencoba untuk bertahan agar tak terjatuh. Ia menarik napas, mengembuskan napas dan setelah merasa agak nyaman menatap wajahnya pada cermin.
Wanita itu segera membersihkan muntahannya, ia kemudian mencuci muka dan menggosok giginya. Tubuhnya terasa lumayan lemas, dan kepalanya mendadak pusing.
Sejurus kemudian Camilla mengambil beberapa tisu yang ada di dekatnya, ia kemudian mengeringkan air yang ada di wajahnya dengan tisu itu. Merasa lebih lega Camilla lantas keluar dari kamar mandi dan kembali ke atas ranjang.
“Menyebalkan sekali,” gumam Camilla yang selalu saja terbangun dan merasakan hal gila itu setiap pagi.
Camilla baring dengan posisi telentang, ia kemudian memijat kepalanya yang masih terasa agak sakit.
“Aku ingin teh, tapi aku tak ingin keluar dari kamar.” Camilla meraba tempat tidurnya, ia kemudian mencari kontak Danieru.
“Apa si bodoh itu tidak kembali semalam?” Camilla bertanya kepada dirinya sendiri, ia kemudian segera menghubungi Danieru setelah menemukan kontaknya.
Telepon segera tersambung, tetapi sialnya belum juga diangkat oleh Danieru, dan sejujurnya Camilla sangat kesal karena itu.
Beberapa kali Camilla mencoba, tetapi sebanyak itu pula Danieru mengabaikannya. Ada apa? Apa yang terjadi kepada Danieru sampai belum bangun di jam seperti ini?
Camilla menatap jam yang ada pada ponselnya. Ini sudah pukul enam pagi, dan Danieru biasanya sedang meminum secangkir kopi atau membaca beberapa berita yang ada di negara mereka.
Camilla yang sangat ingin menikmati teh pagi itu untuk menghilangkan mual segera beranjak dari ranjangnya. Ia kemudian menuju ke arah pintu, membukanya, dan keluar dari dalam ruangan.
Wanita itu tanpa pikir panjang segera menuju ke arah tangga, ia menuruninya perlahan, lalu menuju ke lantai satu dengan selamat.
“Selamat pagi, Nyonya.” Sapa dua orang pelayan yang sedang membereskan lantai satu mansion.
Camilla tersenyum, ia menatap ke segala arah. “Apa suamiku tidak kembali? Apa kalian melihatnya tadi?”
Para pelayan saling tatap, mereka tidak melihat Danieru sama sekali pagi ini. Mereka bahkan mengira sang tuan berada di kamar bersama istrinya.
“Maafkan kami, Nyonya. Kami sama sekali tidak bertemu dengan Tuan sejak pagi tadi.”
Camilla mengembuskan napas. “Baiklah ... tolong buatkan aku secangkir teh, lalu bawa bersama beberapa camilan manis ke kamarku.”
“Baik, Nyonya. Saya akan segera melakukannya,” balas salah satu pelayan yang sedang berdiri di hadapan Camilla.
“Terima kasih,” ujar Camilla dengan begitu tulus.
Camilla segera kembali ke kamarnya, ia kemudian membuka pintu menuju ke balkon kamar dan membiarkan angin pagi mengelus kulit putih nan halusnya.
Sebenarnya ... di mana Danieru? Kenapa suaminya tidak kembali? Apa yang pria itu lakukan?
Pikiran Camilla menjadi kacau, paginya hari ini diawali dengan sesuatu yang menyebalkan, dan ia benci akan hal itu.
Tok ...
Tok ...
Tok ...
Suara ketukan terdengar dengan jelas. Camilla segera saja beranjak dari balkon kamar, menuju ke arah pintu untuk membukakannya untuk sang pelayan.
“Maaf membuat Anda menunggu.” Pelayan itu terlihat agak bersalah kepada majikannya.
Camilla tersenyum lagi. “Tidak ... kau tidak bersalah. Aku suka caramu bekerja, dan terima kasih sekali lagi.”
Pelayan itu merasa senang dengan ucapan majikannya. Sedangkan Camilla segera meraih nampan yang di atasnya terdapat secangkir teh, ada juga beberapa camilan manis yang Camilla inginkan.
Sang pelayan yang melihat sang nyonya melakukan itu merasa sedikit tak enak hati, seharusnya ia yang membawa pesanan Camilla masuk dan meletakkannya di atas meja.
“Baiklah, kau bisa melanjutkan pekerjaan. Maaf sudah merepotkanmu,” ujar Camilla dengan nada yang teramat sangat ramah.
“Tidak masalah, Nyonya. Itu sudah menjadi tugas saya, selamat menikmati. Saya permisi,” ujar pelayan itu sopan.
Camilla mengangguk, sedangkan pelayan itu segera pergi meninggalkan Camilla.
Setelah semua basa-basi pagi ini selesai, Camilla segera masuk. Ia menutup pintu kamar dengan kakinya.
“Hum ... baiklah, aku akan menikmati pagi ini dengan senang hati.” Camilla segera menuju ke arah balkon, ia keluar, dan meletakan sarapannya di atas meja.
Camilla segera duduk di dengan nyaman, ia melupakan masalahnya sejenak. Menikmati nikmat yang tersisa adalah sesuatu yang begitu menyenangkan, dan Camilla tak ingin menyia-nyiakannya dengan cara menampung rasa kesal kepada suaminya.
Ia mencoba berpikir positif, agar bisa tetap merasakan kedamaian dalam hidupnya.
...
Sementara Camilla dengan paginya yang sedikit suram, saat ini Danieru sedang duduk bersama ibunya dan sang kakek. Ia sudah membicarakan banyak hal dengan sang kakek, dan juga ibunya semalam, lalu memutuskan untuk menginap karena sudah terlalu larut untuk kembali.
Danieru merasa pagi ini jauh lebih baik, ia sejenak terbebas dari ocehan Camilla yang selalu saja marah jika melihatnya. Sedikit saja ia berbuat salah, maka wanita itu akan membuat pertengkaran atau juga perang dingin yang berlangsung cukup lama.
“Jadi, bagaimana perkembangan Camilla dan bayi kalian?” tanya sang ibu kepada Danieru.
Danieru yang sedang meminum kopinya dengan cepat menelan cairan itu, ia meletakan cangkir di atas meja dan menarik napas agak panjang. Diembuskannya napas itu, lalu tertawa kecil.
“Ada apa?” tanya sang kakek.
Danieru tersenyum kecil. “Dia baik-baik saja. Hanya emosinya benar-benar sulit untuk dikendalikan, bahkan kadang aku sangat ingin marah saat menghadapinya.”
Sang ibu yang mendengar keluhan anaknya menahan tawa. “Kau harus lebih bersabar. Seorang wanita memang akan sangat menyebalkan jika sedang hamil muda.”
Danieru menggaruk kepalanya, ia merasa ucapan sang ibu sangat menohok. Ia beberapa kali mengumpati Camilla di dalam hatinya, dan sialnya itu selalu ia lakukan dengan sumpah-serapah yang cukup parah. Tapi satu hal yang Danieru syukuri dari semuanya. Ia tak pernah mengeluarkan kekesalannya, baik itu secara tindakan atau juga ucapan.
Rachel yang sudah bersiap-siap untuk pergi bekerja terlihat menuruni anak tangga, ia menatap Danieru yang sama sekali belum bersiap-siap untuk ke kantor.
Danieru yang melihat kehadiran Rachel tersenyum. “Aku lupa jika semua pakaianku sudah tak ada di tempat ini.”
Rachel yang mendengar penuturan adik iparnya menahan tawa, begitu pula yang terjadi dengan kakek mertua dan juga ibu mertuanya.
“Sebaiknya kalian segera berangkat, dan kau ...” sang ibu menatap Danieru. “... Segera kabari Camilla. Kau sering sekali lupa melakukan hal-hal kecil, dan itu sangat buruk.”
Danieru menepuk dahinya. “Ahhh ... aku akan menjadi samsak hidup ketika kembali nanti.”
Rachel menggeleng. “Kau benar-benar pria yang tidak berperasaan. Seharunya kau melakukan itu sejak semalam, sekarang kau malah menuangkan minyak pada percikan api.”
Danieru yang mendengar ucapan itu hanya bisa tertawa. “Aku benar-benar langsung tertidur semalam.”
“Berangkatlah, kau bisa membeli pakaian secara mendadak nanti.”
Danieru menatap ke arah sang kakek. “Baiklah ... aku akan berangkat.”
Danieru segera berdiri, ia menatap Rachel.
“Kakek, Ibu ... kami berangkat.” Rachel segera melangkah, ia membiarkan Danieru berada di belakangnya.
“Berhati-hatilah di jalan,” ujar sang kakek.
“Jangan lupakan nasihat ibu semalam,” timpal sang ibu tak ingin ketinggalan.
Danieru yang mendengar hal itu hanya mengangguk, ia kemudian menyusul langkah Rachel, dan mereka segera meninggalkan rumah besar milik keluarga Malaike.