Jantungku berdegup kencang. Berita tentang penculikan akhir-akhir ini sering terdengar. Tapi mana mungkin ada yang mau menculik wanita dewasa sepertiku yang sebentar lagi menginjak kepala tiga. Pria itu mendekat membuat tubuhku tidak bisa bergerak.
Aku ingin berteriak tapi suaraku tercekat. Aku tidak bisa berkata-kata lagi.
“Kau tidak mengenalku?”
Aku tertegun suara ini mirip dengan….
“Jun Hee.”
Pria itu membuka topinya. Senyum Jun Hee mengembang tanpa rasa bersalah telah menakut-nakutiku.
“Aww!” ringis Jun Hee sambil memegang kakinya yang kuinjak. Biar saja dia merasakan sakit, siap suruh membuat lelucon seperti ini.
“Mau lagi?” tanyaku garang.
“Kau bisa menciderai kakiku,” ujarnya dengan wajah kesakitan. Aku jadi merasa bersalah, apa sesakit itu?
“Kau baik-baik saja?”
“Oh, kakiku.” Jun Hee duduk di lantai sambil memegang kakinya yang tadi kuinjak. Aku berjongkok di hadapannya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuknya.
“Ap-apa benar sakit? Bagian mana yang sakit?” tanyaku khawatir.
“Kau harus bertanggung jawab. Kau harus mengobatiku,” ujarnya.
“Bagaimana caranya?”
Jun Hee menundukkan kepalanya membuat aku tidak bisa melihat wajah tampan itu. Apa aku sudah keterlaluan padanya? Cukup lama pria itu terdiam membuat jantungku kembali berdebar takut. Kami baru saja bertemu tapi aku sudah membuatnya kesakitan.
“Apa kau baik-baik saja?” tanyaku sekali lagi. Melihat Jun Hee yang tak kunjung mengangkat kepalanya. Oh, ayolah jangan buat aku khawatir sudah cukup hari ini aku mendapat banyak pekerjaan.
“Tolong obati aku,” ucap Jun Hee yang terdengar seperti rengekan anak kecil. Dasar manja. Aku pikir apa dia sengaja melakukannya? Aku jadi curiga. Tapi melihat wajahnya seperti orang kesakitan membuatku yakin jika Jun Hee tidak berbohong. Ya, sampai saat ini aku masih berpikir positif padanya.
“Bagaimana caranya?” tanyaku seperti orang bodoh. Jun Hee mendongkak kemudian menunjuk pipinya dengan mata terpejam. Dasar pria m***m, cari kesempatan dalam kesempitan. Apa dia pikir aku mau melakukannya?
“Obati sendiri.” Aku berdiri menatapnya kekesalan. Aku tersentak. Satu hal yang baru aku sadar bahwa kunciku hilang. Apa jangan-jangan masuk ke dalam apartemen. Aku menatap jun Hee si biang kerok yang menyebabkan kekacauan ini. Haruskah malam ini aku tidur di luar? Ingin marah rasanya percuma karena pria itu tidak akan menghiraukannya. Ya, Tuhan apa yang harus aku lakukan sekarang.
“Kau kenapa?” tanya Jun Hee dengan wajah polosnya. Aku ingin berteriak di depannya tapi mata itu membuat amarahku lenyap. Mata sipitnya mengingatkanku pada Mas Onew yang lagi wajib militer. Sangat meneduhkan dan lebih gilanya lagi jantungku berdebar lebih kencang.
“Kunciku masuk ke dalam apartemen. Aku harus tidur di mana?” ujarku. Sialnya suara ini terdengar seperti permohonan anak kecil yang ingin digendong ayahnya. Seorang Sasya Kamila tidak pernah bersikap manja seperti itu tapi anehnya setiap bersama Jun Hee aku merasa sifat kekanakanku keluar. Sifat yang tidak pernah aku tunjukkan kepada orang lain termasuk pada Raya. Semua teman-temanku mengenal sosok Sasya sebagai wanita tegar, kuat dan tangguh.
“Benarkan? Wah, sepertinya kita harus tidur di luar,” ujar Jun Hee.
“Kita? Ma-maksudmu kau juga ikut?” Jun Hee mengangguk. Apa-apaan ekspresi wajahnya itu?
“Aku tidak mau. Kau harus bertanggung jawab. Cepat ambil kunciku.” Aku mendelik dan Jun Hee hanya beringsut seperti anak kucing yang ketakutan. Ada apa dengan pria itu sebenarnya. Dia bukan seperti Jun Hee yang aku kenal.
“Baiklah kita ke apartemenku saja. Kau bisa menginap di sana malam ini,” ujar Jun Hee. Pria itu berdiri dan mengulurkan tangannya padaku. Apa dia pikir aku tidak bisa berdiri. Jun Hee memasukkan kedua tangannya ke saku celana setelah aku menolaknya. Jangan harap aku akan luluh padanya.
“Kau ternyata lebih galak dari pikiranku,” ujar Jun Hee. Apa? Galak? Ini baru pertama kalinya aku mendengar seorang pria mengatakan aku galak secara terang-terangan. Baru pertama kali ini aku merasa gerah berurusan dengan pria.
“Kau juga lebih konyol,” balasku. Jun Hee tersenyum lebar setelah aku mengatainya. Pria itu mungkin sudah gila karena rambutnya dipotong.
“Terima kasih. Ayo kita ke apartemenku.” Jun Hee berjalan lebih dulu.
Aku menatap punggung lebarnya dari belakang. Jun Hee berbalik, seperti bintang yang bersinar di kegelapan. Dia memancarkan pesonanya dengan lirikan mata yang tajam. Rasa kesal itu seketika menguap digantikan degup jantung yang menggila. Pria itu selalu membuat dirinya membekas dalam ingatanku.
Tangannya terulur dengan jari telunjuk yang lurus dan menekuk beberapa kali. Tanpa sadar kaki ini melangkah mendekatinya, seolah dialah gravitasi yang mampu membuatku lupa segalanya.
“Pintar,” ujar Jun Hee sambil mengelus kepalaku. Belum sempat aku bicara Jun Hee sudah menarik tanganku masuk ke dalam lift. Angka 6 dipencetnya setelah kami berada di dalam lift. Suasana sangat sepi, mungkin karena sudah larut malam jadi penghuni apartemen sudah tidur.
Lift terbuka. Kini kami sudah sampai di lantai 6. Aku tidak pernah tahu jika Jun Hee adalah penghuni di gedung apartemen yang sama denganku. Aku bahkan tidak pernah melihatnya sedikit pun atau bahakn sekadar berpapasan dengannya.
“Jadi kau tinggal di gedung ini?” tanyaku penasaran.
“Aku baru pindah kemarin. Apartemen ini lebih dekat dari tempat kerjaku,” sahutnya. Benar saja aku tidak pernah melihat Jun Hee sebelumnya. Tapi apa benar dia pindah ke tempat ini agar lebih dekat dengan tempat kerjanya? Apartemen ini standar untuk pegawai kantoran biasa. Atau mungkin Jun Hee sengaja pindah? Aku menggeleng. Pikiranku mulai tidak waras. Apa aku berharap pria itu pindah karena diriku? Mana mungkin. Kami tidak memiliki hubungan apa pun sampai detik ini.Hanya sebatas teman.
Kami berada di anak tangga. Jun Hee menarik tanganku lembut untuk menuruni setiap undagan. Aku sedikit bingung, sebenarnya Jun Hee tinggal di lantai berapa? Baru saja kami naik satu lantai dari lantai 5 ke lantai 6 tapi sekarang kami turun menggunakan tangga. Di sinilah kami kembali ke lantai 5.
“Hei, sebenarnya kau tinggal di lantai berapa?” tanyaku penasaran.
Jun Hee menatapku dengan senyum sumbringah. Aku mulai jengkel lagi padanya. Sebenarnya apa yang ada di kepala laik-laki itu.
“Aku tinggal di sini,” ujarnya sambil bersandar di pintu kayu di salah satu kamar apartemen. Aku berdecih kesal. Dia mengerjaiku lagi untuk yang kedua kalinya di satu malam.
“Yak! Untuk apa kita naik lift dan turun tangga kalau kamarmu ada di sebelah kamarku?” tanyaku mencoba sabar dengan segala cobaan.
“Aku hanya ingin jalan-jalan sebentar, lagi pula aku belum sempat melihat lantai atas. Aku yakin kau pasti belum pernah juga.”
Kupejamkan mata rapat-rapat untuk meredam emosi. Benar. Aku memang belum pernah naik ke lantai atas karena menurutku itu tidak berguna. Itu hanya membuang waktu dan Jun Hee membuat waktu berhargaku terbuang sia-sia.
“Jangan diambil pusing. Aku hanya ingin kau lebih rileks dari pekerjaanmu. Kau terlihat strees,” ujarnya sambil membuka pintu kamar.
“Iya, kau yang membuatku stress.”
Jun Hee menyalakan lampu apartemen. Seketika ruangan itu menjadi terang. Aku tertegun melihat ruangan itu tertata rapi, tidak seperti kamar pria pada umumnya yang berantakan. Pakaian kotor diletakkan di dalam keranjang, buku bacaan berderet rapi di sebuah rak. Semua tertata sedemikian rupa membuatku malu.
Apartemenku lebih buruk dari ini, selimut, boneka, buku dan baju kotor berserakan di mana-mana dan aku sudah terbiasa seperti itu. Jadwalku terlalu padat untuk sekadar membersihkan itu semua. Hanya hari minggu waktu yang tepat untukku membersihkan apartemen. Itu pun kalau tidak ada panggilan mendadak dari Hiro.
“Jangan terpesona. Aku tahu apartemenmu sangat mengerikan,” ujar Jun Hee. Aku memalingkan wajah yang terasa panas. Ini benar-benar memalukan.
“Jangan menuduh sembarangan."
Kulemparkan tas jinjingku di sofa. Rasa lembut sofa itu membuat tubuhku rileks. Ini sangat nyaman. Mataku bahkan sampai terlelap.
“Kau mau mandi dulu atau mau kumandikan?”
Seketika mataku terbuka lebar mendengar tawaran konyol itu. Dia pikir aku akan kecil polos yang tidak tahu malu saat dimandikan orang.
“Tidak terima kasih. Kau pikir aku wanita apa?” Jun Hee duduk di seberang. Matanya menatapku tajam.
“Kau terlihat kelelahan. Mandilah dulu, tenang saja aku tidak akan mengintip. Kau bisa memakai pakaian istriku atau pakaianku,” ujar Jun Hee.
Mendengar kata istri membuatku sadar bahwa pria itu sudah menikah. Ada rasa yang mengganjal ketika Jun Hee menyebut perempuan lain istrinya. Walau aku tahu perempuan itu sudah meninggal setelah pernikahan mereka.
“Jun Hee, kenapa kau berbohong padaku?”
Jun Hee memberikan sebuah handuk dan pakaian ganti untukku. Sejenak kami terdiam saling bertatapan satu sama lain.
“Maaf, aku pikir untuk tidak kembali lagi tapi seminggu berada di Korea membuatku rindu dengan Indonesia. Terutama dirimu. Jadi itu hanya alasan agar kau tidak merindukanku,” ujarnya penuh percaya diri.
Jujur saja aku sangat takut ketika mengetahui Jun Hee bekerja di militer. Aku tahu bagaimana kerasnya dunia militer dari drama yang pernah kutonton. Atau mungkin lebih menyeramkan dari itu.
“Dari mana kau berpikir aku akan merindukanmu? Jangan terlalu percaya diri.” Aku berdiri mengambil handuk dan baju gantiku. Namun saat kakiku melangkah Jun Hee menarik tanganku membuat aku duduk di atas pangkuannya.
“Apa kau ingin bukti kalau kau juga merindukanku?”
Aku terdiam membeku saat tangan Jun Hee memeluk pinggangku erat. Aku tidak pernah merasa sedekat ini dengan pria, termasuk pada Kevin. Tapi Jun Hee telah berhasil membuatku diam tidak berkutik di atas pangkuannya.
Apa yang akan dia lakukan? batinku saat wajah Jun Hee semakin mendekat.