Dengan lembut Syifa meminta Hanan, anak muridnya itu untuk bercerita dengan jujur yang terjadi antara dirinya dengan Fano.
“Hanan mau naik itu. Tiba-tiba Fano datang dan dorong Hanan sampai jatuh.” Anak itu menunjuk tangga yang terhubung dengan permainan seluncuran. “Tangan Hanan sakit. Terus Hanan lempar batu ke Fano,” jelas Hanan sambil membuka telapak tangannya yang memar.
Kali ini Syifa beralih ke Fano. “Apa benar yang dikatakan Hanan, Fano?”
“Bu Syifa menyalahkan anak saya?”
“Tidak sama sekali, Bu,” jawab Syifa sembari berdiri. “Saya hanya ingin mendengar dari Hanan dan Fano agar tidak ada salah paham.”
Wali murid itu tampak tak senang. “Benar kamu dorong anak ini?” tanyanya pada putranya. Fano mengangguk pelan.
Wajah wali murid itu tampak merah, menahan marah dan malu karena pengakuan anaknya.
“Tapi kamu gak harus melempar batu, kan? Dasar anak nakal! Suruh orang tuamu mendidik kamu dengan benar!” umpatnya sebelum menarik putranya meninggalkan sekolah.
Syifa menghela napas berat. Para orang tua murid yang menyaksikan kejadian itu pun mulai membubarkan diri dan meninggalkan sekolah. Sebagian mencibir kelakuan ibunya Fano.
“Kamu belum dijemput?” tanya Syifa ke Hanan. Anak itu menggeleng.
“Sini Bu Syifa obati tangannya.” Gadis berkerudung biru muda dengan kemeja berwarna senada, dipadukan dengan celana berwarna hitam itu menggandeng Hanan ke ruang guru. Setelah selesai membersihkan dan mengobati memar di telapak tangan Hanan, Syifa mengantar muridnya itu hingga ke depan gerbang untuk menunggu jemputan.
Sepuluh menit berlalu, akhirnya sebuah mobil Alphard hitam berhenti di depan gerbang. Seorang lelaki bertubuh tinggi dengan setelan jas hitam turun dari mobil dan menghampiri Hanan.
“Tangan kamu kenapa?” tanyanya setelah melihat kemerahan di tangan Hanan.
“Hanan tadi terjatuh, Pak. Hanya luka kecil, sudah saya oles obat,” sahut Syifa yang sejak tadi berdiri di samping Hanan.
Abrar—orang tua Hanan—menoleh, sejenak memandang Syifa. “Jangan sembarangan memberi obat. Nanti bisa infeksi.”
Syifa tertegun mendengar jawaban yang keluar dari mulut lelaki berpenampilan rapi itu. Bukan berharap ucapan terima kasih, tetapi setidaknya Syifa tidak berharap mendengar kalimat yang seolah menuduhnya memberikan obat sembarang pada Hanan.
“Insyaa Allah tidak infeksi. Lukanya akan segera mengering. Hanya memar,” tutur Syifa dengan sopan.
“Saya harap lain kali lebih diperhatikan muridnya. Jangan sampai terjadi seperti ini lagi!” tegas lelaki itu sebelum membawa Hanan ke mobilnya dan meninggalkan sekolah.
Syifa mematung dengan mulut terngangah. Ia sungguh tak pernah bermimpi akan mengalami hal-hal seperti ini. Tiga tahun mengajar TK, baru kali ini Syifa mendapat semprotan berturut-turut dari dua wali murid. Dan yang terakhir, Syifa sungguh tak menyangka akan perlakuan dingin ayah Hanan yang sama sekali tak menghargainya. Lelaki yang egois dan arogan di mata Syifa.
‘Sombong sekali,’ batin Syifa.
***
“Hanan, kamu gak mau nulis?” Syifa menghampiri Hanan di mejanya. Anak itu hanya termenung, sedangkan semua teman sekelasnya sibuk menulis huruf yang baru saja Syifa ajarkan. Lembar tugasnya masih kosong, hanya ada tulisan huruf yang dicontohkan oleh rekan sesame guru yang mengajar di kelas yang sama. Di sekolah itu memang ada dua guru untuk tiap kelas untuk mengajar murid-murid.
“Sini Bu Syifa ajarkan. Pegang pensilnya begini, ya.” Dengan lembut Syifa menggerakkan tangan Hanan yang memegang pensil hingga membentuk huruf ‘d’. satu baris pun telah terisi dengan tulisan tangan Hanan, meski masih dibantu Syifa.
“Nah, bisa, ‘kan? Kamu pintar, deh!” puji Syifa. Ia tersenyum dan mengusap lembut kepala Hanan.
Anak itu mendongak mendapat perhatian dari sang guru, terlebih saat Syifa mengusap kepalanya. Hanan merasakan kasih sayang, yang tidak ia dapatkan sejak ibunya meninggal setahun lalu.
“Sekarang coba kamu tulis sendiri,” pinta Syifa.
Perlahan Hanan mulai menggerakkan tangannya untuk menulis huruf yang sama. Baris kedua pun selesai, meski masih terlihat tulisan yang berantakan. Syifa bertepuk tangan pelan untuk memberikan apresiasi.
Anak lelaki berusia enam tahun itu pun tersenyum. Senyum yang selama ini tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun. Selama seminggu bersekolah, guru dan teman-temannya bahkan tak pernah melihat senyum terukir dari wajahnya.
Menyadari perubahan ekspresi Hanan yang biasanya datar, tanpa sadar Syifa menepuk kuat tangannya sambil berkata dengan suara yang bisa didengar satu kelas, “Kamu senyum?”
Semua murid memandangnya, termasuk rekan guru di kelas itu.
“Mari lanjutkan menulisnya, murid-murid Ibu yang pintar,” ucapnya penuh semangat. Entah kenapa, melihat perubahan dari salah seorang muridnya, Syifa merasa sangat bahagia. Niatnya agar Hanan bisa berbaur seperti anak pada umumnya pun semakin besar.
***
Sekolah sudah mulai sepi. Para murid sudah dijemput oleh orang tuanya masing-masing. Namun, Hanan masih betah berdiri di dekat gerbang sekolah untuk menunggu jemputan. Hanya di hari pertama ia dijemput oleh Abrar. Setelahnya, sopir ayahnya yang ditugaskan untuk menjemput anak itu. Telat menjemput juga sudah menjadi hal biasa, sebab sopir berangkat dari hotel tempat Abrar bekerja hingga jaraknya cukup jauh untuk sampai ke sekolah Hanan.
“Tunggu di dalam saja, yuk. Di sini panas,” ajak Syifa. Hanan menggeleng.
“Kalau gitu tunggu di dalam pos satpam aja, ya, sama Mang Yana.” Syifa mencoba menawarkan opsi lain, tetapi reaksi anak itu tetap sama.
“Ya sudah. Bu Syifa ke toilet dulu, ya. Kamu jangan ke mana-mana,” pesannya. Hanan hanya mengangguk.
Syifa pun bergegas ke kamar mandi sekolah untuk menunaikan hajat yang sedari tadi ia tahan demi menemani muridnya menunggu jemputan. Syifa memang tak pernah membiarkan murid-muridnya menunggu jemputan sendirian meski satpam siap siaga berjaga di gerbang sekolah.
Setelah kembali dari kamar mandi, Syifa tak melihat Hanan di gerbang sekolah. Ia mulai panik dan langsung keluar gerbang sekolah untuk mencari anak itu. Tak jauh dari sana, ia melihat Hanan digendong oleh seorang lelaki yang selama ini tak pernah ia lihat. Bukan Abrar ataupun sopirnya.
Lelaki ini mengenakan kemeja lengan panjang dengan seluruh kancing yang dibiarkan terbuka hingga memperlihatkan kaus putih di dalamnya. Ia juga mengenakan celana jeans yang terdapat robekan seperti disayat di bagian lutut celana lelaki itu. Ia membawa Hanan ke motor laki keluaran terbaru dan mendudukkannya di depan. Motor siap dinyalakan, tiba-tiba ….
Bugh! Sebuah buku menghantam kepalanya. Hanan yang sudah duduk tenang di motor pun ditarik paksa oleh seorang gadis berkerudung merah dan memintanya masuk ke pelataran sekolah. Syifa, gadis itu langsung menarik tas Hanan di punggung lelaki itu. Namun, lelaki dengan rambut panjang seperti Jerry Yan itu menahan tas Hanan dengan lengannya.
Tak kehilangan akal, Syifa menggigit tangan lelaki asing itu dan berhasil mendapatkan tas Hanan. Ia lalu menarik Hanan ke dalam sekolah dan duduk di dalam kelas.
“Ada apa?” tanya salah seorang guru yang melihat Syifa berlari ke dalam kelas.
“Ada penculik di sekolah kita!” jawabnya dengan napas terengah-engah.