Duda Sombong

1035 Kata
“Jadilah pengasuh anak-anakku.” Cahaya matahari menerpa wajah Syifa yang tengah mematung di halaman sekolah Taman Kanak-Kanak. Kalimat yang diucapkan oleh lelaki berstatus duda di hadapannya membuat waktu seolah-olah berhenti. Beberapa orang tua murid yang sedang menjemput anaknya, kini mengalihkan pandangan pada kedua orang yang sedang berdiri berhadapan. Syifa merasa bagai tersangka yang sedang menunggu vonis hukuman dari hakim. Beberapa orang di sekitarnya tampak berbisik dengan yang lain sembari menunggu jawabannya. Tak berbeda dengan Abrar, lelaki yang kini menatapnya tanpa berkedip, tanpa senyum, dan menyiratkan sebuah permohonan yang tak boleh ditolak. “Ma-maaf, Pak. Bisakah tidak di sini?” Pelan Syifa berkata agar orang tua murid yang berada di sekitar tak mendengar. “Di sini atau gak, apa bedanya? Saya cuma butuh jawaban kamu.” Seolah tak memedulikan perasaan Syifa yang malu atas situasi tak mengenakkan itu, Abrar dengan tegas mengeluarkan apa yang ada di kepalanya. Ia bahkan tak segan menyebut ‘kamu’ terhadap Syifa, bukan ‘Ibu Guru’ seperti wali murid lainnya. Bukan kali pertama lelaki berstatus duda itu memintanya menjadi pengasuh kedua putranya—Hanan dan Faqih, tetapi jawaban Syifa masih sama. Ia tidak bisa menerima tawaran itu meski gaji yang ditawarkan Abrar cukup besar. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan guru TK berusia 24 tahun tersebut, salah satunya adalah rumor yang beredar di sekolah. Syifa sudah beberapa kali ditegur oleh kepala sekolah akibat kedekatannya dengan Hanan. Bahkan, rumor bahwa Syifa memiliki hubungan khusus dengan duda tersebut pun beredar di grup orang tua murid. Tak ayal, mereka menyangka Syifa lebih memperhatikan Hanan di kelas dibandingkan murid lain akibat hubungan tersebut. Syifa dianggap sebagai guru yang tidak profesional dan mendekati ayah Hanan demi uang. Syifa pun berjalan ke luar gerbang sekolah dan berdiri di samping mobil Abrar yang terparkir di sana. “Maaf, Pak. Tolong jangan bahas itu di lingkungan sekolah. Saya takut semuanya jadi salah paham,” pinta Syifa setelah Abrar berdiri di hadapannya lagi. “Kenapa? Apa salahnya wali murid meminta guru menjadi pengasuh anaknya?” Syifa mengembuskan napas panjang mendengar pertanyaan Abrar. Lelaki itu tak tahu atau tak mau tahu tentang rumor yang beredar di sekolah terhadap mereka berdua. Abrar memang tak pernah membuka grup wali murid. Ia bahkan memasukkan nomor Bi Sumi, asisten rumah tangganya ke grup itu untuk mengetahui informasi dari guru. “Kenapa kamu menghela napas begitu?” Syifa semakin kesal mendengar kata ‘kamu’ yang terus keluar dari bibir wali muridnya. Meski hanya seorang guru dengan penghasilan kecil, tetapi tidak bisakah seorang General Manager di sebuah hotel besar seperti Abrar menghargainya dengan memanggilnya ‘Bu Guru’? “Saya katakan sekali lagi, Pak. Saya tidak bisa. Maaf.” Syifa hendak berlalu, tetapi Abrar menghadang jalannya. “Demi Hanan.” Lelaki itu mengarahkan pandangan pada putranya yang sedang menatap mereka dari dalam mobil dengan kaca yang terbuka. Syifa mengikuti pandangan Abrar. Ia menatap Hanan dengan rasa sedih dan bersalah. Di satu sisi, ia ingin anak itu bisa bersosialisasi dengan orang lain sebagaimana anak-anak di usianya. Namun, di sisi lain ia tak bisa bekerja sebagai guru sekaligus pengasuh muridnya. “Hanan bilang dia menyukai Bu Syifa. Cuma kamu yang bisa membuatnya ceria sejak ibunya meninggal. Tolong, bantu saya mengembalikan Hanan seperti dulu.” Kali ini, aura egois dan dingin dari diri lelaki itu tampak memudar. Yang tampak hanyalah sorot permohonan dengan belas kasih yang begitu besar. Syifa bergeming. Ia semakin bimbang. Selama ini, Hanan memang terkenal sebagai murid yang sangat anti sosial dan sulit diajak berkomunikasi. Namun, hanya dengan Syifa, anak itu mau menurut dan mulai tampak ceria. “Saya akan menunggu jawaban kamu. Paling lama seminggu, saya akan datang lagi untuk mendengar persetujuanmu,” tegas Abrar. Keegoisannya kembali muncul. Ia bahkan langsung memasuki mobilnya tanpa mendengar penjelasan Syifa. Gadis itu mematung menatap mobil Alphard hitam yang meninggalkan sekolah. ia berdecak kesal dengan sikap wali muridnya yang seenaknya itu. Datang lagi untuk mendengar persetujuan? Apakah ia bahkan tak punya pilihan untuk menolak? *** “Dasar anak nakal! Kamu apakan Fano?!” Seorang wali murid yang baru masuk ke pekarangan sekolah membentak-bentak Hanan. Di sampingnya, anaknya menangis sambil memegangi kening yang terdapat benjolan. Mendengar keributan di depan kelasnya, Syifa segera keluar dan menghampiri Fano dan Hanan. “Astagfirullah. Kening kamu kenapa, Fano?” tanya Syifa panik. Baru hari pertama sekolah di tahun ajaran baru ini, sudah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. “Ayo ikut Bu Syifa ke ruang guru. Biar Bu Syifa kompres.” “Gak perlu!” Wali murid itu menepis kasar tangan Syifa saat hendak membawa Fano ke ruang guru. “Saya mau orang tua anak ini yang mengobati anak saya!” ucapnya kasar. Para wali murid lainnya yang mulai berdatangan menjemput anak, mendekat untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. “Jika memang Hanan yang melakukannya, tolong maafkan dia, Bu.” “Jadi Bu Syifa mengira anak saya yang berbohong?!” “Bukan begitu ….” “Tanyakan saja pada anaknya langsung!” Hanan berdiri di belakang Syifa sambil memegang erat kemeja gurunya. “Hanan ….” Dengan lembut Syifa menarik anak yang ketakutan itu dari belakangnya. Ia berjongkok untuk menyejajarkan dirinya dengan anak itu, lalu bertanya, “Apa benar Hanan melempar Fano pakai batu?” Hanan yang masih tampak ketakutan hanya diam menunduk. “Tuh lihat! Dia diam saja karena takut!” bentak ibunya Fano. “Saya mau langsung ketemu sama orang tuanya! Dasar orang tua gak bisa mendidik anak! Lihat kelakuan anaknya senakal ini!” umpat wanita itu sambil menunjuk-nunjuk wajah Hanan yang semakin ketakutan. “Bu, tolong maafkan Hanan. Dia mungkin tak sengaja,” lirih Syifa. Ia sedih mendengar umpatan yang keluar dari orang tua pada anak didiknya. “Gak sengaja? Kalau gak sengaja, mana mungkin pas kena kening Fano sampai benjol begini?” Sang ibu tampak tak terima. Syifa memandang Hanan dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu anak itu tak mungkin berbuat tanpa sebab. Sejak pagi tadi, di kelas Hanan hanya diam dan tak berbaur dengan teman-temannya. Bahkan, saat diminta untuk memperkenalkan diri di depan kelas, Hanan hanya menyebutkan namanya, lalu menunduk lagi tanpa mengatakan apa pun. “Coba Hanan ceritakan. Bu Syifa janji gak akan marah,”ucapnya lembut sambil memegang kedua pundak Hanan. Mendapat perlakuan lembut dari gurunya, rasa takut di hati Hanan berkurang. Ia mendongak dan memandang wajah Syifa yang tersenyum padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN