Mata-mata

1097 Kata
“Capek?” Pertanyaan itu meluncur dari seorang pria yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Matanya menatap remeh sang perempuan yang menunduk lesu. Decakan meremehkan keluar dari mulutnya, seolah apa yang dilakukan sepupunya ini sia-sia. Dia tidak ingin sombong atau apapun itu, tetapi harta yang dimiliki Sasti saat ini lebih dari cukup untuk hidupnya 10 tahun mendatang. Memang tampilannya biasa, tetapi tabungannya luar biasa. Joko tahu sendiri bagaimana ambisiusnya Sasti soal uang. Bahkan uang 500 perak yang sudah digunakan untuk kerokan masih dicarinya. Hei, dia orang kaya. Lagipula Sasti juga perempuan, beban hidup perempuan akan ditanggung sang suami. “Enggak juga, tapi lumayan sih.” Sasti menjawab dengan sekenanya, tangannya memijat kedua betis yang terasa sangat pegal. Dia sudah bisa menebak, jika keluar dengan Yani dia akan kelelahan. Berjalan mengelilingi pantai hingga dikejar anjing liar. Perlu diketahui bahwa anjing liar sangat banyak di Bali, tetapi mereka sudah diberi tanda pengenal oleh masing-masing organisasi penyayang anjing. Dan Bali pun menempati posisi pertama sebagai daerah dengan anjing terbanyak di Indonesia. Sasti menggelengkan kepalanya pelan, dia malu sendiri jika mengingat tingkahnya tadi yang dilihat banyak orang. Dari penjual makanan, tukang parkir, wisatawan lokal hingga rombongan bule yang berkeliling dengan guide mereka. Untung mereka tidak mengenalnya. “Eh, gimana mas? Udah ada?” tanya Sasti mengingat pekerja baru yang direkrutnya untuk menjadi pengantar katering. Joko mengangguk singkat dan menyerahkan sebuah foto. Sasti menerimanya, matanya menelisik. “Masih sekolah?” tanyanya. “Baru lulus kemarin, dia cari tambahan uang buat kuliah.” “Nanti keganggu belajarnya,” ucap Sasti tidak yakin. Mengingat usia saat itu adalah saat dimana ego lebih menonjol. Tidak bisa berpikir dengan jernih. “Enggak, katanya mau mau aja. Soalnya dia ambil mata kuliah pagi, dilihat juga dia pekerja keras.” Sasti menganggukkan kepala. “Lho cuma satu?” “Satu aja cukup.” Setelah mengatakan itu, Joko berlalu meninggalkan Sasti yang mengerucutkan bibir kesal. Dengan gerakan lambat, Sasti menyenderkan kepalanya di meja lobby ressort miliknya. Matanya menatap orang-orang yang berlalu lalang, entah warga Indonesia ataupun warga luar. Dia menegakkan tubuhnya ketika melihat pemandangan yang lucu di ujung tangga. Disana, salah satu pegawainya terlihat kesusahan menanggapi bule cerewet yang entah meributkan apa. Salah satu sudut bibirnya terangkat, tidak bisa menahan senyumnya. Memang di ressort miliknya ini disunahkan pengunjung menggunakan bahasa Indonesia. Entah itu kepada bule sekalipun, karena memang peraturan ini Sasti sendiri yang membuatnya. Ini negaranya, sudah seharusnya orang luar yang beradaptasi dengan kita. Di luar saja kita menggunakan bahasa mereka, lalu kenapa disini di negara kita sendiri, kita yang harus menggunakan bahasa mereka? Sasti ingin mengubah pemikiran mereka. Masih teringat jelas dimana dia dibentak oleh ibu-ibu Korea. Saat itu dia berbicara di telepon dengan Joko, jelas menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi tiba-tiba, tidak ada angin tidak ada hujan dia dibentak oleh ibu-ibu itu. Yak, berisik! Sasti jelas kaget. Tidak lama setelah itu dia diberitahu oleh sahabatnya bahwa jangan diambil hati. Karena menurut temannya itu, menggunakan bahasa asing di Korea tidak sopan. Seolah tidak menghargai Korea itu sendiri. Bahkan Sasti pun mengalaminya, dia bertanya mengunakan bahasa Inggris dasar kepada anak muda disana, tetapi sama. Dia tidak menjawabnya, tetapi ketika Sasti menggunakan bahasa Korea, anak itu menjawabnya. Pertanyaan excusme sepertinya tidak asing untuk anak SMA, tetapi entahlah. Itu hak mereka. Dari sinilah dia ingin mengembangkan bahasa Indonesia sendiri. Tidak perduli antrian panjang di lobby karena pengunjung bule yang membuka aplikasi bahasa. Sasti senang ketika para bule yang setuju dan mau menggunakan caranya, dia juga akan membantu dengan senang hati. Sasti menoleransi dengan sang turis asing bertanya dengan bahasa Indonesia, tetapi dijawab oleh pegawainya dengan bahasa Inggris. Sasti tidak bisa bahasa Inggris? Salah. Nilai TOEFL miliknya sangat bagus, bagaimana bisa dia tidak bisa bahasa Inggris. Dia hanya ingin menghidupkan suasana Bali, Indonesia sesungguhnya. Banyak pengunjung dari luar negeri yang kaget bahkan tidak tahu bahwa Bali merupakan bagian dari Indonesia. Mereka mengira Bali adalah negara, bukan daerah. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Sasti melangkah menghampiri mereka. “Ada apa mbak?” Terlihat sang pegawai kaget, dia menggeleng cepat mendengar pertanyaan sang atasan. “Tidak ada Bu, nona ini hanya ingin bertanya dimana tempat makan yang enak.” Sasti sedikit meringis mendengar panggilan Bu untuknya. Bahkan rata-rata pegawai disini lebih tua darinya, bukannkah dia akan merasa tua jika dipanggil dengan sebutan Bu? “Lalu apa yang kau repotkan mbak? Kafe kita kan ada?” Terlihat sang pegawai menggaruk kepalanya, Sasti yang melihat hanya menggeleng pelan. “Udah mbak kerja lagi, biar nona ini sama saya.” Sasti tersenyum dan menjabat perempuan cantik tinggi semampai di depannya. Terkadang melihat postur tubuh orang lain membuatnya insecure, apalagi ini turis asing yang body-nya tidak perlu dipertanyakan. “Really, your friend is very annoying. I’been trying to naturally ask where the café is reincoforced in Indonesian languange. But she instead me!” Sasti tidak menjawab. Dia hanya tersenyum kecil mendengarnya, memang dilihat dari tampilannya bahwa perempuan ini dari orang atas. Terbukti dari sepatu, tas dan bajunya yang berasal dari merk ternama dunia. Perempuan itu mengangkat tangannya, mengisyaratkan Sasti agar tidak pergi. Tangannya terulur. “Ellen.” “Sasti.” “Ouuuhh, the beautiful name.” “Terimakasih.” Sasti mengangguk dan beranjak pergi, perempuan itu mencengkal tangannya. Dia kembali mengisyaratkan untuk berhenti, jari-jari lentikkan mengetik dengan cepat di laman internet. Tidak lama setelah itu dia berucap. “Tu-tunggu seb-sebentarr, begeimana ei-ku tahu jika kafe ini enak?” Hampir saja tawa Sasti pecah. Jempolnya terangkat kepada turis yag ia temui tidak lama ini. Sangat berantakan kosa katanya, tetapi tidak apa. Setidaknya dia sudah mencoba. “Oke. I will accompany and serve favorite food in here. If you think you are not good, do not have to be paid.” Ellen mengangkat kepalanya tidak percaya. Dia hanya mengangguk dan mempersilahkan Sasti memesan makanan menurutnya. Bakso, ayam betutu khas Bali, es cendol dan tempe mendoan menjadi pilihan Sasti untuk Ellen. Sedangkan dirinya hanya memesan es cendol, keluar bersama Yani membuat perutnya terasa lebih besar dari biasanya. Sasti menggeleng melihat cara makan Ellen. Matanya terbuka ketika mencicipi makanan satu per satu, menghiraukannya. Sasti menoleh dengan cepat ketika dirinya mendengar suara adzan, tidak lama setelah itu dia menghabiskan es cendol miliknya dengan cepat dan berpamitan kepada Ellen. “Ellen sorry, I have to go to run worship, enjoy the food.” Perempuan muda itu mengangguk dengan paham dan mengacungkan jempolnya ke arah Sasti. “Wow you speak English well.” “Terimakasih.” Setelah mengatakan itu, Sasti sedikit berlari menuju mushola di luar ressort. Meninggalkan Ellen dengan senyum miringnya. “Dia perempuan yang baik, sangat cocok dengan kakak dan anaknya,” ujar Ellen dengan bahasa Indonesia yang fasih dan lancar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN