Bab 15 Posisi Wajib Tergantikan

1167 Kata
"Bertemu?" ulang Sella, mencoba untuk membuat pria itu menegaskan kembali permintaannya. "Hm, aku masih penasaran sebelum berbicara empat mata denganmu." "Apa kau bisa membantuku, anggap saja sebagai alasan kenapa kita harus bertemu lagi?" tukas Sella, membuat kesepakatan. "Apa itu?" "Surat yang dulu katanya aku kirim untukmu. Apakah kau masih menyimpannya?" pinta Sella dengan penuh harap. "Kau ingin bernostalgia, tentang betapa menggodanya gayamu dalam merayu para pria dengan tulisanmu yang provokatif dan membawa imajinasi yang liar?" canda Rony, segera diberikan kekehan Sella sebagai bagian upaya untuk mencairkan suasana. "Anggap saja begitu." Sella mengalah untuk tidak terpancing kemarahan. "Jadi kapan?" Rony terlihat sangat antusias dan itu cukup melegakan hati Sella. Setidaknya, upayanya untuk mencari tahu hampir membuahkan hasil. "Besok sore, sepulang aku dari kantor. Aku yang akan menemuimu. Kirim alamatnya lewat pesan dan jangan lupa untuk memastikan tempatnya tidak berbahaya untuk orang seperti aku," pungkas Sella segera menutup saluran telepon begitu Rony mengiyakan. Sella menarik rambutnya, menjambak sedikit demi bisa memastikan bahwa dirinya masih hidup. Banyak hal yang membuatnya bingung. Runutan kejadian dan bagian mana yang seharusnya dia perbaiki lebih dulu, agar mengubah alur cerita masa depannya. Semalam dia mampu mengubah situasi, apabila dulu dia menjadi bahan ejekan banyak tamu, tetapi dia berhasil membuat posisi itu berubah menjadi Rosy. "Mampukah aku mengubah nasib kematianku, sedangkan sampai kini urusanku dengan Moris belum usai," gumam Sella resah. Ditatapnya foto-foto di dalam galeri ponselnya. Sepertinya memang benar, Moris masih menganggap Rosy sebagai seorang adik perempuan. Jadi, Sella belum menemukan jejak, sejak kapan Moris berselingkuh dengan Rosy. "Di restoran hari itu, Rosy sudah mencoba untuk meraih perhatian Moris, tetapi kedekatan itu belum bisa disebut sebagai perselingkuhan, karena tatapan Moris belum menunjukkan sebuah ketertarikannya pada perempuan." Sella mencoba menganalisa hasil pengamatannya. Moris belum sebutuh itu pada sosok Rosy. Justru Rosy yang memang memiliki karakter jahat padanya, bukan Moris. Mungkin memang sifat temperamen Moris itulah yang kelak akan mencelakakan dirinya. Namun, tetap saja sosok Rosy lah yang harus disingkirkan secepatnya, pikir Sella kritis. Sella merentangkan kedua tangannya, lalu menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Dia akan tidur saja, dan berharap akan menemukan cara baru agar alur yang coba dia ubah tidak semakin membuat hidupnya berantakan. *** Erick sampai di rumahnya setelah pulang mengantar Sella. Terdapat perbedaan pada dirinya. Setidaknya, dia memiliki harapan untuk hidup lebih lama, daripada dulu. Hidup monoton, dan semua kecenderungan untuk mengakhiri hidupnya lebih besar, saat sebelum dia terbangun dalam keadaan kepayahan di dalam kamarnya. "Aku sama sepertimu, Sella," gumam Erick seraya mengamati foto perempuan itu. Sebuah hasil jepretan kamera lawas, tetapi membawakan kesan damai dalam dirinya. Yap, Erick bukanlah malaikat yang mengetahui apa pun yang menimpa Sella secara luar biasa. Dia mengalami hari buruk, sama seperti yang dialami Sella. Bila perempuan itu meninggal karena salah memilih jodoh, terlalu lugu dan tulus sehingga dimanfaatkan orang-orang di sekitarnya. Namun, tidak bagi Erick. Dia tidak ubahnya sebuah boneka yang dilahirkan dari keluarga kaya. Hidupnya monoton, bahkan sekedar mengemukakan pendapat saja rasanya harus dengan cara memberontak. Erick selama ini hanya diam, lebih banyak menurut kalau memang itu masih dalam batas toleransinya. Namun, saat masalah pencarian istri saja masih ditentukan pihak keluarga. Erick memilih untuk pergi dari rumah dan meninggalkan nama besar keluarganya. "Ternyata, membuang nama besar keluarga belum juga membuat mereka puas," desis Erick emosional. Erick berjalan dengan langkah kesal, melepaskan kemeja lalu mencampakkannya pada bak cucian. Bila mengingat, wajah-wajah orang yang datang ketika tubuhnya sedang sekarat, darah Erick mendidih. Dia tidak menyangka, orang yang masih anggota keluarganya tega melakukan tindakan kejam itu padanya. "Aku tidak akan melepaskanmu," ucap Erick seraya mengepalkan jemari tangannya. "Kita lihat, apakah kau masih mampu melakukan kejahatanmu, setelah aku tahu dari awal semua misi-misimu." Tatapan mata Erick menyiratkan kemisteriusan dan luka yang dalam. Sebuah kondisi yang membuat dirinya bangun kembali ke masa sepuluh tahun lalu, sama persis yang terjadi pada Sella. Akibat sebuah ketidakadilan. Erick melirik ke arah ponsel yang tergeletak di atas meja. Dia mengabaikannya, memilih untuk menyegarkan diri dengan mandi lalu berganti pakaian tidur. Sibuk memikirkan Sella merupakan pelarian yang sangat menyenangkan. Sebuah kebiasaan baru dan itu memang mampu membuatnya merasa berguna. "Aku akan menembus semua janjiku padamu, Sella. Meskipun, itu artinya aku akan mengorbankan nyawaku. Setidaknya, aku mati dalam keadaan berguna, bukan pecundang," kata Erick, menunjukkan seulas senyuman. Mungkin itu paling tulus dan jujur yang pernah dilakukan Erick seumur hidupnya. Keesokan harinya, Erick datang ke kantor cukup terlambat. Semalam dia mimpi buruk lagi. Kecelakaan yang menimpanya di masa depan seolah terjadi lagi. Sebuah kondisi mengerikan yang membuatnya harus kehilangan nyawa. Erick paham, bagian itu akan muncul kembali setiap kali hati Sella dilanda kegundahan. Erick mulai menganalisis segala sesuatu yang dijalaninya. Dia tidak ingin terlewatkan begitu saja, setiap momen berharga. Dia memastikan tidak akan memperburuk alur yang coba Sella perbaiki. "Selamat pagi, Pak Erick," sapa seorang karyawati begitu masuk lift berbarengan dari loby menuju ke kantor lantai tujuh. "Pagi," sahut Erick dengan suara datar. Lift melaju naik, hingga pada lantai tiga berhenti. Tiga orang masuk, salah satunya Sella. Perempuan itu memakai blouse berwarna baby blue yang dipilihnya saat membeli gaun. Terlihat sangat segar dan Erick paham bahwa sebenarnya Sella selama ini sedang menjaga mentalnya tetap aman—sejak terkena rumor sebagai perempuan panggilan. Sella selalu berpakaian menyedihkan, agar tidak ada yang mengenalinya. Sebagai gantinya, Rosy yang akan dibelikan pakaian bagus, sehingga kesan modis jatuh pada diri Rosy di mata teman-temannya. "Kau terlihat sangat keren," tulis Erick dalam sebuah pesan. Ponsel Sella berbunyi, perempuan itu tanpa menunda langsung membuka isinya. Tampak dari arah belakang Sella mengulas senyuman tipis. Pipinya bahkan merona dan itu sangat menyenangkan hati Erick, bisa melihat perubahan ekspresi itu dalam beberapa detik. "Kau melihatku di mana?" balas Sella. "Dari Lobby." Erick membalas singkat, bibirnya mengulas senyuman geli karena paham Sella pasti langsung percaya. Erick pun yakin, Sella tidak melihat keberadaannya masih dalam satu lift. Itu bisa dilihat sejak awal Sella masuk, dia tidak menoleh ke belakang. "Kau sudah dengar kalau Rosy hari ini tidak masuk karena sakit?" tanya salah satu rekan kerja Sella di sebelahnya. "Iyakah?" Sella menyahut datar, meskipun tetap saja terdapat rasa kaget dari cara ia menatap teman kerjanya. "Bukankah kau pergi bersama Rosy semalam? Menghadiri undangan resepsi pernikahan teman kuliah kalian." Balasan tatapan rekan kerja Sella membuat perempuan itu menjadi gugup. "Aku pulang lebih awal, karena perutku sedang bermasalah. Dia juga berangkat tidak bareng denganku," tukas Sella beralasan. "Oh ... banyak sih yang bilang. Dia dibully habis-habisan waktu di pesta. Entah karena apa, yang pasti mentalnya down karena perilaku kejam itu," bisik rekan bernama Nena itu sambil mendekatkan wajahnya ke telinga Sella. Dia tidak mau suaranya didengar beberapa karyawan yang berada dalam satu lift dengan mereka. Sella segera paham dengan maksud Nena pun mengangguk pelan. Begitu pintu lift terbuka, Sella buru-buru keluar disusul Nena di belakangnya. Engap, hanya itu yang Sella rasakan ketika berada di dalam lift. Apalagi saat mendapat kabar tentang kondisi Rosy yang sama persis seperti yang dialaminya di masa itu. Sakit hati dan d**a sesak itu bisa dia rasakan juga. "Apakah alurku sudah benar? Semua kondisi harus benar-benar digantikan seseorang, agar kelak aku tidak mengalaminya?" batin Sella, bulu kuduknya mendadak meremang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN