REVANO
Setelah menempati apartemen Kak Iza gue pikir ini adalah awal dari kebebasan gue. Tapi ternyata lepas dari bayang-bayang mama tidak semudah itu. Mama benar-benar tidak membiarkan gue untuk hidup mandiri. Pagi ini saja gue mendapat telepon darinya bahwa langganan taksi mama akan mengantar gue berangkat ke sekolah. Entah siapa yang memberitahu padanya kalau mobil gue lagi masuk bengkel. Ya Tuhan, padahal gue sudah membayangkan naik bus atau angkutan umum.
Tapi nggak masalah, itu hanya soal waktu saja. Mama belum terbiasa jauh dari gue. Gue memang butuh waktu untuk meyakinkan bahwa anak laki-lakinya ini sudah bukan bayi lagi.
"Bahkan kemarin mama ngirimi gue rendang," tutur gue pada Kak Iza yang pagi ini menelepon. Dia di sana tertawa seakan puas dengan kekesalan yang gue rasakan.
"Van, lo harusnya bersyukur masih punya mama yang perhatian."
"Sama lo mama nggak kayak gini."
"Lo anak kesayangan mama."
"Susah kalo jadi anak kesayangan, kemana-mana selalu dipantau. Lo tau Kak? Taksi langganan mama sudah
nunggu gue . Kenapa mama bisa tau mobil gue masuk bengkel? Apa mama mengirim mata-mata beneran?"
Kak Iza makin tergelak. "Ya nggak gitulah, gue yang kasih tau mama."
"Kalian memang kompak. Gue kayaknya perlu pikir ulang lagi untuk jadiin lo teman curhat gue, Kak."
"Memang lo bisa curhat sama siapa lagi selain gue? Cari kalo ada."
"Ya,tentu. Lo liat aja ntar, Kak."
Panggilan putus begitu saja, saat punggung gue merasakan hantaman keras dari belakang. Gue memutar badan segera, saat mendengar suara hentakan membentur lantai.
Seorang perempuan terlihat tampak meringis menahan sakit. Apa dia yang menabrak? Reflek tangan gue terulur.
"Kamu baik-baik saja?"
"Menurutmu?" Matanya membola tapi itu justru membuatnya semakin... lucu. Dia menyambut uluran tangan gue.
"Kelihatannya sih baik-baik aja."
Perempuan itu terlihat mematung. Tingginya hanya sebahu gue. Matanya penuh binar, dengan hidung yang lumayan runcing. Satu lagi, bibirnya itu sangat....entah kenapa rasanya gue ingin menyentuhnya. Gila, ini masih pagi. Pikiran gue malah ngaco. Tapi gue akui, dia cantik.
"Aduh! Sorry buat yang tadi. Aku udah telat banget."
Tidak berlangsung lama, dia kabur begitu saja tanpa menunggu gue mengatakan sesuatu. Siapa dia? Gue baru melihatnya.
Ketika gue sampai keluar gedung, gue melihatnya lagi. Dia ada di dekat taksi yang menunggu gue. Sepertinya dia sedang terburu-buru hingga ingin menggunakan taksi itu.
"Pake aja nggak pa-pa."
Dia menoleh saat gue bersuara dan nampak sedikit terkejut.
"Ini taksi pesanan kamu?" tanyanya.
Gue mengangguk. Menenggelamkan sebelah tangan ke dalam saku celana seragam.
"Jadi, boleh kupakai taksimu ini?"
Sekali lagi gue cuma mengangguk. Masih belum bisa melepas tatapan pada wajahnya.
"Terima kasih banget ya. Aku harus segera berangkat."
Seperti sudah kehabisan waktu, perempuan itu bergegas masuk ke dalam taksi.
"Sekali lagi terima kasih ya." Ucapan terakhirnya sebelum taksi itu jalan menyadarkan gue, kalau gue belum sempat berkenalan dengannya. Ah, bodoh.
Tapi mungkin lain kali bisa. Sepertinya dia tinggal di apartemen ini juga. Berkat dia, gue bisa berangkat sekolah menggunakan bus kota. Sama seperti rencana awal. Gue tersenyum kecil saat mendapati diri sudah berdiri di halte bersamaan dengan orang-orang yang menunggu bus juga.
***
"Jangan terus tersenyum aneh gitu, menjijikan tau nggak lo?"
Satu orang yang selalu bisa merusak suasana hati gue, Rio. Teman sekelas yang selalu ngotot minta duduk di meja yang sama dengan gue.
Gue nggak mempedulikan keberadaannya dengan membuka laptop yang gue bawa.
"Lo habis ketemu siapa? Pagi-pagi udah kayak orang gila?"
Bukan hanya perusak suasana hati orang, dia juga terlalu ingin tahu masalah orang.
"Ayo dong bagi-bagi."
"Gue nggak lagi bawa bekal buat dibagi," jawab gue asal.
"Yaelah, kita kan temenan. Ah gue bisa tebak. Lo pasti habis ketemu cewek kan?"
Kadang gue pikir dia juga paranormal sehingga bisa membaca isi kepala orang.
"Dari mana lo tau?"
Rio tergelak dan itu mengundang mata anak-anak lain. Gue menyesal sudah terpancing ucapannya.
"Muka lo ketebak banget, Bro. Cantik kah dia? Cewek sini bukan? Anak kelas berapa? Apa gue kenal?"
Gue menghela napas. Kelanjutannya memang nggak akan mengenakan seperti ini. Bisa-bisanya gue lupa untuk nggak menanggapi ucapannya.
"Apa lo nggak ada kerjaan lain selain mengganggu gue?"
"Apa salahnya lo berbagi cerita sama gue. Kali aja gue bisa bantuin lo buat dapetin tuh cewek. Lo kan belum pernah sekali pun pacaran." Gue bisa melihat ada tawa yang Rio tahan. Itu menyebalkan.
"Terima kasih. Itu nggak perlu."
"Gue bisa loh kasih tips buat gaet cewek."
Ya Tuhan, gue juga lupa kalau dia bebal. Sangat bebal. Gue hampir menggeram, tapi sebisa mungkin gue tahan. Dia akan suka melihat gue terpancing emosi.
"Namanya siapa ,Van? Kira-kira cantik nggak?"
Gue benar-benar menganggapnya nggak ada. Berselancar di situs sains daring lebih bermanfaat dari pada mendengar ocehannya.
"Lo kalo suka sama cewek jangan asal pilih ya. Pilih yang.... Uwauwww... Seperti itu.... "
Ucapannya semakin nggak bisa gue pahami.
"Seengaknya harus lebih cantik dari cewek-cewek geng Meta. Dia ke sini, Bro."
Tepukan Rio pada lengan gue sedikit membuat gue tersentak. Gue bisa melihat Meta dengan keempat kawannya sedang menuju ke arah kami. Sial! Si berengsek Rio, kenapa nggak bilang dari tadi sih?
Gue segera menutup laptop, dan menyampirkan tas ke pundak. Kabur, pilihan yang tepat. Meskipun sepertinya terlambat.
"Loh, Van lo mau kemana? Bidadari-bidadari mau nyamperin elo."
Bidadari apanya? Tapi sialnya gue berpapasan dengan geng Meta tepat di pintu masuk kelas.
"Hay, Van!"
Mau nggak mau langkah gue terhenti.
"Kamu lagi sibuk banget ya?"
"Gue mau ke perpus," jawab gue singkat.
"Van, aku punya dua tiket nonton film terbaru weekend ini. Kamu mau temenin aku?"
Entah sudah keberapa kalinya Meta melakukan hal itu sama gue. Dia seolah tidak bosan walaupun gue sudah menolaknya puluhan kali.
"Sorry, gue nggak bisa. Weekend ada acara keluarga."
Tentu saja gue bohong. Nggak ada acara apa pun kecuali gue bakal rebahan seharian di apartemen Kak Iza sambil main game.
"Van, kali ini aja please temenin aku."
Rio yang berdiri di sebelah gue menyenggol lengan gue. Entah maksudnya apa. Oh apa dia mau?
"Weekend kelihatannya Rio nggak ada acara. Lo bisa ajak dia," ujar gue membuat Rio melotot.
"Kok Rio sih? Aku tuh pengin ngajak kamu." Meta mulai merajuk dan itu sama sekali nggak berpengaruh buat gue.
"Sorry, gue nggak bisa. Ya udah ya, gue ke perpus dulu." Gue melenggang meninggalkan Meta.
Bukannya gue nggak punya perasaan. Sumpah, gue risih dikejar cewek seperti itu. Meta memang cantik, tapi nggak ada hal yang membua gue tertarik. Anak-anak selalu menyandingkan gue dengan cewek itu sebagai the best couple. Gue benar-benar nggak habis pikir.
"Van! Kenapa sih lo tolak mulu ajakkan Meta. Kasian loh dia." Rio sudah menjajari langkah gue.
"Lebih kasian lagi kalo gue terima ajakkannya dan dianggap gue memberinya harapan, padahal gue nggak suka."
"Heran deh, cewek secantik Meta lo sia-siain. Kalo gue jadi lo, udah gue kencani terus tiap malam minggu. Sekap di hotel. Mantep."
"Cuci otak lo. Untung Meta nggak suka cowok kayak lo. Kalo nggak, habis dia tiap minggu."
Rio tergelak. "Nggak bakalan habis, Van. Paling gue bikin dia tiap senin pagi pake syal di leher karena sangkin banyaknya cupang yang gue buat."
Aku menggeleng. Nggak aneh dengar Rio bicara begitu. Dan bukan omong kosong juga. Karena faktanya cewek-cewek yang berpacaran sama dia nyaris dia ajak ngamar semua.
"Nggak usah geleng-geleng gitu. Lo nggak tau aja gimana rasanya. Sekali coba bikin nagih."
Gue memasuki perpus diikuti Rio. Mencari meja kosong untuk berselancar.
"Apa cewek yang udah bikin lo senyum-senyum itu lebih cantik dari Meta?" tanya Rio sambil berbisik. Di dalam perpus nggak boleh berisik. Tapi kenapa bahasannya ke sana lagi?
"Siapa namanya? Lo udah kenalan belum?"
Gue hanya menanggapi dengan gelengan.
"Payah banget sih. Pepet dong, Van. Ajak kenalan, spik-spik dikit terus ajak dia jalan. Tampang lo yang sebelas dua belas sama gue pasti gampang bikin cewek klepek-klepek di pertemuan awal."
Rio semakin kurang waras. Kali ini dia bicara tanpa menggunakan protokol perpus.
"Seandainya muka lo sebelas dua belas sama gue harusnya Meta mau ngajak lo jalan sebagai ganti gue."
Rio mencibir. "Bilang aja lo ngejek gue, Bangsul."
Gue menghentikan laju kursor saat melihat iklan video seseorang yang lewat di beranda akun i********:. Wanita cantik yang sedang berbicara
dengan gaya mempersuasi adalah dia. Perempuan yang tadi pagi terlibat insiden kecil dengan gue. Ternyata dia itu seorang selebgram ya?
Gue meng-klik akunnya. Randita Malik. Astaga, followernya tembus tiga jutaan. Gue men-scroll akun itu dan memastikan apakah dia beneran orang yang sama dengan yang gue lihat tadi pagi? Dan memang benar itu dia. Bibir penuh itu masih sangat gue ingat.
"Namanya Randita. Randita Malik."
Gue menoleh ke arah Rio dengan senyum secerah mentari pagi. Tapi tanpa diduga, tawa Rio malah meledak. Sialan.
"Jangan berisik!"
Warga perpus sontak meneriaki kami. Mulut Rio memang musibah.