Bab 17 Tantangan Baru

1097 Kata
Sella berhenti mengejar Erick tatkala langkah pria itu terhenti begitu saja di depan pintu. Entah dengan alasan apa, Erick memilih memutar tubuhnya dan berdiri menghadap pada Sella. Gerakan itu sangat mengejutkan Sella tentunya, sehingga sekonyong-konyong tubuh perempuan itu terpaku, tidak mampu bergerak karena jarak mereka begitu dekat. Baru setelah Erick menyentuh sekaligus menepuk kedua pundaknya, barulah Sella meneguk ludah sambil menundukkan kepalanya. Wibawa Erick memang sulit untuk dienyahkan dari pikirannya, dan Sella takut kalau sampai pria itu melihat kegugupannya. "Jangan terlalu terbebani pada masalahmu dengan Moris maupun Rosy," ujarnya memberikan nasihat. Sella mundur sambil mengangguk mengerti. Meskipun jelas, wajahnya menyiratkan penolakan atas permintaan Erick mengenai beban. "Sebenarnya aku mulai tahu, sebenarnya Rosy yang telah membuat hidupku tidak berharga sejak kuliah," ungkap Sella, segera berjalan menjauh menuju ke arah kursi. Erick melirik ke arah jam tangannya. Untung saja saat ini sudah memasuki jam makan siang, sehingga memiliki waktu untuk mengobrol dengan Sella. Dia segera berjalan mendekati Sella lalu duduk di kursi yang menghadap ke arah meja. "Bagaimana perasaanmu?" tanya Erick, memastikan bahwa itu semua tidak begitu memengaruhi pikiran Sella. "Hancur. Aku mulai tidak percaya siapapun lagi," tukas Sella, menampakkan luka di kedua sudut matanya. "Tentu saja, kau harus mengecualikan aku dalam hal ini," sahut Erick dengan tatapan penuh keseriusan. "Kau merancang acara itu, bukan? Jangan kau kira aku tidak tahu." "Kau pasti salah paham," sanggah Erick, mulai resah dengan suasana hati Sella yang sering berubah-ubah. "Elsa tidak mungkin membuat acara itu hanya untuk menyelesaikan masalahku, Pak Erick. Dia bahkan ...." Sella tersenyum getir, sambil menggeleng setelahnya saat menyadari ada sesuatu yang disembunyikan Erick di belakangnya. Sella mencoba untuk melakukan kontak mata dengan pemilik manik mata cokelat itu. Namun, Erick malah menundukkan wajahnya seraya mengembuskan napas berat. Baru, setelah beberapa detik, Erick berani membalas tatapan Sella dengan lebih berani. "Tidaklah penting bagian itu, Sella. Karena bagiku membantumu mendapatkan kembali hakmu dihormati itu lebih utama." Erick mengatakannya sambil berdiri. "Aku penasaran, apa yang telah membuat seorang perempuan seperti Elsa mau melakukan permintaanmu." Sella ikut berdiri, menghadapi gaya Erick yang terkesan sangat mendominasi hubungan mereka. Dia masih membutuhkan jawaban Erick, bila memang itu memungkinkan. "Aku akan bertemu dengan Rony. Aku membutuhkan bukti agar apa yang menjadi keresahan hatiku bisa terjawab dengan tuntas." "Mau aku antar?" "Tidak perlu. Aku akan datang sendiri. Lagipula, aku sudah terlalu sering merepotkan dirimu," tolak Sella dengan nada keras. "Persiapkan juga dirimu untuk hal-hal yang mengejutkan lainnya, Sella. Karena sepertinya sudah tiba giliranmu untuk memasuki bagian dari hidupku, setelah aku berjibaku di dalam masalahmu," ucap Erick tanpa disadari menyiratkan kemisteriusan baru dari sudut pandang Sella. Raut wajah suram yang kerap kali terlihat kala pria itu duduk sendirian. Acap kali Sella ingin mempertanyakan tentang beban apa yang sedang ditanggung Erick. Namun, keinginan itu urung terungkapkan, karena kebanyakan Sella menjadi sosok yang lemah setiap kali berhadapan dengan pria satu ini. "Memasuki hidupmu? Apakah itu artinya giliranmu akan segera tiba?" "Hm, begitulah adanya," sahut Erick lalu berjalan meninggalkan Sella setelah mengusap kepalanya dengan satu jemari tangan. "Tunggu, Pak Erick! Apakah artinya aku harus mulai berhadapan dengan keluargamu?" Pikiran Sella tiba-tiba disadarkan pada bagian itu. Urusannya dengan Erick hanya mengenai pernikahan kontrak, di mana pasti akan melibatkan anggota keluarga besar. Jujur saja, Sella menjadi gemetar sendiri, karena bahkan awalnya tidak terpikirkan bagian itu. Dia mengira hubungan nikah kontrak hanya tentang tanda tangan kontrak. "Orang tuaku sudah mendengar tentang beberapa kali kencan kita. Jadi, kita harus mulai mempersiapkan diri menghadapi mereka," jawab Erick, dengan wajah datar seolah-olah kondisi itu tidak membuat Sella merasa terintimidasi. "K-kapan kita kencan?" gumam Sella merasa aneh. Erick tidak menjawab, dia memilih meninggalkan Sella agar perempuan itu bisa bergegas menyusul rekan-rekannya untuk makan siang bersama. Sella membiarkan Erick pergi. Dia tidak boleh mengejarnya sampai di dalam ruangan kantor. Akan banyak pasang mata yang mencurigai dirinya. Namanya belum sepenuhnya bersih. Setidaknya sampai dia benar-benar menemukan bukti kuat atas keterlibatan Rosy terhadap penyebaran fitnah-fitnah itu. "Tidak mungkin orang tua Erick sampai memata-matai aku," batin Sella bergidik ngeri. Dia keluar dari area taman lalu berjalan menuju ke kafetaria, bergabung bersama rekan kerjanya untuk makan siang. Siang ini dia akan makan buah saja. Nafsu makannya menurun karena nyatanya stres membuat pola hidupnya berubah drastis. Dia jadi lebih sering bermimpi buruk. *** Sore harinya Sella pulang dengan menumpang taksi. Entah ada acara apa, Rosy tampak izin pulang cepat selepas makan siang. Sella enggan bertanya, malas juga untuk mengurusi hidup perempuan satu itu, setelah apa yang terjadi padanya. Setelah membersihkan diri lalu mengecek ponselnya, ternyata pesan dari Rony terkirim sejak dua jam lalu. Perasaan Sella dibuat tidak menentu, apalagi di masa lalu, pria itu begitu terlihat sangat membencinya. Sella mengusahakan tampil elegan dan sopan. Kesan rendah yang coba Rony tancapkan padanya harus enyah, bagaimanapun caranya. Sesampai di tempat pertemuan—tepatnya di restoran, Sella segera dipersilakan masuk. Ternyata Rony sudah lebih dulu sampai di sana. Pria itu melambaikan tangan begitu melihat sosok Sella masuk ke dalam restoran. Tidaklah sulit mengenali Sella, karena sejatinya dia akan terlihat cantik bagi siapapun yang menyukainya. "Sini!" Rony membuat kode, meskipun panggilannya tidak sampai bersuara. Untung saja Sella berada dalam tatapan satu garis lurus dengan keberadaan Rony, sehingga gerakan itu segera dikenali Sella sebagai Rony. "Maaf, aku terlambat datang," ucap Sella begitu duduk berhadapan dengan Rony. "Kau mau memesan apa?" Selang tiga puluh menit kemudian pesanan mereka datang. Rony mengatakan akan mentraktir Sella, itulah kenapa dia sengaja memesan menu yang sama dengan Rony. "Ehm, aku tidak menyangka masih bisa bertemu denganmu," ungkap pria itu, diiringi dengan senyuman simpul. "Ngomong-ngomong soal tujuan pertemuan kita kali ini, bisakah aku melihat surat yang dulu aku berikan padamu?" pinta Sella, tentu saja dengan nada hati-hati. "Tentu saja, aku sudah menyiapkannya sejak semalam. Aku takut lupa dan kau akan memakiku," kata pria itu berniat bercanda. Sella tersenyum tipis menanggapi guyonan itu. Dia tidak menyangka pria yang dulu selalu menampakkan tatapan remeh itu, berusaha untuk berkomunikasi dengan baik padanya. Rony menyerahkan amplop kepada Sella. Tentu saja, warnanya sudah mulai kusut, sebagai bukti bahwa pria itu pernah meremas kertas itu hingga menyisakan jejaknya. "Maaf, bentuknya sudah tidak serapi asalnya." "Tidak masalah." "Tapi, untuk apa sebenarnya surat itu bagimu, Sella?" Tatapan Rony menunjukkan begitu penasarannya mereka. "Aku ingin memastikan sesuatu," jawab Sella seraya membuka amplop itu lalu menarik isi di dalamnya. "Oh." Rony mengangguk paham. "Rony, bolehkan aku membawa surat ini pulang?" Rony menatap kedua mata Sella dengan serius lalu mengangguk begitu perempuan itu mengisyaratkan permohonan. Sella menolak diantar pulang Rony. Dia menumpang taksi dan turun tepat di depan pagar rumah. Ditatapnya secarik kertas yang kini berada dalam genggaman tangannya. Kalimat yang tertuang di dalamnya membuat perutnya bergolak mual. "Besok aku akan mencocokkan ini dengan tulisan Rosy."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN