Bab 6 Melawan Tuduhan Palsu

1271 Kata
Sella dan Erick duduk saling berhadapan. Mereka tidak berbicara sampai menu bluefin tuna yang mereka pesan sudah terhidang di atas meja. Sella merasa bingung, banyak pertanyaan yang timbul tenggelam dalam benaknya. Namun, sukar diungkapkan karena pria yang berada di hadapannya lebih banyak diam. "Kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi." Sella pun akhirnya membuka percakapan. Dia memberanikan diri, setelah pria itu tadi membujuknya untuk masuk terlebih dahulu dan membicarakan tentang penawarannya tempo hari sambil makan. Erick menatap Sella, tetapi hanya menghela napas. Seolah-olah beban hidupnya begitu berat. Sella sendiri belum mengenal pria itu lebih jauh. Jadi, dia sebenarnya buta akan asal-usul Erick di luar kehidupan kantor. "Kita habiskan makan malam kita. Aku tidak terbiasa makan sambil mengobrol," tukas pria itu seraya menatap lekat ke arah Sella. Sebuah kilat keseriusan yang tidak mampu dibantah dengan argumentasi apapun. Sella pun memilih untuk memaklumi. Sella mengamati keadaan sekitar. Restoran ini sangat nyaman dan benar-benar memberikan kenangan menakjubkan dengan makanan yang disajikan. Namun, bayangan masa depan, di mana tempat ini pula kehormatannya hancur di mata teman-temannya muncul tanpa bisa dicegah. Sella bergidik ngeri membayangkan adegan itu terulang kembali. Sella memastikan tidak akan membiarkan itu terjadi. "Jadi, kau sudah berani mengambil langkah?" tanya Erick setelah selesai meneguk minumannya. Lamunan Sella buyar. Suara Erick meyakinkan bahwa makan malam sudah usai, jadi mereka bebas mengobrol santai. "Tentang kencan yang kau tinggalkan begitu saja," tambah Erick, ketika menyadari Sella belum mengerti pertanyaannya. "Aku? Oh ... kau benar. Aku baru saja meninggalkan acara kencan kami bertiga. Kurasa, saat ini mereka sibuk saling menyalahkan karena besarnya tagihan yang harus dibayar," ungkap Sella dengan nada tenang. Senyuman entah palsu atau bukan, tapi bagi Erick sangat indah dipandang mata. "Aku suka gayamu," puji Erick membalas Sella dengan senyuman. "Aku bisa putus dengannya kalau mampu memergoki perselingkuhan mereka berdua," ujar Sella lagi, dan kali ini malah mendapat tanggapan Erick dengan tawa. Sungguh, pria itu merasa Sella sangat polos. "Sudah aku bilang. Moris tidak semudah yang kau bayangkan. Sifatnya sangat tempramen. Pastikan kau mampu mengatasi bagian itu lebih dulu," tukas Erick, mulai menyandarkan kepalanya pada kursi. "Aku akan mencobanya. Selama berhubungan, memang seingatku, aku tidak pernah menuntut sesuatu yang berlebih-lebihan," sahut Sella percaya diri. "Jadi, itulah kenapa kau belum juga menyetujui penawaran pernikahan kontrak denganku?" "Tentu saja. Aku belum tahu motifmu apa. Sebuah alasan yang bisa masuk logikaku." "Itu sama sekali tidak ada hubungannya antara aku dengan Moris. Tapi, pernikahan kontrak ini bisa menjagamu dari pria itu. Bukankah kau ingin menghindari pernikahan dengannya?" balas Erick, mulai menampakkan wajah serius akan perkataannya tentang Moris. Sella buru-buru menggeleng. Tidak memercayai bahwa dirinya akan aman dengan kontrak pernikahan seperti itu. Dia tidak mau masuk ke kandang singa, setelah bersusah payah mencoba kabur dari kandang harimau. "Tetap saja. Kau lebih menakutkan dari Moris," cetus Sella, tentu saja dia langsung memberikan tatapan menantang saat melihat pria itu tersenyum sinis padanya. "Aku tidak mungkin membunuhmu. Mana mungkin aku lebih menakutkan daripada dia. Kau ini sangat lucu." *** Sella pulang diantarkan Erick. Pria itu berkeras, dengan alasan tidak pernah meninggalkan perempuan pulang sendiri di malam hari. Akhirnya Sella pun menurut saja. Setidaknya, pria memiliki karier bagus di perusahaan memang tipe orang yang menjaga integritas. Dari bagaimana sikap dan penampilan, Sella meyakini Erick bukanlah orang sembarangan. "Rumahmu sekitar sini?" tanya Erick begitu memasuki gang perumahan yang disebutkan alamatnya oleh Sella. "Huum. Aku tinggal di sini sudah hampir enam tahun." "Oh ... cukup sepi." "Iya, rata-rata yang tinggal di sini para perantauan. Kebanyakan mengontrak karena rumah mereka aslinya di luar kota," jelas Sella, diberikan anggukan kepala Erick. "Kamu yakin, tidak ada keinginan untuk pindah?" "Kenapa harus pindah?" Tatapan Sella menunjukkan kebingungan. Tetapi, setelah mengingat bahwa di rumah itulah dia kelak akan celaka, Sella segera menundukkan kepalanya. "Tak apa kalau kau merasa belum siap." "Bukan begitu. Aku belum memikirkan sampai sejauh itu. Aku akan berusaha untuk putus dulu dari Moris. Bukankah aku hanya perlu menjauhi pria itu dan tidak menikah dengannya. Tragedi itu tidak akan terjadi?" tukas Sella terdengar frustrasi, meskipun terdapat pula sinyal optimisme dalam dirinya. "Kita lihat saja, sampai sejauh mana kau bisa melalui hari-harimu, Sella," sahut Erick seraya menghentikan kendaraannya tepat di depan rumah Sella. Pria itu menoleh ke arah rumah lalu beralih pada Sella dengan tatapan cukup misterius. Sella memilih pamitan lalu turun dari mobil. Setelah menunggu kendaraan itu meninggalkan rumahnya, barulah Sella melanjutkan langkahnya menuju halaman. Jantungnya berdegup kencang saat mendapati dalam kegelapan, sosok Moris berdiri di sana. Sella bahkan harus mengembuskan napas panjang demi bisa mengontrol rasa takut yang tiba-tiba datang menyergap. "Kenapa kau berdiri di sana?" tanya Sella, seraya mendekat karena keberadaan pintu rumah memang berada di samping Moris. "Kau meninggalkanku di restoran demi pria itu," tukas Moris dengan suara yang tidak mengenakkan hati bagi Sella. Tidak ingin berdebat lebih jauh, Sella tidak menanggapinya dan memilih untuk memasukkan anak kunci lalu membuka pintu rumah. Dia mencoba mengabaikan Moris. "Aku bicara denganmu!" teriak Moris kesal. Mata Sella membulat kaget mendengar suara ketus itu. Dia pun memilih memundurkan tubuhnya saat merasakan Moris menepis tangannya dari gagang pintu. "Kau ini kenapa?" Sella merasa tidak nyaman dengan ekspresi Moris yang berlebihan. Rasanya sangat muak melihat pria itu bertindak sebegitu kasarnya. "Kau masih tanya kenapa?" Mata pria itu nyalang, bibirnya mengulas senyuman—yang jujur saja membuat bulu kuduk Sella meremang. Apalagi, ekspresi itu sangat mirip dengan kejadian malam naas, di mana pria itu melakukan pembunuhan padanya. Sella segera mundur menjauh demi bisa menjaga jarak aman dari Moris. "Kau datang dengan raut wajah menakutkan. Kau kira aku bisa membaca isi pikiranmu? Aku tidak tahu masalahmu apa." Sella ikut terpancing untuk tidak terlihat lemah. Dia tidak mau diintimidasi lagi, seperti biasa saat pria itu mulai marah. Sella memutuskan untuk melawan. "Kau sengaja meninggalkan aku dan juga Rosy karena kau mulai perhitungan, 'kan? Dasar pelit!" cetus Moris, menunjukkan bahwa dirinya sangat kesal karena uangnya habis. Sella menyembunyikan tawanya dengan melengos. Apa yang dilakukannya malam ini ternyata tepat. Menghindari dua orang penipu itu memang wajib dilakukan. "Oya, kau pikir aku tidak tahu. Kau bertemu dengan Erick hanya untuk makan malam bersama, 'kan? Pekerjaan omong kosong!" Moris menampakkan aura gelap dalam dirinya. Dengan tatapan menyala dilingkupi kemarahan, pria itu menarik tangan Sella lalu membawanya masuk ke rumah. "Sini, kau!" Sella ingin meronta, tetapi tenaganya tidak cukup kuat, sehingga terseret begitu saja dan berakhir jatuh di sofa saat Moris menghempaskannya. "Kau mau apa?" Sella langsung berdiri, menghadapi Moris yang telah dilanda api cemburu. Entah kecemburuan atau apa. Namun, yang pasti Sella bisa melihat monster dalam diri Moris keluar, sehingga menunjukkan sifat aslinya. "Kau tidak perlu sok jual mahal! Kau pikir aku tidak tahu, seperti apa dirimu sebenarnya, hah?!" serang Moris, seraya menarik Sella dan mengajaknya ke arah kamar. Tentu saja Sella langsung melawan sekuat tenaga. Tidak lupa meraih benda apapun demi bisa menghentikan niat buruk Moris padanya. "Kau ini bicara apa! Lepaskan!" Sella meronta, mencoba untuk melepaskan diri. Melihat Moris mulai melucuti pakaiannya sendiri, keselamatan Sella pun mulai terancam. "Apa kau pikir, aku tidak tahu kotoran yang kau sembunyikan sejak kuliah? Jangan sok jadi perempuan suci, Sella. Aku tahu, sudah berapa banyak laki-laki yang kau goda, demi memuluskan semua kepentinganmu." Tatapan Moris sudah menunjukkan bahwa pria itu telah mendengar kabar tentangnya di masa lalu. Mata Sella pun membulat tidak percaya. Bayangan masa depan pun mulai hadir, bagian sejarah kelam yang tak ingin dia biarkan terjadi lagi. "Itu tidak benar!" debat Sella, mencoba untuk membela diri. "Aku bukan wanita seperti itu." "Oya! Buktikan padaku, kau bukan w************n seperti yang dikatakan orang-orang," tukas Moris dengan tatapan meremehkan. "Ini tidak boleh terjadi," batin Sella resah. Dia mengingat, momen malam ini menjadi awal di mana pembuktian cinta yang dia lakukan berakhir dengan janji pernikahan. Sella menggeleng, berusaha bangkit untuk mengambil langkah seribu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN