Bab 10 Pilihan Tepat

1163 Kata
"Kau bilang berniat mempercayaiku, tapi di sisi lain malah merasa terancam juga dengan penawaranku." "Bukan begitu, Pak Erick," tukas Sella seraya berdiri dari kursi. Dia merasa panik saat mendapati Erick meninggalkan kursinya menuju ke arah jendela kaca, yang menapilkan area luar. "Kita tidak langsung menikah tentu saja. Kontrak itu akan bertahap, sejalan dengan penyelesaian masalahmu," toleh Erick meyakinkan. "Jadi, hubungan macam apa yang akan kita lakoni?" "Pertunangan, karena itu tahapan awal untuk menakhlukkan keluargaku, dan itu bagian yang harus kau lalui dengan baik," jelas Erick membuat logika Sella mulai berjalan. Dia menerka saat ini Erick sedang dikejar-kejar deadline pernikahan oleh keluarga besarnya. "Baiklah, aku akan mencoba tampil sebaik mungkin untuk jadi tunanganmu." "Dan bersiap jadi istriku tentunya," tambah Erick dengan tatapan serius. "Tentu saja. Akan aku lakukan itu kalau memang keselamatan aku bisa terjamin," sahut Sella menyanggupi. "Akan aku atur bagaimana baiknya. Jadi, segera tandatangani berkas kesepakatan yang aku berikan padamu tempo hari." Erick mengatakannya seraya bersedekap tangan. Sella segera undur diri dari ruangan Erick. Dia membawa kembali berkas yang disimpannya dalam map lalu kembali bekerja tanpa menghiraukan tatapan perang yang dilayangkan Moris padanya. Rasanya sudah tenang, setidaknya dia tidak sendirian menghadapi kisah rumit setelah diberikan kesempatan hidup kembali. Ada Erick yang secara aneh tiba-tiba hadir ke dalam hidupnya. *** Sella pulang cukup terlambat. Sengaja mengilang di balik gedung pengujian sampel produksi alih-alih bertemu dengan Moris dan Rosy. Dia ingin sekali menghindar dari kericuhan, setidaknya sampai mentalnya benar-benar siap. "Sella, kau baru pulang?" tegur Rosy seraya berdiri dari kursi yang tersedia di depan rumah Sella. Baru saja perempuan itu hendak melewati halaman, merasa lega sudah sampai rumah. Ternyata ketenangan yang berusaha dia raih harus musnah karena keberadaan Rosy. Mau tak mau, Sella harus menghadapinya juga. "Kau menungguku?" tanya Sella, sekedar basa-basi. Dia mulai memasukkan anak kunci, tetapi pintunya sudah dalam keadaan tidak terkunci. Sella menoleh pada Rosy yang berdiri di belakangnya dengan tatapan lelah. Namun, ingatan tentang bagaimana mudahnya temannya itu memasuki rumahnya, membuat Sella mengurungkan niatnya untuk marah. "Aku sudah di rumahmu sejak pukul enam sore tadi," ungkap Rosy seraya menjatuhkan dirinya di atas sofa. Seperti rumah sendiri, pikir Sella begitu mengamati bagaimana santainya perempuan itu keluar masuk rumahnya. "Tidak menelponku?" "Tidak kau angkat, Sella. Kau sangat membuatku cemas," gerutu Rosy, memaksa Sella mengecek ponselnya. Benar saja, ada enam panggilan tidak terjawab berasal dari nomor Rosy. "Maaf, aku lupa menaruhnya di loker saat masuk gedung tes uji sampel," kata Sella menjelaskan. Sella masuk kamar lalu menutup dari dalam. Setelah mandi, dia baru akan mengobrol dengan Rosy. Ya, setidaknya melakukan perlawanan halus, demi menggagalkan segala tipu daya perempuan itu padanya. Sella tidak akan memberikan celah lagi seperti dulu. Rosy melihat-lihat ruangan tamu dan dapur rumah Sella. Banyak barang yang dulu dibeli barengan dan couple dengannya. Rasanya momen indah itu ingin dia ulangi lagi. Namun, dia merasa Sella sedikit berbeda sejak hari aneh itu. Entahlah, Rosy merasa was-was setiap waktu bila itu berhubungan dengan Sella. "Kau sudah makan?" tanya Sella begitu keluar dari kamar. Pakaian tidurnya baru, berwarna soft pink dan itu terlihat sangat cantik dipakai Sella. Rosy mengamatinya dengan teliti, karena perubahan dalam diri Sella semakin hari, semakin kentara. Dia merasa tidak nyaman dengan apa yang terjadi dalam diri Sella. "Apa kau sedang berkencan dengan laki-laki kaya?" cetus Rosy, tanpa memedulikan bagaimana perasaan Sella diberikan pertanyaan seperti itu. Kesan menuduh yang memang kerap kali dia lontarkan kalau dirinya merasa Sella sudah mulai mengancam eksistensinya. "Kau ini bicara apa? Bukannya kau mengenal baik bahkan sangat akrab dengan pacarku?" tukas Sella, berusaha untuk tidak terpancing perkataan Rosy tentangnya. "Baju yang kau pakai sekarang terlihat mahal-mahal," ujar Rosy mencoba untuk membela diri atas omongannya. "Bukankah bajumu juga? Sebagian besar aku yang bayar, jadi aku tahu berapa harga pakaian yang kau beli," sahut Sella, tidak kalah sadis dalam membungkam mulut perempuan menyebalkan di hadapannya kini. Rosy langsung melengos. Rasanya seperti tercubit keras, tetapi masalahnya Sella hanya membalas pernyataannya dengan fakta. Itulah kenapa dia gelagapan sendiri pada akhirnya. "Soal permintaanku tadi pagi. Aku tidak harus memohon sampai bersujud di kakimu, 'kan, Sella?" ujar Rosy kemudian, membuka percakapan baru. Atau lebih tepatnya, melancarkan misinya datang ke rumah Sella. Sella berjalan meninggalkan ruangan tengah menuju ke dapur. Mengecek persediaan bahan makanan di kulkas dan sepertinya ada yang kurang. Sella segera mengalihkan pandangannya ke arah Rosy begitu menyadari snacknya tidak ada. "Kau memang sudah mulai pelit, Sell," gerutu Rosy begitu merasa tatapan sahabatnya itu sebagai sebuah protes. "Siapa yang pelit?" sanggah Sella, seraya mengambil mie lalu mulai menyalakan kompor. Sambil mengambil panci, dia menoleh lagi ke arah kedatangan Rosy ke dapur. "Malam itu, kamu pergi tiba-tiba. Dan yang bayar semua tagihannya Moris," ujar Rosy yang malah ditanggapi dengan tawa. "Oya? Kenapa kau tidak patungan dengannya?" "Aku ... ehm, dompetku kebetulan tertinggal. Jadi, aku tidak bisa membantu membayar tagihannya," sanggah Rosy membela diri. "Alasan klasik," batin Sella geram. Sebuah alasan yang selalu digunakan perempuan itu agar orang-orang di sekitarnya yang membayar semua keperluan Rosy. Sangat licik, pikir Sella waspada. "Soal proposal itu bagaimana?" ulang Rosy, mencoba untuk mendapatkan apa yang dia mau, meskipun dengan merengek-rengek. Rosy tipe perempuan yang enggan mengalah demi keberhasilan kariernya. "Kau sudah pernah mengambil risetku, proyekku bersama Moris di awal-awal masuk perusahaan, Rosy," tegas Sella memperingatkan agar perempuan itu tidak terus mendesak. "Kau akan biarkan proyekmu jadi sampah, Sella? Bukankah bagus aku membantumu, jadi risetmu tidak sia-sia?" oceh Rosy tidak menyerah. "Tidak apa jadi sampah, Rosy. Biarkan saja proposal itu diendapkan. Kau tidak perlu mencemaskan proyekku. Kenapa kau tidak membuat riset sendiri saja, bukanlah kita dibayar perusahaan untuk mengembangkan kemampuan kita?" tukas Sella, memberikan ketegasan yang nyata pada nada bicaranya. Rosy bahkan harus mengembuskan napas panjang demi bisa mengontrol rasa kesalnya atas sikap Sella yang berubah sangat pelit. Sambil menghentakkan kaki, perempuan itu keluar dari dapur, lalu meraih tasnya yang tergeletak di sana. Sella mengawasinya dari jauh. Bahkan, air yang telah mendidih pun terabaikan. Dadanya bergemuruh kesal atas sikap Rosy, tetapi dia tidak bisa berbuat lebih jauh, mengingat urusannya dengan Moris belum selesai. "Tidak aku sangka, kau akan perhitungan seperti ini pada temanmu, yang selalu berada di pihakmu sejak sekolah menengah atas, Sella." Tatapan Rosy menampakkan kekecewaan, tetapi Sella enggan menanggapi bagian itu karena tahu bagaimana manipulatifnya perempuan satu itu. "Aku ke sini sebenarnya cuma mau menyerahkan ini. Elsa mengundang kita untuk datang ke pernikahannya. Jangan sampai tidak datang, karena aku takut dianggap tidak menyampaikan undangan ini padamu," ucap Rosy seraya meletakkan sebuah undangan ke atas meja lalu berjalan keluar rumah. Sella terduduk lesu di kursi. Dadanya berdebar tidak karuan. Ingin rasanya menangis. Dihadapkan pada situasi seperti ini jujur saja membuat batinnya sakit. "Kenapa kau bisa bersiap seburuk itu pada orang yang tulus menyayangimu, Rosy?" gumam Sella seraya memijit pelipisnya. Ditatapnya map pemberian Erick yang masih tergeletak di atas kulkas, lalu matanya beralih pada meja tamu di mana undangan yang diletakkan Rosy tadi. Dilema segera menyergap, tetapi ketika mengingat bahwa Rosy dan Moris benar-benar hanya memanfaatkannya, naluri Sella untuk bertahan hidup pun membuncah kuat. "Undangan pernikahan dari Elsa? Haruskah aku datang untuk membalas kejahatan mereka pada kesempatan ini?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN